Sukses

Organisasi Masyarakat Sipil: Revisi UU ITE Harus Segera Dilakukan

'Hilangnya' draf revisi UU ITE, mendorong sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar dialog tentang urgensi revisi ITE.

Liputan6.com, Jakarta - Bertempat di daerah Cikini, Jakarta, Senin (30/11/2015), sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar dialog tentang urgensi revisi ITE. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Forum Demokrasi Digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers, Yayasan Satu Dunia, Institute for Criminal Justice Reform, Aliansi Jurnalis Independen, Indonesia Center for Deradicalization and Wisdom, serta ICT Watch Indonesia.

Dalam kesempatan itu, semua organisasi itu sepakat mendorong urgensi pembahasan rencana revisi UU ITE. Hal ini disebabkan adanya 'pasal karet' di UU tersebut.

"UU ITE belum bisa men-deliver keadilan. Beberapa pasal diketahui memiliki makna bias dari pasal aslinya," ujar Damar Juniarto, Regional Coordinator, SAFEnet, saat dialog pembahasan revisi UU ITE.

Damar juga menuturkan bahwa SAFEnet menemukan adanya pergeseran tren pola kasus yang terkait dengan UU ITE. Dari sebelumnya terkait masalah defamasi atau pencemaran nama baik, beralih menjadi bentuk balas dendam, barter dengan kasus lain, upaya pembungkaman kritik, dan shock therapy.

Hal itulah, lanjut Damar, yang kemudian mengarah ke bentuk antidemokrasi. Terlebih baru-baru ini muncul Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor SE/06/X/2015 terkait ujaran kebencian yang memasukkan unsur pencemaran nama baik.

Inilah yang kemudian ditakutkan akan menjadi rentan menyuburkan dan melanggengkan penyalahgunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Untuk itu, revisi UU ITE harus disegerakan untuk mencegah masalah lain yang mungkin muncul.

2 dari 2 halaman

Sikap Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia

Dalam dialog tersebut, beberapa organisasi sipil ini juga turut menyatakan sikapnya terkait masalah revisi UU ITE. Salah satu yang menjadi pembahasan adalah adanya pasal UU ITE yang menduplikasi pasal dari UU KUHP.

"Salah satu yang harus diubah adalah adanya duplikasi hukum dari KUHP yang ada di UU ITE. Untuk itu, fokus UU ITE harus kembali ke fungsi awalnya sebagai pengatur e-commerce," ujar Asep Komarudin, Head of Research and Networking Division LBH Pers, saat dialog terkait revisi UU ITE.

Tak hanya itu, diperlukan juga keseriusan jajaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Kepolisian Indonesia bersama dengan Komisi I DPR agar menyegerakan revisi UU ITE.

Hal tersebut dalam rangka mendukung ekosistem demokrasi di Indonesia yang lebih sehat. Juga, untuk mencegah pembatasan kebebasan ekspresi warga negara yang memang telah dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia.

Terakhir, ditegaskan pula bahwa urgensi revisi UU ITE ini bukan untuk membebaskan orang yang bersalah, melainkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang hendak menyampaikan kebenaran menggunakan haknya berekspresi dan berinformasi dengan benar di internet.

(dam/why)