Sukses

Lebaran Ketupat 2024, Ini Makna Tellasan Topak dan Tradisinya di Madura

Tradisi Lebaran Ketupat 2024, Ini Maknanya

Liputan6.com, Jakarta - Setelah Idul Fitri, masyarakat Madura biasanya merayakan Lebaran Ketupat, atau yang dikenal lokal sebagai Tellasan Topak. Perayaan ini dilaksanakan pada hari ke-8 bulan Syawal, yang tahun ini bertepatan pada Rabu, 17 April 2024.

Tellasan Topak merupakan ekspresi rasa syukur masyarakat Madura atas kekuatan yang diberikan Allah untuk menjalankan puasa Syawal selama 6 hari, yang dimulai dari tanggal 2 hingga 7 Syawal.

Lebaran Ketupat memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan Wali Songo di abad ke-15 Masehi.

Tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Sayyid Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang.

Di Madura, tradisi ini dibawa oleh Sunan Paddusan, atau Raden Bendoro Dwiryopodho (keturunan Sunan Manyuran Mandalika) dan Pengeran Katandur atau Sayyid Baidhawi (cucu Sunan Kudus).

Kini, Lebaran Ketupat telah menjadi bagian dari budaya Madura. Ada beberapa istilah untuk perayaan ini di Madura.

Pertama, Tellasan Petto', yang dirayakan pada hari ke-7 pasca-puasa Syawal. Kedua, Tellasan Topak, dinamakan demikian karena makanan utamanya adalah ketupat, yang terbuat dari anyaman daun kelapa atau janur berbentuk persegi empat.

"Ketupat itu nama simbolik yang mengandung makna lain dari sekadar wadah anyaman dari janur.  Ketupat (Kupat, Katopak) dalam bahasa Jawa diartikan sebagai laku sing papat atau amalan yang empat, yaitu puasa Ramadhan, zakat fitrah, memaafkan, dan silaturahim," seperti dikutip dari NU Online, Rabu, 17 April 2024.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Filosofi Ketupat

Selain itu, ketupat juga dapat diartikan dengan empat keadaan yang dianugerahkan kepada mereka yang melakukan empat perbuatan, yaitu:

  • Lebar (selesai mengerjakan perintah puasa).
  • Lebur (terhapus semua dosa di masa lalu).
  • Luber (melimpah ruah pahala amalannya).
  • Labur (bersih dirinya dan bercahaya wajahnya).

Empat keadaan ini diterjemahkan dengan istilah 'Jatining Nur' oleh Sunan Bonang. Artinya, hati yang putih dan bersih seperti janur yang bersih. 

3 dari 4 halaman

Diisi dengan Membuat Ketupat Bersama dan Saling Tukar Masakan

Lebaran ketupat tak lepas dari upaya penyempurna puasa Ramadhan dengan cara puasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana yang dianjurkan Nabi Muhammad. 

 عَنْ أَبِي أَيوب، أَنَّ رَسُوْل الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ (رواه مسلم)

Nabi bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka nilainya sama dengan puasa selama satu tahun."

Setelah lancar melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal, lebaran ketupat digelar sebagai ungkapan kebahagiaan. Masyarakat Madura memeriahkannya dengan tradisi guyub menganyam ketupat bersama di suatu tempat.

Mereka kemudian saling tukar makanan atau hidangan ketupat yang beragam.  Bertukar masakan dilakukan dengan saling antar, dari satu rumah ke rumah lainnya. Selain itu, disedekahkan ke masjid atau mushala.

Bahkan disedekahkan kepada masyarakat yang berkumpul di suatu tempat sambil membaca surat Yasin dan tahlil untuk memohon keselamatan dan keamanan dalam hidup.

4 dari 4 halaman

Jadi Tradisi Turun Temurun

Tellasan Topak atau lebaran ketupat menjadi tradisi turun-temurun sebagai salah satu media untuk mempererat tali kekerabatan.

Ikatan kekerabatan yang erat juga tergambar dalam anyaman ketupat yang rapat. Maka dari itu, sebagai bentuk guyub, kegiatan menganyam ketupat bersama keluarga dan tetangga pun dilakukan.

Memperkuat kepedulian sosial juga dilakukan dalam bentuk saling tukar menu ketupat. Sementara, semangat keberagamaan ditunjukkan dengan tradisi Yasinan dan Tahlilan di masjid atau mushala serta doa bersama untuk kekuatan spiritual.

Kendati secara seremonial tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad, sahabat, tabi'in, dan bukan ajaran Islam, tetapi tradisi Tellasan Topak ini tidak bertentangan dengan syariat Islam. Justru tradisi ini memperkuat nilai-nilai keislaman yang diajarkan Rasulullah berupa peningkatan ibadah, kepedulian sesama, sedekah, silaturrahim, dan istighosah.

Dengan demikian, tradisi Tellasan Topak ini penting dilestarikan sebagai bentuk komitmen pada tradisi leluhur, sebagaimana termaktub dalam sebuah kaidah:

 اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالْاَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْاَصْلَحِ

Artinya:

“Memelihara (menjaga) nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.