Sukses

Selangkah Lebih Dekat Menuju Kontrol Robot Menggunakan Gelombang Otak

Konsep mengendalikan robot dengan pikiran mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi penelitian terbaru yang terbit di jurnal ACS Applied Nano Materials telah membawanya selangkah lebih dekat dengan kenyataan.

Liputan6.com, Jakarta - Konsep mengendalikan robot dengan pikiran mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi penelitian terbaru yang terbit di jurnal ACS Applied Nano Materials telah membawanya selangkah lebih dekat dengan kenyataan.

Tim peneliti di American Chemical Society telah merancang struktur khusus berpola 3D yang tidak memerlukan gel konduktif lengket untuk mengukur aktivitas listrik otak, bahkan di tengah-tengah rambut dan benjolan serta lekukan kepala.

Saat ini, dokter menggunakan elektroensefalografi (EEG) untuk memonitor sinyal listrik dari gelombang otak. Itu melibatkan penggunaan elektroda khusus yang ditanamkan ke dalam atau ditempatkan pada permukaan kepala.

EEG membantu mendiagnosis gangguan neurologis dan juga dapat digunakan dalam "antarmuka otak-mesin" di mana gelombang otak digunakan untuk mengontrol perangkat eksternal, seperti kaki palsu, robot, atau bahkan video game.

Namun, sebagian besar versi noninvasif dari EEG melibatkan penggunaan sensor "basah", yang ditempelkan pada kepala dengan gel yang dapat mengiritasi kulit kepala dan memicu reaksi alergi.

Kini, para peneliti mengembangkan sensor "kering" yang tidak memerlukan gel, tetapi dengan catatan belum ada yang mampu menandingi efektivitas sensor basah.

Nanomaterial seperti graphene bisa menjadi solusi potensial, tetapi sifatnya yang datar dan bersisik membuatnya tidak cocok dengan lekukan kepala manusia yang tidak rata, terutama dalam jangka waktu lama.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sensor 3D berbasis graphene

Untuk mengatasi masalah ini, Francesca Iacopi dan rekan-rekannya mengembangkan sensor 3D berbasis graphene polikristalin yang dapat secara akurat memonitor aktivitas otak tanpa lengket.

Tim ini menciptakan beberapa struktur berlapis graphene 3D dengan bentuk dan pola yang berbeda, masing-masing dengan ketebalan sekitar 10 µm.

Setelah menguji berbagai bentuk, mereka menemukan bahwa pola heksagonal bekerja paling baik pada permukaan daerah oksipital yang melengkung dan berbulu-area di pangkal kepala tempat korteks visual otak berada.

Mereka menggabungkan delapan sensor ini ke dalam ikat kepala elastis, yang menahannya di bagian belakang kepala.

Ketika digabungkan dengan headset augmented reality yang menampilkan isyarat visual, elektroda dapat mendeteksi isyarat mana yang sedang dilihat, kemudian bekerja dengan komputer untuk menginterpretasikan sinyal ke dalam perintah yang mengontrol gerakan robot berkaki empat - benar-benar bebas genggam.

 

3 dari 4 halaman

Pendanaan

Meskipun elektroda baru ini tidak bekerja sebaik sensor basah, para peneliti percaya bahwa penelitian ini merupakan langkah awal untuk mengembangkan sensor kering yang kuat dan mudah diimplementasikan untuk memperluas aplikasi antarmuka otak-mesin.

Para peneliti mendapat pendanaan dari Pusat Inovasi Pertahanan Pemerintah Australia dan dukungan dari Fasilitas Fabrikasi Nasional Australia di University of Technology Sydney dan Research & Prototype Foundry di University of Sydney Nano Institute.

Adapun American Chemical Society (ACS) adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh Kongres AS. Misi organisasi ini adalah memajukan perusahaan kimia yang lebih luas dan para praktisi untuk kepentingan Bumi dan semua orang.

4 dari 4 halaman

Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.