Sukses

HEADLINE: Desakan Pembatalan Permenkominfo PSE Lingkup Privat, Persempit Ruang Ekspresi Digital?

Pendaftaran Penyelenggara Sistem Electronik (PSE) dinilai sejumlah pihak merupakan cara pemerintah merenggut kebebasan berekspresi di ranah digital.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mendaftarkan operasional bisnisnya di Indonesia. Namun, aturan tersebut menuai desakan untuk dibatalkan karena dianggap mempersempit ruang ekspresi digital.

Aturan terkait PSE tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019. Dalam peraturan itu dijelaskan, PSE adalah setiap orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

PSE pun dibagi menjadi dua lingkup, yakni lingkup publik dan lingkup privat. Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Publik adalah Instansi Penyelenggara Negara atau institusi yang ditunjuk oleh Instansi Penyelenggara Negara.

Sedangkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat adalah penyelenggaraan Sistem Elektronik oleh Orang, Badan Usaha, dan masyarakat. PSE Lingkup Privat yang tertuang di Permenkominfo 5/2022 inilah yang dianggap berpotensi mempersempit hingga menghilangkan ruang demokrasi digital.

"Memang banyak sekali catatan di dalam Permenkominfo ini, yang ujung-ujungnya adalah pengawasan yang berlebih. Potensi sensor sangat besar sehingga ruang-ruang demokrasi digital itu semakin menyempit atau semakin tidak ada," ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin di Jakarta, Kamis 21 Juli 2022.

Merujuk pada definisi PSE lingkup privat pada pasal 2 ayat (2) Permenkominfo tersebut, Ade menjelaskan setidaknya ada enam poin kriteria mengenai siapa saja yang masuk sebagai PSE lingkup privat. Menurut dia secara spesifik definisi itu mencakup secara luas termasuk media baik pers, komunitas, hingga platform nonprofit. "Kalau definisinya seperti ini, ini sangat luas karena keluasan ini akhirnya semuanya bisa kena."

Selain itu, Ade memandang secara umum Permenkominfo 5/2020 juga melanggar prinsip legalitas. Menurutnya, peraturan perundang-undangan harusnya disusun dengan presisi yang cukup untuk memungkinkan seseorang mengatur perilaku sebagaimana mestinya.

Ade merujuk pada Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik yang dilarang hingga dapat dikenai sanksi pada Permenkominfo 5/2020 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada poin b yang berbunyi, 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum'.

Definisi tersebut menjadi pasal sangat karet karena ketidakjelasannya, dan berpotensi multitafsir. Dia juga mempertanyakan siapa yang berhak menafsirkan Informasi yang dimunculkan oleh media meresahkan. "Tidak bisa kemudian hanya memasukkan 'konten yang meresahkan harus ditindak' Apa yang dimaksud meresahkan? Meresahkan definisi siapa? Apakah definisi Kementerian, apakah definisi aparat penegak hukum, apakah yang lain," Ade menjelaskan. 

"Dari aspek ini saja itu sudah sangat tidak presisi. Sangat multitafsir dan dia otomatis melanggar prinsip legalitas."

Senada dengan Ade, Pakar sekaligus konsultan keamanan siber, Teguh Aprianto, menganalisa tentang alasan sejumlah PSE privat, seperti Facebook hingga Google belum mendaftarkan platform mereka. Menurut Teguh, jika perusahaan mendaftar ke Kemkominfo, para pemilik platform ini akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri.

"Jika platform ini (Google, Facebook, hingga Twitter) ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri dan privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," tulis Teguh seperti dikutip Liputan6.com dari akun Twitter-nya @secgron.

Dia menyebutkan, dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 tahun 2021 (Permen Kemkominfo Nomor 10 Tahun 2021) tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat, setidaknya ada tiga pasal yang bermasalah atau disebutnya sebagai pasal karet.

Pasal pertama adalah Pasal 9 ayat 3 dan 4 mengenai kewajiban PSE untuk memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Pada salah satu poin, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang adalah yang 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum'.

"Pasal 9 ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena 'meresahkan masyarakat' & 'mengganggu ketertiban umum' ini karet banget," tulisnya.

Ia melanjutkan, pasal karet tersebut, "Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab 'mengganggu ketertiban umum'."

Berikutnya adalah pasal 14 ayat 3 mengenai permohonan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang, dimana dalam pasal ini kembali muncul istilah 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum'.

Menurut Teguh, Pasal 36 yang berbunyi, 'PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat' juga dianggap bermasalah.

"Apa jaminannya ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?" ungkapnya.

Sejumlah pakar lainnya dan warganet pun sempat khawatir dengan aturan pendaftaran PSE ini, hingga sempat ramai muncul petisi untuk menandatangani Surat Protes Netizen menolak regulasi diterapkan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kominfo Bantah Ada Pasal Karet

Ketua Tim Panja RUU PDP Pemerintah sekaligus Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (Foto: Kemkominfo).

Kementerian Kominfo mengklaim tidak ada pasal karet di dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menuturkan, dalam pasal yang mengatur mengenai konten yang 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' harus memenuhi dua unsur lebih dulu. Kedua unsur tersebut yakni benar-benar meresahkan dan benar-benar mengganggu.

"Dan, ini sudah ada kejadiannya. Contoh konkret, ada pemuka agama lain mengkritisi kitab suci agama lain dan jadi ramai di media sosial. Itu sudah ramai dan mengganggu, sampai Menko (Menko Polhukam) turun tangan. Konten yang seperti itu. Jadi, tidak ada yang namanya pasal karet. Kalau mengganggu ketertiban umum itu memang benar-benar terjadi," tutur Semuel.

Ia mengatakan, dalam setiap pengajuan takedown konten, pihaknya selalu memastikan tindakan itu telah memiliki dasar hukum yang kuat. Kemkominfo juga akan melakukan profilling ditambah penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan beserta bukti-buktinya.

Pria yang akrab Semmy itu pun mengatakan, setiap ada permintaan pemerintah takedown konten, selalu diumumkan di publik. Karenanya, menurut Semuel, tidak mungkin di era yang terbuka ini, pihaknya melakukan tindakan yang sembunyi-sembunyi.

"Jadi, tidak ada niatan (melakukan pembungkaman). Kami hanya ingin menciptakan ruang digital, yang kondusif, aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak lebih tidak kurang, karena kami ingin menjaga kedaulatan ruang digital kita," tuturnya.

Di samping itu, Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kemkominfo, Teguh Arifiadi, menuturkan, konten yang dianggap 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' juga perlu ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Jadi, Kemkominfo tidak bisa langsung menyatakan sebuah konten adalah konten meresahkan.

"Contohnya, ada banyak konten yang dikatakan belum memenuhi kualifikasi melanggar peraturan, tapi masuk dalam konten meresahkan masyarakat. Sebagai contoh, konten bunuh diri, tidak melanggar hukum sebetulnya. Sebab, dia bukan konten provokasi, bukan ujaran kebencian, tapi harus di-takedown. Makanya, ada konten disturbing picture," ujarnya menjelaskan.

Teguh juga menuturkan, berdasarkan data statistik di Kemkominfo, pelaporan konten yang yang dianggap meresahkan masyarakat itu jumlahnya paling sedikit. Menurutnya, kebanyakan pelaporan itu lebih ke arah konten mengganggu atau konten yang meresahkan, tapi tidak diatur dalam peraturan perundangan.

"Dan, tidak berkaitan dengan konten terkait kebebasan berpendapat atau kebebasan berekspresi. Datanya bisa dicek, dan kami juga sering menyampaikan statistiknya," tuturnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Klaim Tidak Ada Upaya Pembungkaman

UU ITE (kominfo.go.id)

Semuel menjelaskan, aturan mengenai konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum itu bukan merupakan produk asli dari Permenkominfo 5 Tahun 2020, melainkan murni dari PP 71 tahun 2019 yang merupakan turunan UU ITE.

Dalam hal ini, Permenkominfo 5 Tahun 2020 hadir untuk memberikan batasan-batasan yang sebelumnya tidak dijelaskan dalam PP 71 tahun 2019. Ia mencontohkan, batasan itu juga berlaku untuk pasal mengenai hak akses terhadap data dan sistem.

"Itu bukan konten dalam PM 5, aslinya dalam PP 71 tahun 2019, yang kemudian di PM 5 diberikan batasan," ujarnya. Salah satu batasan yang dimaksud adalah permintaan akses ke sistem itu harus melalui penilaian atau assestment lebih dulu, dan bisa ditolak kalau dinyatakan tidak diperlukan.

Lalu, akses terhadap data dan sistem itu dilakukan ketika data yang diminta tidak mencukupi untuk kepentingan hukum dan pengawasan. Karenanya, apabila mencukupi, tidak perlu ada akses data dan sistem.

"Meskipun demikian, kami dari Kemkominfo punya komitmen untuk melakukan revisi, memperbaiki atau mengurangi kemungkinan adanya salah tafsir atau penyalahgunaan dalam pasal-pasal yang kami siapkan. Dan, itu sudah masuk dalam agenda untuk melakukan penyesuaian," tutur Teguh.

Terkait kekhawatiran pendaftaran PSE Privat ini, Kemkominfo juga mengatakan, kewajiban pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tidak bertujuan untuk mengendalikan platform.

"Kalau dikaitkan dengan pengendalian ini lain lagi, ini benar-benar pendataan. Pengendalian sudah ada aturannya," kata Semuel.

Semuel mengatakan, pendaftaran PSE ini dilakukan agar pemerintah mengetahui siapa saja platform digital yang beroperasi secara digital di Indonesia.

"Saya rasa ini bukan hanya Indonesia, semua negara punya metodenya masing-masing dan kita modelnya adalah pendaftaran. Jadi saya rasa tidak ada kaitannya (dengan pengendalian), karena ini benar-benar tentang pendataan," katanya. 

Terkait permintaan untuk mengakses sistem, Kemkominfo mengklaim, hal ini dilakukan apabila ada kejahatan yang memang dilakukan oleh pihak perusahaan itu sendiri.

"Binomo, DNA Robot contohnya. Aparat harus bisa masuk ke sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatan. Atau kalau ada fintech yang nakal, tiba-tiba uang pelanggan hilang sedikit-sedikit," kata Semuel.

Sementara terkait konten, Semuel menegaskan sudah ada aturan soal ini. Menurutnya, platform juga sudah memiliki tata kelola dalam hal ini. Kemkominfo pun juga tidak sembarang melakukan pemblokiran.

"Terkait konten yang mengganggu ketertiban umum, contohnya tentang agama, kan sampai ramai juga. Setelah kejadiannya baru kita minta 'tolong disetop' karena sudah mengganggu," kata Semuel.

"Tidak mungkin kita melakukan sebelumnya. Harus benar-benar terjadi kehebohan di masyarakat, dan salah satu untuk meredam adalah melakukan pemblokiran (konten). Bukan kita tidak ada apa-apa minta di-takedown," tegas Semuel.

4 dari 4 halaman

Update Daftar PSE Lingkup Privat

Ilustrasi cara, logout akun, Google. (Photo by Brett Jordan on Unsplash)

Google menjadi salah satu PSE asing terbesar yang akhirnya mendaftarkan diri di PSE Kominfo kemarin, Kamis (21/7/2022). Hal ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Aptika Kemkominfo, Semuel A. Pangerapan.

Ia menuturkan, Google sudah mendaftarkan empat layanan tambahan untuk di Indonesia. 

"Google itu mendapatkan empat lagi tambahan, setelah Cloud dan Ads, sekarang YouTube, Search Engine, Maps, dan Google Play Store," tutur Semuel menjelaskan.

Sebelumnya, perusahaan itu mendaftarkan Google Cloud dan Google Ads.

Google menambah deretan PSE asing yang mendaftarkan layanan di Indonesia ke Kemkominfo. Selain Google, ada pula Twitter, Snapchat, dan Line yang diketahui telah mendaftarkan layanannya di Indonesia.

Kendati demikian, hingga berita ini ditayangkan, daftar layanan Google tersebut memang belum muncul di laman resmi PSE Kemkominfo. Ada kemungkinan hal ini terjadi karena memang masih dilakukan pembaruan secara berkala.

Sejumlah PSE asing yang juga diketahui sudah terdaftar adalah aplikasi kencan Tinder, aplikasi chatting WeChat, Zoom, iCloud, hingga HBO Go.

Selain layanan di atas, sejumlah game populer di Indonesia juga sudah terdaftar di situs PSE Kemkominfo.

PT Winner Interactive telah mendaftarkan game Xshot, Auto Chess didaftarkan oleh Long Entertainment Company Limited, dan Krafton Inc mendaftarkan game PUBG: Battleground dan New State Mobile.

Sementara itu, Riot Games Services PTE LTD juga mendaftarkan game League of Legends: Wild Rift, Legends of Runeterra dan Valorant di PSE asing Kominfo.

Sebelumnya, game dari Garena seperti Arena of Valor (AOV), League of Legends PC, Fairy Tail, sudah tercantum sebagai PSE Domestik dengan perusahaan PT Garena Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.