Direktur Baru FBI Pilihan Donald Trump Dekat dengan Rusia?

Christopher Wray, calon direktur FBI pilihan Donald Trump diduga memiliki kaitan dengan sejumlah entitas bisnis asal Rusia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Jun 2017, 10:03 WIB
Christopher Wray yang dicalonkan Donald Trump sebagai direktur FBI baru. (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Di tengah karut-marut pemilihan direktur baru Badan Investigasi Federal (Federal Bureau of Investigation, FBI), Presiden Amerika Serikat Donald Trump menominasikan sebuah nama, ia adalah Christopher Wray.

Di atas kertas, Christopher Wray tampak sebagai nomine tepat Presiden Trump untuk menjabat sebagai direktur baru FBI. Sebagai lulusan Law School of Yale University, Wray memiliki riwayat akademik yang mumpuni.

Tak hanya itu, Wray memiliki rekam karier yang cemerlang sebagai jaksa penuntut umum dan pejabat tinggi Departemen Kehakiman AS. Salah satu prestasi sang calon direktur FBI baru itu ialah keberhasilannya menangani kasus kejahatan kerah putih yang melibatkan seorang gubernur negara bagian New Jersey pada 2013.

Namun, kini muncul keraguan terhadap kredibilitas pria lulusan Yale University itu. Menurut laporan, firma hukum Wray --King & Spalding-- merepresentasikan Rosneft dan Gazprom, dua perusahaan migas yang dikontrol ketat oleh Pemerintah Rusia, demikian seperti yang dilaporkan oleh USA Today, Sabtu (10/6/2017).

Laporan tersebut dikabarkan oleh berkas setebal 35 halaman yang disusun oleh agen intelijen Inggris bernama Christopher Steele dari MI6 (Military Intelligence Section 6 atau Secret Intelligence Service, badan intelijen asing Inggris). Berkas itu mengklaim bahwa pada Pilpres AS 2016, CEO Rosneft Igor Sechin menawarkan 19 persen keuntungan perusahaannya untuk --saat itu-- kandidat presiden Donald Trump.

Berkas Steele juga menyebut bahwa Sechin menawarkan tawaran itu melalui manajer kampanye Trump, Carter Page, pada pertemuan di Moskow, Juli 2016.

Uniknya, pada 2012, Rosneft berencana menjalin kemitraan di bidang eksplorasi migas senilai US$ 500 miliar dengan Exxon Mobil, perusahaan asal Amerika Serikat. Saat itu, CEO Exxon Mobil adalah Menteri Luar Negeri AS yang kini menjabat, Rex Tillerson.

Namun, rencana kemitraan itu dibatalkan oleh Presiden Barack Obama pada 2014. Saat itu, Obama menerapkan sanksi terhadap sejumlah perusahaan migas Rusia dan melarang kemitraan dengan perusahaan asal AS.

Akan tetapi, sanksi itu telah dicabut oleh Presiden Trump saat dirinya menjabat. Sehingga, rencana kemitraan antara Rosneft dan Exxon kembali mencuat ke permukaan. Dan diperkirakan, firma hukum Wray, King & Spalding, akan turut terlibat dalam negosiasi kemitraan kedua perusahaan migas raksasa itu.

Di sisi lain, koneksi firma hukum itu dengan Gazprom dinilai akan semakin memperkeruh posisi Wray dalam proses nominasinya untuk menjadi direktur FBI baru. Menurut laporan terdahulu, Gazprom pernah bermitra dengan RosUkrEnergo AG (RUE) yang dikontrol oleh oligarki asal Ukraina, Dmitry Firtash.

Saat ini, Firtash tengah menghadapi dakwaan federal di Chicago AS atas kasus pemerasan. Pria yang juga masuk dalam daftar 'orang dekat' Presiden Rusia Vladimir Putin itu juga pernah menjalin kesepakatan finansial dengan mantan kampanye Trump, Paul Manafort.

Meski tidak ada indikasi yang menyebut bahwa Wray memiliki keterkaitan personal untuk urusan legal dengan Rosneft maupun Gazprom, sejumlah pihak menilai sang calon direktur FBI baru itu akan menghadapi sejumlah konflik kepentingan, etis, dan legal. Konflik itu diprediksi akan 'menyulitkan' dirinya dan FBI yang akan dipimpinnya dalam mengusut kasus dugaan keterkaitan Donald Trump, Gedung Putih, dan Rusia, seperti pada Pilpres AS 2016 maupun kasus-kasus di masa mendatang.

Konflik tersebut juga akan menghambat proses penyelidikan yang diimpin oleh Wray, jika suatu saat ada 'kemitraan yang mencurigakan' antara perusahaan AS - Rusia, contohnya seperti pada Rosneft, Gazprom, dan Exxon di kemudian hari.

USA Today menilai, jika Wray kelak menjabat sebagai direktur FBI, sejumlah latar belakang seperti yang telah disebutkan di atas akan membuat pria lulusan Yale University itu berada dalam posisi dilematis. Jika ia melibatkan diri dalam investigasi genting pada sejumlah kasus Rusia - AS, maka Wray akan membahayakan kredibilitas proses penyelidikan.

Sebaliknya, jika ia menarik diri dari proses investigasi, sikap Wray justru akan menjadi simbol tidak berkomitmennya FBI dalam penyelidikan kasus Rusia - AS yang serupa di kemudian hari.

Latar belakang seperti itu pula yang membuat mantan senator Joe Lieberman dinilai tidak layak untuk menduduki kursi direktur FBI yang baru. Sebab, firma hukum Lieberman --Kasowitz Benson Torres-- pernah merepresentasikan Donald Trump selama bertahun-tahun, sebelum dirinya menjabat sebagai presiden. Dan jika Lieberman menjabat sebagai direktur FBI, hal itu justru akan menunjukkan sikap 'favoritisme cenderung nepotisme' dari Presiden Trump.

Maka, sama seperti Lieberman, riwayat keterlibatan Wray dan firma hukumnnya dengan sejumlah entitas bisnis Rusia layak menimbulkan pertanyaan. Apakah sikap Presiden Trump yang menominasikan Wray sebagai direktur FBI baru merupakan simbol 'favoritisme' sang presiden terhadap Rusia?

Maka, seperti yang dikutip dari USA Today, Senat AS harus peka dan berhati-hati dalam proses sidang dengar pendapat untuk mengangkat direktur FBI baru. Serta memastikan, agar setiap kandidat direktur FBI baru --nanti ketika menjabat-- mampu bersikap transparan, bersih, dan netral dari setiap konflik kepentingan.

 

Saksikan juga video berikut ini

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya