Eksistensi Tukang Becak di Ibu Kota

Meski pelanggannya tak banyak serupa 20 tahun lalu, Amin tetap melakoni pekerjaan sebagai pengayuh becak.

oleh Muslim AR diperbarui 09 Jan 2017, 07:09 WIB
Becak di Jakarta (Liputan6.com/Muslim AR)

Liputan6.com, Jakarta - Moda transportasi di DKI Jakarta semakin berkembang dan beragam. Bahkan, kini dengan bantuan teknologi, siapa pun bisa memesan transportasi yang diinginkan. Meski begitu, moda transportasi tradisional masih tetap bertahan meski sudah hampir menemui ajal.

Salah satunya adalah becak. Transportasi ini memang dilarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, di wilayah Jakarta Barat yang berbatasan dengan Jakarta Utara, tepatnya di kawasan Teluk Gong, becak masih jadi primadona ibu rumah tangga.

Amin (49) seorang pengemudi becak, masih menggantungkan hidupnya pada kayuhan pedal becak. Pukul 07.00 WIB, ia sudah berdiri di pertigaan pasar pagi kawasan Pejagalan. Menunggu ibu rumah tangga atau para asisten rumah tangga selesai berbelanja.

"Udah ada langganan tetap kalau pagi," kata Amin pada Liputan6.com di Teluk Gong, Jumat, 6 Januari 2017.

Becak di Jakarta (Liputan6.com/Muslim AR)

Meski pelanggannya tak banyak serupa 20 tahun lalu, Amin tetap melakoni pekerjaan sebagai pengayuh becak. Apa hendak dikata, keahlian ia tak punya, usia pun sudah senja. Namun, dengan mengayuh becak, satu anaknya sudah sarjana.

"Yang sulung sarjana dari uang narik becak. Sekarang dia yang biayain adik-adiknya," kata Amin yang mengontrak bersama istrinya di kawasan Tambora.

Ia berkilah tak mau jadi beban bagi empat anaknya di kampung.

Amin tak sendiri. Ada Yatno (40), mantan buruh pabrik yang mencoba menarik becak sejak empat tahun lalu. Usai di PHK, ia tak bisa ajukan lamaran kerja. "Sudah lewat batas usia," keluh Yatno.

Dia sendirian di Jakarta. Istri dan anak-anaknya berada di kampung. Ia malu untuk pulang karena orang-orang kampung belum banyak yang tahu bahwa Yatno tak lagi kerja di pabrik makanan ringan.

Usai di PHK, ia mencoba peruntungan ke Jakarta. Malang di badan, Yatno pernah di jambret. Semua harta dibawa kabur begundal. Dalam kekalutan, Yatno akhirnya ditawari narik becak. Dengan sisa uang di tangan, ia beranikan diri membuat becak.

"Tapi, tarikan sepi, Lebaran besok mau pulang, bertani di kampung," ujar Yatno yang sudah empat tahun tak pulang.

Semasa jadi buruh, ia bisa dua hingga tiga kali menjenguk anak dan istri. Kini, ia mengeja rindu di setiap kayuhan becaknya.

Keberadaan becak di Jakarta (Liputan6.com/Muslim AR)

Ada puluhan tukang becak yang beroperasi di kawasan Teluk Gong, Tambora, dan Pejagalan. Mereka menawarkan harga yang murah untuk peluhnya. Jauh dekat, jika masih di kawasan Teluk Gong, mereka meminta Rp 10.000 sampai Rp 15.000 sekali jalan.

Jika jauh, harga bisa dinego. Tak ada tarif resmi. Para penarik becak ini hanya ramai kala pagi jelang siang. Lalu, mereka akan tidur dalam becak atau di emperan toko, menunggu senja datang.

"Kalau sore, biasanya ramai lagi," kata Yatno.

Pada 28 Januari 2016, puluhan tukang becak mendemo Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Para penarik becak ini meminta Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dicabut, sehingga mereka bisa mencari nafkah.

Ahok mengatakan, pelarangan ini juga sudah sejak Jakarta dipimpin Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto melalui Perda No 11 Tahun 1988. Wiyogo memimpin Ibu Kota sejak 1987 hingga 1992.

"Ya, dia harus cari kerjaan yang lain. Itu juga orang-orang daerah, becak-becak dari daerah yang ngongkosin dari daerah. Jadi ya enggak bisa-lah kita sudah ada perda dari zaman Pak Wiyogo. Masak mau dibalikin lagi," tandas Ahok.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya