Sukses

Menelisik Prospek Sektor Saham Komoditas di Tengah Anomali Cuaca

Cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja sektor komoditas, terutama yang berkaitan dengan produk agrikultur.

Liputan6.com, Jakarta - Cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja sektor komoditas, terutama yang berkaitan dengan produk agrikultur. Secara garis besar, Head of Equity Research & Strategy, Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer mengatakan sektor saham komoditas kemungkinan belum bisa mencatatkan kinerja secemerlang saat pre pandemi Covid-19.

"Kami sendiri untuk untuk sektor kami enggak enggak taruh di overweight untuk sektor komoditas.Dari sisi supply-demand, supplynya itu memang masih under invested. Ini sudah terjadi secara masif dalam 1-2 dekade terakhir. Jadi meskipun demand cooling down, kita melihat bahwa untuk harga komoditas untuk balik ke level pre pandemi mungkin belum bisa terjadi dalam kurun waktu 1-2 tahun ke depan," kata dia dalam Money Buzz - Raup Cuan Jelang Pemilu Tahun Depan, Selasa (13/6/2023).

Di sisi lain, tantangan cuaca juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi harga tawar komoditas. Menurut Adrian, kondisi itu berpotensi mengerek harga komoditas pertanian (agrikultur), dan menguntungkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sawit terbesar.

"Ada kemungkinan ke cuaca El Nino setelah kita dilanda La Nina. Jadi dari sisi agriculture prices potentially kalau itu terjadi bisa menjadi dorongan untuk penguatan, dan Indonesia mungkin bisa diuntungkan dari sisi sebagai salah satu negara produsen kelapa sawit gitu," imbuh Adrian.

Dampak Keekonomian Komoditas

Di sisi lain, Adrian menjelaskan, dampak keekonomian dari komoditas yang dihasilkan dari dalam negeri telah mengalami pergeseran. Hal itu seiring terjadinya hilirisasi dan perubahan atau kenaikan dari sisi current account balance, ditopang pertambahan nilai (value added) dari semula komoditas diekspor hanya dalam bentuk mentah.

"Improvement dari sisi current account balance itu memang dikontribusikan juga secara gak kalah kuatnya. Bukan hanya dari sisi harga komoditas, tapi dari sisi value added yang dilahirkan dari downstreaming yang sebelumnya mungkin hanya bahan mentahnya lalu menjadi bahan yang setengah jadi dan bahan jadi. Jadi downstreaming effect ini akan terus continuing," ujar Adrian.

Dengan demikian, Adrian menilai mestinya korelasi antara volatilitas pasar keuangan Indonesia terhadap fluktuasi harga komoditas mentah jedi minim. sebab, nilai tambah yang dihasilkan dari proses hilirisasi mampu menjadi substitusi dari pendapatan ekspor berupa komoditas mentah.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menakar Imbas Pemilu 2024 ke Pasar Saham Indonesia

Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada 2024 turut menjadi sentimen pasar modal Indonesia.  Head of Equity Research & Strategy, Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer cukup optimistis pasar modal akan mencatatkan tren positif sepanjang periode tersebut.

Keyakinan itu merujuk pada tren pemilu sebelumnya yang secara historis tetap positif meski berlangsung usai krisis. Misalnya, seperti pada pemilu 2024, yang terjadi setelah ada taper tantrum pada 2013. Kemudian pemilu 2009 terjadi setelah global financial crisis 2008. Di sisi lain, kondisi fundamental ekonomi dalam negeri sejauh ini juga terpantu cukup resilien.

"Kita melihat masih optimistis Di semester II 2023. Kita melihat dari sisi inflasi Indonesia yang sudah terkendali dengan kedisiplinan fiskal dan monetary policy dari pemerintah, maka sebenarnya memiliki ruang di semester II ini untuk bisa genjot sedikit untuk pertumbuhan konsumsi dan juga pertumbuhan ekonomi domestik. Maka harusnya pada saat itu terjadi, akan tampak lebih positif ke bursa saham," ujar Adrian dalam Money Buzz - Raup Cuan Jelang Pemilu Tahun Depan, Selasa (13/6/2023).

Dari sisi valuasinya, Adrian mengatakan pasar saham RI tidak berada pada posisi overvalue dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika atau Thailand untuk emerging market. "Mereka secara valuasi jauh di atas Indonesia, dan kita punya valuasi itu saat ini berada di level 13 kali PE rationya, sehingga kalau saya melihat harusnya secara risk reward lebih positif," imbuh Adrian.

 

3 dari 4 halaman

Faktor yang Mendominasi Pasar Saham

Adapun faktor yang lebih mendominasi pasar saham tahun depan lebih pada faktor global, di mana ada kemungkinan investor melakukan rotasi portofolio menyesuaikan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Informasi saja, saat ini pasar usnag di Amerika memberikan imbal hasil di atas 5 persen.

Namun, jika The Fed melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada 2024, maka pasar negara bekembang )emerging merket) termasuk Indonesia masih cukup menarik.

"Jadi saya melihat bahwa penguatan bursa saham yang terjadi di 2014, 2019 maupun pemilu 2009, sama-sama terjadi setelah efek tightening. Seperti 2024, terjadi setelah ada taper tantrum di 2013. Kemudian pemilu 2009 terjadi setelah global financial crisis 2008. Kali ini, kita lihat tightening (suku bunga) sudah mencapai puncaknya. Sehingga harusnya pattern-nya mungkin bisa agak mirip. Sehingga kita melihat optimis ke bursa saham di tahu ini," tutur Adrian.

Pada kondisi tersebut, Adrian mengatakan potensi masuknya dana asing terbuka lebar. Sebagai gambaran, dia menjabarkan terdapat capital outflow atau dana asing yang kabur dari Indonesia pada akhir 2022 hingga awal tahun ini mencapai Rp 24 triliun.

 

4 dari 4 halaman

Potensi Dana Investor Asing

Akan tetapi, kondisi tersebut telah berbalik, bahkan dana asing masuk tercatat lebih besar. Kaburnya dana investor asing pada Desember lalu ditengarai pembukaan ekonomi China. Sehingga terjadi kekhawatiran di benak investor mengenai proyeksi ekonomi Indonesia yang ditakutkan tidak lagi menjadi primadona. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia kembali kebanjiran dana asing ditopang kondisi ekonomi dalam negeri yang cukup baik.

"Jadi meskipun investor pasti tahu tahun depan adalah tahun pemilu, tapi kita lihat secara fundamental ekonomi Indonesia sudah jauh lebih baik strukturnya. Sudah terjadi hilirisasi, pembangunan infrastruktur yang sangat masif. Jadi secara fondasi ekonomi sudah jauh lebih baik dari sisi current account deficit, dari sisi ketahanan eksternal faktor kita juga lebih baik. Jadi saya melihat bahwa YTD ini cukup menarik," ujar Adrian.

"Jadi investor asing sudah melakukan penjualan sebesar Rp 24 triliun di Desember dan Januari. Angka tersebut balik arah sebesar hampir sama yaitu Rp 24-25 triliun di periode Februari tahun ini hingga kemarin. jadi kalau kita lihat bahwa investor asing pun sebenarnya masih cukup optimis dengan bursa saham Indonesia," ia menambahkan.

Tren serupa disebutkan juga terjadi di pasar obligasi. Di mana inflow saat ini tercatat sudah mencapai Rp 70 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang berkisar Rp 40-50 triliun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.