Bioetanol Diklaim Lebih Efisien dari Biodiesel, Ini Buktinya

Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Muhammad Abdul Ghani menilai bioetanol lebih efisien dibandingkan dengan biodiesel.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 26 Okt 2023, 21:11 WIB
Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Muhammad Abdul Ghani menilai bioetanol lebih efisien dibandingkan dengan biodiesel. Hal ini dilihat dari tingkat produksi diantara keduanya.

"Saya ingin mengelaborasi dari perspektif efisiensi sumber daya. diantara dua komoditas energi yang berbasis Green yaitu Biodiesel dan bioetanol, itu sebenarnya yang paling efisien itu bioetanol," ujar dia di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (26/10/2023).

Dia membandingkan, dengan luasan sawit sebesar 16 juta hektare di Indonesia, mampu memproduksi minyak sawit rata-rata 3 juta ton per hektare. Jika dikonversi, hanya menghasilkan sekitar 2 kilo liter per hektare.

"3 ton per hektare itu kalo di-convert menjadi biodiesel itu hanya 2,5 KL per hektare jadi hanya 2.500 liter per hektare per tahun untuk biodiesel," kata dia.

Butuh Dua Jalur Proses

Namun, untuk proses bioetanol bisa melalui dua jalur. Pertama, saat tebu diolah menjadi gula, sisa tetes nya bisa diolah menjadi etanol. Kedua, tebu diolah menjadi nira, dan nira bisa langsung diproses jadi etanol.

"1 hektare lahan tebu itu bisa menghasilkan etanol 4-5 KL jadi antara 4.000-5.000 liter, maknanya apa? Kemampuan tanah (lahan) menghasilkan etanol 2 kali lebih besar dibandingkan dengan biodiesel," bebernya.

 

2 dari 3 halaman

Geser dari Biodiesel ke Bioetanol

Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Lebih lanjut, Abdul Ghani mengusulkan peta jalan atau roadmap energi baru terbarukan Indonesia bisa melirik dan mengalihkan dari biodiesel ke bioetanol.

"Jadi, menurut saya roadmap energi baru terbarukan Indonesia yang paling tepat adalah menggeser yang tadinya biodiesel ke etanol," jata dia.

Dia juga mengusulkan, lahan sawit di Indonesia bisa dikurangi dari 16 jut hektare menjadi 14 jura hektare saja. Dengan jumlah itu, Abdul Ghani memandang masih bisa memenuhi kebutuhan salam negeri. Caranya, dengan fokus menggenjot produktivitas lahan tersebut.

"Saya ambil contoh, klo PTPN itu produktivitas sawit itu 5,1 ton per hektare tapi rata-rata nasional cuma 3 (ton). Jadi itu perlu diusahakan pemerintah melalui peremajaan sawit rakyat," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Kebutuhan Energi

Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Dia menyatakan, 2 juta hektar sisanya bisa dikonversi menjadi lahan tebu untuk memproduksi bioetanol. Artinya, ada potensi produksi hingga 10 juta KL.

"Jadi dari teman-teman Pertamina sekarang itu kebutuhan gasoline itu sekitar 35 juta kl, jadi klo ada 10, berarti sudah sekitar 30%, E30, Brazil aja sekarang baru E27," kata dia.

"Jadi kalau itu dilakukan Indonesia, kalau cerita tentang ketahanan nasional itu ke depan berbasis ketahanan pangan dan energi kalo pemerintah sudah memiliki program ini, inisiasinya kami juga sudah diminta untuk melakukan studi kelayakan di Papua, maka itulah yang akan jadi masa depan indonesia mandiri dari sisi energi," pungkas Abdul Ghani.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya