Tabuik, Jejak Karbala di Pariaman

Dalam Tabuik di Pariaman ada nilai agama, sejarah, dan budaya yang membentuk esensi keberagaman dan tidak bisa dilepaskan dari budaya lokal.

oleh Sunariyah diperbarui 16 Okt 2017, 04:31 WIB

Liputan6.com, Pariaman - Hari baru saja terang ketika kesibukan merayap di Pariaman, kota kecil di bibir pantai Sumatera Barat. Kesibukan yang lazim berlangsung ketika Muharam tiba.

Di bulan pertama umat Islam ini, orang-orang di wilayah Pasa dan Subarang mengisi aktivitas menjelang prosesi Tabuik. Ritual ini untuk mengenang cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang tewas tragis di palagan Karbala.

Hari pertama dalam kalender hijriah. Prosesi dimulai dengan pengambilan tanah atau maambiak tanah. Tanah menyimbolkan jenazah Husein yang dibungkus kain putih atau perlambang kejujuran.

Prosesi Tabuik merupakan ritual tua. Ritual ini berkembang di Pariaman secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Secara harafiah, Tabuik berasal dari bahasa Arab yang berarti Tabut.

Kendati mengenang sosok Husein memang tradisi Syiah, namun di Pariaman tak ada lagi batas pemahaman. Tabuik menjelma menjadi sebuah tradisi budaya khas anak nagari.

Sementara itu, tradisi Tabuik sudah ada sejak awal abad ke-19 Masehi. Tradisi ini dibawa oleh serdadu Inggris asal India selatan.

Berhias penuh warna dan ornamen, Tabuik dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husein. Pariaman pun bergairah menyambut keriuhan puncak perayaan Asyura.

Gemuruh gendang tassa bertalu-talu mengiringi pergantian temaram senja ke terang lampu kota. Ma'arak sorban dan jari-jari merupakan wujud pemberitahuan ke khalayak ramai tentang keberanian Husein di Padang Karbala.

Hoyak Tabuik memang tak bisa dipisahkan dari gendang dan tassa. Gendang pun tak lagi menjadi instrumen khusus yang dimainkan kaum pria. Dua kelompok, Pasa dan Subarang, masing-masing seperti sedang berlomba mempertontonkan semangat dan kelihaiannya.

Namun tak selayaknya suasana berkabung atas kematian Imam Husein, jalan-jalan di Pariaman justru sesak seperti sedang berpesta. Pria dan wanita, tua maupun muda, berbaur turun ke jalanan pusat kota. Tetabuhan sepasang alat musik pun seperti menghipnotis warga dalam suasana suka cita.

Malam kian larut. Tetabuhan gendang dan tassa justru kian semarak. Bentuk ekspresi antara kedua anak nagari, Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang.

Hari yang dinanti pun tiba. Naik pangkek atau penyatuan dua tingkat Tabuik, baik milik kelompok Subarang maupun Pasa pun dilakukan. Ini karena Tabuik ibarat monumen yang menjulang hingga belasan meter.

Utuhnya Tabuik jadi penanda puncak perayaan telah di depan mata. Ikatan persaudaraan dengan sendirinya menguat. Tak ada lagi batas pemisah antara Syiah atau Sunni. Islam adalah satu.

Pada 10 Muharam, cucu baginda Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali, tewas. Kaum muslim di Pariaman pun mengenang keberanian Husein lewat Tabuik. Ekspresi yang dituangkan dengan Hoyak Tabuik menghentak dan menggoyang diiringi tetabuhan gendang dan tassa.

Menjelang senja, dua kerangka Tabuik dari Subarang dan Passa bertemu. Perselisihan yang identik dengan ideologi perang tak berlaku lagi, semua lebur menyanjung cucu baginda Nabi Muhammad SAW.

Sementara itu, yang tersisa dari prosesi Tabuik ini adalah adalah kegembiraan. Hal itu ketika dua kerangka diusung bersama menuju Pantai Gondoriah. Semua lapisan masyarakat pun tumpah ruah mengiringi Tabuik.

Laut menjadi persinggahan terakhir prosesi Tabuik. Hal ini sebagai simbol terbangnya buroq yang membawa jasad Husein ke surga.

Dalam Tabuik di Pariaman ada nilai agama, sejarah, dan budaya membentuk esensi keberagaman yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya lokal. Beragam aspek kebijaksanaan dapat digali, bukan sekadar kemeriahan festival.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya