Sukses

Cuaca Ekstrem Ancam Malang Raya 10 Tahun ke Depan, Saatnya Adaptasi Perubahan Iklim

BMKG Karangploso Malang menyebut cuaca ekstrem seperti hujan sangat lebat bakal sering mengguyur wilayah Malang Raya selama 10 tahun ke depan sebagai dampak perubahan iklim

Liputan6.com, Malang- Perubahan iklim nyata terjadi. Salah satu dampaknya, bencana hidrometeorologi telah dirasakan langsung masyarakat. Meski begitu langkah adaptasi dan mitigasi terhadap krisis itu belum kentara, seperti rata ruang yang tak peka lingkungan.

Di Malang Raya sudah sering terjadi bencana hidrometeorologi dampak krisis iklim. Seperti badai petir, hujan ekstrem, banjir bandang, angin kencang sampai hujan es. Dalam 10 tahun ke depan, cuaca ekstrem seperti hujan lebat diprediksi bakal lebih sering terjadi di wilayah ini.

Koordinator Bidang Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Klimatologi Malang Ahmad Luthfi mengatakan, dampak nyata perubahan iklim bisa dirasakan dari semakin seringnya hujan sangat lebat mengguyur Malang Raya. Banjir pun kerap terjadi di daerah ini, khususnya Kota Malang.

“Jumlah terjadinya hujan lebat semakin meningkat, itu sudah bisa dirasakan dan lihat langsung,” kata Lutfi ditulis Senin (23/5/2022).

Ia menjelaskan, kategori hujan lebat bila curah hujan lebih dari 50-100 milimeter per hari. Hujan sangat lebat dengan curah hujan 100-150 milimeter per hari. Lalu hujan ekstrem bila curah hujan di atas 150 milimeter per hari. Hujan sangat lebat kini sering mengguyur Malang.

Dicontohkannya pada 15 Maret dan 19 Maret 2022 lalu. Saat itu hujan sangat lebat mengguyur Kota Malang selama 2-3 jam. Meski singkat, banjir terjadi di berbagai titik kota. Sebab limpahan air tak mampu tertampung saluran, ditambah lagi kawasan resapan air semakin berkurang.

“Kalau direnungkan, hujan sangat singkat tapi menyebabkan banjir di mana-mana,” ujar Lutfi.

BMKG memprediksi hujan lebat dan esktrem akan sering terjadi di Malang dalam 10 tahun ke depan. Itu berdasarkan perbandingan data proyeksi perubahan curah hujan musiman periode 2020-2030 dengan periode yang sudah terjadi sebelumnya yakni pada 2006-2016 lalu.

“Selama dua tahun terakhir ini hujan lebat lebih sering terjadi di Malang. Akan terus terjadi sampai 2030 mendatang,” ucapnya.

Karena itu semua pihak harus terlibat aktif bersama-sama mengerem laju perubahan iklim. Tujuannya meminimalisir potensi bencana hidrometeorologi yang bisa menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda dan lainnya.

“Kita tak bisa menghilangkan bencana. Tapi kami setidaknya sudah melakukan berbagai bentuk peringatan dini ke masyarakat terhadap kondisi ekstrem yang akan terjadi,” urai Lutfi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Memahami Siklus Bencana

BMKG memetakan siklus bencana yang muncul setiap tahun. Pada Desember rentan terjadi bencana tanah longsor, banjir dan gelombang tinggi di kawasan pesisir. Sepanjang Maret – Mei di pulau Jawa kondisi ekstrem seperti puting beliung, angin kencang, badai petir sampai hujan es.

Lalu pada periode Juni – Agustus sering terjadi bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan dan di wilayah pesisir biasanya terjadi gelombang tinggi. Untuk September – November, masa peralihan musim juga rentan terjadi putting beliung dan hujan es.

“Siklus bencana tiap tahun itu seharusnya dipahami masyarakat, lalu berlatih dan bersiap mengantisipasinya,” ucap Lutfi.

Apalagi bencana hidrometeorologi dampaknya tak hanya di satu daerah saja, wilayah lain pun turut terdampak. Misalnya peristiwa banjir bandang di Kota Batu pada November 2021 silam. Dampak limpahan air di kawasan hulu Brantas itu turut menimbulkan bencana di Kota Malang.

“Bila ditinjau dari kerawanan, maka wilayah kita ini gudangnya kerawanan. Ini harus dipahami semua pihak,” kata Lutfi.

Meski begitu, memberi pemahaman ke masyarakat masih menjadi pekerjaan berat bagi BMKG. Sebab penyajian data dan informasi belum menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dan mengantisipasi kondisi ekstrem dampak krisis iklim.

“Masyarakat harus bisa mengenali potensi bahaya yang bisa terjadi di lingkungannya, serta melatih kesiapan menghadapinya demi meminimalisir dampak bencana,” kata Lutfi.

Kepala UPT PLAD Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang, Arif Darmawan, mengatakan berdasarkan Indeks Risiko Provinsi Jawa Timur 2015-2021, Kota Malang masuk kategori tinggi rawan bencana.

“Salah satu bencana yang sering terjadi adalah banjir,” katanya.

Pemerintah Kota Malang telah memiliki beberapa program terkait adaptasi perubahan iklim. Seperti rencana perluasan ruang terbuka hijau, pengembangan urban farming di semua wilayah, serta upaya penguatan ketangguhan bencana.

“Termasuk rencana perbaikan sistem drainase dan membangun ribuan sumur resapan di tiap kampung,” ucap Arif.

Tantangan ke depan adalah penanganan kawasan kumuh dengan fokus utama penataan permukiman di sepadan sungai. Serta revitalisasi dan peningkatan ruang terbuka hijau aktif atau yang bisa dimanfaatkan oleh publik.

3 dari 3 halaman

Petaka Tata Ruang

Wahana Lingkungan Hidup Indonensia (Walhi) Jawa Timur menilai dampak nyata perubahan iklim itu tak diimbangi dengan upaya adaptasi dan mitigasi oleh pemerintah daerah di Malang Raya. Kebijakan tata ruang yang tak peka lingkungan memperburuk dampak krisis iklim.

Manager Kampanye dan Jaringan Masyarakat Walhi Jatim, Lila Puspitaningrum, mengatakan perubahan tata ruang terjadi secara besar-besaran dari hulu dan hilir. Lahan hijau hilang karena alih fungsi lahan di Kota Batu hingga Kota Malang.

“Perencanaan tata ruang wilayah disusun dengan lebih mengedepankan kepentingan ekonomi,” ujar Lila.

Ia menyebut revisi perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Batu lebih mengutamakan aspek ekonomi seperti sektor pariwisata. Termasuk industri ekstrataktif dalam rupa pembangunan dua pembangkit listrik energi panas bumi yang dinilai Walhi tak ramah lingkungan.

Mengutip data Global Forest Fund, di Kota Batu telah 1.295 hektare hutan dengan 113 hektare di antaranya hutan lindung hilang karena alih fungsi. Menyebabkan suhu udara semakin panas, sumber air semakin berkurang serta banjir bandang dan longsor sering terjadi di kota ini.

“Dulu mudah melihat kabut menyelimuti Kota Batu saat sore hari, sekarang hampir tak pernah ada. Itu indikasi ancaman perubahan iklim,” ujar Lila.

Hal serupa juga terjadi di Kota Malang, banyak RTH dari tahun ke tahun terus hilang karena beralih fungsi. RTH yang hilang itu seperti waduk resapan di Pulosari dan Jalan Kawi, Taman Kota di depan TPU Sukun, Taman Kunir, Stadion Luar Gajayana dan lainnya.

Lia menambahkan, dalam dokumen RTRW Kota Malang disebutkan 60 persen diperuntukkan bagi kepentingan sosial budaya dan 40 persen untuk ekonomi. Tapi praktik di lapangan menunjukkan malah sebaliknya, peruntukan ekonomi lebih dominan.

Sedangkan di Kabupaten Malang, kawasan lindung di wilayah selatan telah diubah jadi kawasan pariwisata. Padahal di wilayah selatan terdapat kawasan kars yang sangat penting untuk penyimpang cadangan air.

“Jadi, tiga daerah di Malang Raya ini sama-sama mengeksploitasi besar-besaran tata ruang mereka demi kepentingan ekonomi,” kata Lila.

Menurutnya, ketiga daerah itu seharusnya membuat kebijakan yang mempeimbangkan lingkungannya. Tak hanya memikirkan investasi, tapi juga mengutamakan lingkungannya sebagai solusi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Sudah saatnya kita semua termasuk birokrasi pemerintahan membuat kebijakan yang tak mengeksploitasi lingkungan sebagai satu mitigasi dampak perubahan iklim,” ucapnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.