Sukses

GSMA Sorot Pemanfaatan Teknologi 5G yang Belum Optimal di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami kemajuan yang pesat dalam mengadopsi teknologi mobile, tetapi belum diimbangi dengan penggunaan layanan 5G.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami kemajuan yang pesat dalam mengadopsi teknologi mobile. Penggunaan teknologi mobile kini mencapai 97 persen populasi Indonesia.

Kendati demikian, menurut Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman, penerapan jaringan 5G di Indonesia baru dimulai dan belum menyentuh seluruh populasi.

"Penerapan jaringan 5G baru dimulai dan saat ini baru mencapai 15% dari total populasi. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan, dan semakin diperparah oleh kurangnya spektrum frekuensi saat ini," tuturnya dalam media briefing yang digelar di Jakarta. 

Dalam hal ini, Julian menyorot pita tengah (1-7 GHz) untuk memberikan layanan internet seluler berkecepatan tinggi di daerah perkotaan padat penduduk. Lalu, pita rendah (di bawah 1 GHz) untuk meningkatkan konektivitas di daerah pedesaan.

Oleh sebab itu, menurutnya, untuk mendukung rencana digital Indonesia, Kementerian Kominfo berencana menyediakan sejumlah pita frekuensi dalam dua tahun ke depan, termasuk 700MHz, 2,6GHz, dan 3,5GHz, serta frekuensi mmWave di pita 26 GHz.

Spektrum tambahan ini disebut akan menghadirkan dua kali lipat total pasokan spektrum frekuensi saat ini. 

Selain itu, berdasarkan peta jalan spektrum Indonesia saat ini, GSMA juga ikut menilai dampak dari berbagai skenario biaya spektrum pada penerapan jaringan 5G, adopsi, dan manfaat ekonomi terkait dari tahun 2024 hingga 2030.

Dengan kemunculan lelang spektrum frekuensi terbaru yang akan segera dilakukan di Indonesia, GSMA mengungkapkan rencana pemerintah mendorong transformasi digital bisa terhambat, kecuali pemerintah meninjau kembali harga spektrum seluler 5G.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pemerintah Indonesia Perlu Tinjau Kembali Harga Spektrum 5G

Analisis GSMA memperkirakan, sekitar sepertiga dari manfaat sosio-ekonomi 5G, atau sekitar Rp216 triliun, bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024-2030 jika harga pita spektrum baru masih mengikuti harga lama.

Pada laporan yang baru diluncurkan, GSMA menunjukkan kalau sejak tahun 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari lima kali lipat di Indonesia.

Hal ini disebabkan biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi terkait perpanjangan perizinan.

Sebaliknya, pertumbuhan pendapatan industri tidak seiring dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler. Sebab, terjadi penurunan sebesar 48 persen selama periode yang sama.

Selain itu, biaya spektrum frekuensi yang disesuaikan setiap tahunnya terus meningkat dikarenakan inflasi. Padahal, biaya yang berkaitan dengan spektrum frekuensi di Indonesia kini sudah tinggi.

"Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada 12,2 persen, sedangkan rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7 persen dan 7,0 persen," tutur Julian. 

Dengan demikian, pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak. Jika tidak, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G.

Selain itu, hal ini juga berdampak pada melambatnya penyebaran jaringan, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi berteknologi 5G.

3 dari 4 halaman

GSMA Prediksi 80% Populasi Indonesia Pakai 5G di 2030

Temuan GSMA juga menyoroti pentingnya biaya spektrum frekuensi dengan aspek berkelanjutan dalam memastikan investasi jaringan seluler masa depan dan pengembangan ekonomi digital Indonesia.

"Indonesia merupakan salah satu negara dengan ekonomi digital terbesar dengan tingkat pertumbuhan yang sangat pesat di kawasan Asia Pasifik," tutur Julian. 

Hal ini membuktikan kalau keputusan Pemerintah Indonesia dalam memprioritaskan pembangunan infrastruktur TIK, termasuk penyelesaian penggelaran 4G dan pengembangan jaringan 5G, adalah keputusan yang tepat.

Meski demikian, pengadaan 5G di Indonesia akan membutuhkan waktu. Alasannya, dibutuhkan pendekatan cermat dari pemerintah, mengingat adanya kendala geografis dan kesiapan pasar di Indonesia.

"Menurut perkiraan kami, 80 persen dari total populasi Indonesia akan menggunakan layanan 5G pada tahun 2030," ungkap Julian.

Ia juga menambahkan, dengan lelang spektrum frekuensi 5G yang akan datang, GSMA mendorong pemerintah terus memberikan insentif bagi industri untuk berinvestasi dalam infrastruktur digital yang akan datang.

Tidak hanya itu, GSMA juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi dan manfaat sosial yang besar bagi masyarakat Indonesia.

4 dari 4 halaman

Rekomendasi GSMA Untuk Pemerintah Indonesia Jelang Lelang Spektrum 5G

GSMA memberikan tiga rekomendasi penting untuk Pemerintah Indonesia, menjelang lelang spektrum frekuensi 5G mendatang. Adapun rekomendasi-rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kurangi Harga Tawar Minimum

"Biaya spektrum frekuensi di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menjadi ancaman besar bagi pengembangan layanan seluler masa depan. Dengan menurunkan harga tawar minimum, Pemerintah Indonesia dapat memberikan ruang untuk penetapan harga baru dan mengurangi risiko spektrum frekuensi yang tidak terjual," kata Julian.

Apabila ada biaya atau kewajiban yang harus ditanggung, biaya tersebut harus diperhitungkan ke dalam harga tawar minimum dan biaya tahunan.

2. Peninjauan Kembali Biaya Tahunan Spektrum

Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana parameter-parameter yang ada di kerangka formula saat ini bisa disesuaikan untuk memberikan insentif jangka panjang yang tepat.

Dengan demikian, dapat terhindar dari peningkatan biaya yang tidak sejalan dengan kondisi pasar.

3. Rencana Spektrum Frekuensi yang Mendukung Perkembangan Masa Depan

Indonesia seharusnya membentuk landasan yang kuat bagi ekosistem selulernya dengan merancang rencana spektrum frekuensi yang jelas dan komprehensif.

Landasan ini tidak hanya perlu mempertimbangkan pita yang ada sekarang, tetapi juga kebutuhan pita dalam jangka panjang, khususnya untuk spektrum frekuensi menengah.

Landasan ini juga akan memberikan kepastian yang dibutuhkan para operator seluler merencanakan investasi, sekaligus mengembangkan strategi untuk perluasan jaringan mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.