Sukses

Pendiri WhatsApp Buka-bukaan Soal Akuisisi

Salah satu pendiri WhatsApp, Brian Acton, jarang muncul di muka publik untuk berbicara banyak hal.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu pendiri WhatsApp, Brian Acton, jarang muncul di muka publik untuk berbicara banyak hal. Namun Acton akhirnya menjadi pembicara dalam sebuah acara yang dipenuhi oleh sebagian besar mahasiswa Universitas Stanford.

Laman Wall Street Journal melaporkan, Acton hadir dalam acara yang disponsori oleh StartX, sebuah inkubator startup yang terafiliasi dengan Stanford. Acton sendiri adalah salah satu lulusan ilmu komputer di universitas tersebut.

Dalam acara itu, Acton cukup banyak berbicara tentang akuisisi WhatsApp oleh Facebook. Diungkapkannya, WhatsApp berjuang keras memperjuangkan kemerdekaan dan tetap mempertahankan moto yang selama ini telah ada.

"Tidak ada iklan, tidak ada game, dan tidak ada gimmick," ungkap Acton yang saat itu mengenakan topi bertuliskan Stanford dan kaos.

Tujuannya, lanjut Acton, adalah untuk mempertahankan kesederhanaan dan kemudahan menggunakan platform WhatsApp. Pada satu sisi, visinya untuk WhatsApp terdengar sama dengan yang dikatakan oleh CEO Facebook, Mark Zuckerberg, yang kerap mengatakan bahwa tujuannya ialah menghubungkan semua orang di dunia.

"Sangat baik jika semua orang di dunia bisa saling berbicara," sambungnya lagi.

Seperti diketahui, setelah akuisisi diumumkan pada Februari 2014, pejuang privasi menyuarakan keprihatinan mengenai Facebook yang bisa mengakses informasi tentang pengguna WhatsApp. Acton menggambarkan hubungan antara Messenger Facebook dan WhatsApp, seperti kebijakan kedua perusaaan dalam data pengguna yang 'terpisah tapi sama'.

Sumber Pendapatan
Acton juga menyinggung soal pertanyaan yang selama ini banyak dihembuskan yaitu bagaimana WhatsApp menghasilkan pendapatan. Menurutnya, hal itu masih harus diselesaikan, begitu juga tentang pertanyaan tentang kerjasama antara kedua platform.

Untuk menumbuhkan WhatsApp, yang kini memiliki sekitar 450 juta pengguna, Acton mengatakan bahwa dia dan pendiri lainnya, Jan Koum, mempelajari perbedaan gaya berkomunikasi di berbagai wilayah. "Anda belajar banyak tentang bagaimana orang-orang di dunia saling berbicara," katanya.

Misalnya, kata Acton, WhatsApp adalah layanan gratis di India karena orang-orang di sana tidak terbiasa melakukan pembayaran melalui ponsel atau kartu kredit. Dia dan Koum juga mempelajari bagaimana orang-orang berkomunikasi selama bulan Ramadhan.

Dia juga menyinggung kesuksesan WhatsApp yang berhasil menumbuhkan basis pengguna di Jepang dan Taiwan.

"Saya pikir kami bisa menghasilkan pendapatan dalam jumlah besar untuk Facebook," ungkap Acton.

Namun Acton enggan berkomentar lebih jauh tentang monetisasi perusahaan. Dia hanya menegaskan model bisnis aplikasi pesan pendek populer itu tidak akan berdasarkan pada iklan.

Dalam acara StartX ini, Acton juga sempat menjawab pertanyaan mengenai rasanya menjadi seorang bos. Gaya manajemennya tidak akan membuat orang-orang merasa mereka harus bekerja selama 80 jam dalam sepekan. Dengan begitu, mereka bisa memiliki sebuah keluarga dan tetap merasa sedang bekerja di startup.

Setelah acara usai, Acton memilih pulang ke rumah dan menjaga anaknya yang lahir di tengah-tengah kesepakatan Facebook dan WhatsApp. "Saya menjadi ayah yang pertama kali dibayangi sensasi kesepakatan US$ 19 miliar," ungkapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.