Sukses

Perdagangan Satwa Liar Dilindungi: Pelaku Terus Bermunculan, Penegak Hukum Diminta Tegas Bertindak

Perdagangan satwa masih menjadi salah satu kejahatan lingkungan yang terus terjadi di Indonesia. Saban tahun, kasus-kasus perdagangan satwa tidak pernah absen. Satu pelaku ditangkap, muncul pelaku-pelaku lainnya.

Liputan6.com, Medan Perdagangan satwa masih menjadi salah satu kejahatan lingkungan yang terus terjadi di Indonesia. Saban tahun, kasus-kasus perdagangan satwa tidak pernah absen. Satu pelaku ditangkap, muncul pelaku-pelaku lainnya.

Member Voice of Forest, Prayugo Utomo, yang juga jurnalis media nasional, mengatakan, perdagangan satwa juga masih mengancam Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Sebab, di kedua provinsi itu memiliki kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Batangtoru, dan lainnya.

"Sepanjang 2022 hingga 2023, kasus yang unik di Sumut justru satwa hidup. Sedangkan di Aceh itu kami menemukan bagian tubuh yang dijual. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Namun, kalau kami telisik, asal satwa yang ditindak di Sumut dari Aceh," kata Yugo, sapaan akrabnya, dalam diksusi bertajuk 'Conservatalk: Tren Perdagangan Satwa Liar Dilindungi 2023' di Cannu Coffee & Eatery, Jalan Darussalam, Kota Medan, Selasa (16/1/2024).

Diterangkan Yugo, dalam diskusi yang dimoderatori jurnalis Arifin Al Alamudi itu, walaupun angka kasus perdagangan satwa sepanjang 2022-2023 menurun, bukan berarti jumlah perdagangan satwa juga menurun. Pihaknya menduga penindakan dilakukan tidak secara masif di periode tersebut.

"Sehingga, tampaknya angakanya menurun. Walaupun kita tahu ini bukan hal yang baik-baik saja bagi kita yang selama ini melakukan monitoring. Karena, di luar itu kita masih banyak menerima informasi tentang perdagangan satwa liar dilindungi. Baik satwa hidup ataupun bagian tubuh, itu masih terjadi," terangnya.

Dikatakan Yugo, berdasarkan penelusuran Voice of Forest, paling banyak pelaku perdagangan satwa memasarkan atau menjual dagangannya di media sosial, seperti Facebook. Pada marketplace-nya itu masih bisa ditemukan kasus-kasus perdagangan satwa, baik satwa hidup maupun bagian tubuh.

Mengenai penindakan hukum, Yugo menegaskan Voice of Forest lagi-lagi menilai penindakan hukum oleh aparat penegak hukum masih sangat minim dilakukan, meski kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi ini adalah kejahatan transnasional.

"Yang kita tahu, ini selalu berjejaring dengan perdagangan di internasional. Tapi, yang selalu atau hampir sering kita temui, kasusnya itu hanya menyasar pedagang di tingkat tengah, hanya tapak, enggak pernah menyentuh aktor intelektual," tegasnya

"Makanya kita bilang, penindakan hukumnya ini yang lebih dikeraskan lagi. Kita mendesak aparat kepolisian, ataupun aparat penegak hukum dari Balai Gakum Wilayah Sumatera, bisa lebih lagi melakukan penindakan, melakukan penelusuran, dan penyelidikan," sambungnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kejadian Berulang

Menurut Yugo, jika selama ini aparat penegak hukum hanya memberikan alasan klasik seperti minimnya personel ataupun kemampuan, harusnya bisa lebih ditingkatkan. Voice of Forest mendesak pemerintah untuk melakukan peningkatan kapasitas penegak hukum, baik di kepolisian ataupun di Balai Gakum.

"Apalagi, kasus perdagangan satwa merupakan kejadian berulang, efek jera tidak ada. Kenapa efek jera tidak pernah ada di masing-masing pelaku, bahkan ada beberapa pelaku yang belum bertaubat dan masih melakukan perbuatan melanggar hukum terkai satwa," ucapnya

Bahkan, ada juga yang resedivis. Karena apa? Disebutkan Yugo, karena di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 itu mengamanatkan hukuman masimal 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

"Dan kita ketahui, dari hampir seluruh kasus yang kita lakukan monitoring, bahkan selama 7 tahun terakhir tidak ada hukuman maksimal yang diberlakukan. Palingan ada yang dihukum di atas 2,5 tahun, 28 bulan, 18 bulan, tidak menimbulkan efek jera. Belum lagi ada yang dipotong remisi, jadi pelaku menjalani hukuman sangat singkat," bebernya.

Ditegaskan Yugo, Voice of Forest bersama YOSLOIC juga mendesak supaya revisi Undang-Undang KSDA menyentuh soal masa hukuman. Selama ini, soal revisi sudah dibahas di DPR RI, sudah masuk daftar infentarisir masalah. Tapi, publik belum mendengar soal bagaimana revisi hukuman.

"Apakah masih menggunakan 5 tahun, atau DPR berani menerapkan hukuman yang tinggi untuk para pelaku kejahatan lingkungan. Kita mendorong ada hukuman yang lebih tinggi dan denda yang besar, mengingat dampak yang begitu besar ditimbulkan dari kejahatan lingkungan," tegasnya lagi.

Disampaikan Yugo, yang paling menjadi sorotan Voice of Forest kasus kejahatan lingkungan masih ada, bahkan sepanjang 2022-2023 setiap bulan ada 1 kasus yang terjadi jika dirata-ratakan.

"Artinya setiap bulan ada satwa yang keluar, itu pun yang terpublikasi, bagaimana yang tidak terpublikasi? Kita mendorong penegak hukum lebih cermat lagi melakukan penyelidikan di berbagai koridor perdagangan satwa yang saat ini terang benderang bisa dilihat," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Naik Turun Perdagangan Satwa

Direktur Konservasi YOSLOIC, M Indra Kurnia menambahkan, dari data yang dikumpulkan sepanjang 2016-2023, naik turunya kasus perdagangan satwa sangat kelihatan jika melihat website SIPP PN. Pada tahun 2019 terlihat cukup tinggi, dan saat Covid-19 melanda ada penurunan.

"Begitu bebas Covid-19 di 2021-2022 naik lagi. Sebelum Covid-19 banyak kasus paruh rangkong, setelah Covid-19 sisik trenggiling, dan yang stabil itu harimau," ujarnya.

Dipaparkan Indra, jika membandingkan Sumut dengan Aceh, ada perbedaan tren. Di Aceh paling menonjol bagian tubuh satwa. Sementara di Sumut perdagangan satwa hidup.

"Macam-macam, ya. Ada binturong, buaya, dan lain-lain," ungkapnya

Untuk jenis satwa yang diperdagangkan, terang Indra, di Sumut dan Aceh antara 2016 hingga 2023, orangutan banyak diperjualbelikan di Sumut. Kemudian harimau tinggi di Aceh, dan badak pernah ada temuan 1 kasus.

"Konflik gajah juga banyak di Aceh, beruang juga di Aceh, dan trenggiling di Sumut, rangkong, burung kakaktua jambul kuning, nuri, dan lainnya," Indra menuturkan.

4 dari 4 halaman

Berkontribusi Negatif

Disebutkan Indra, perdagangan satwa juga berkontribusi negatif pada kepunahan satwa. Selain kehilangan habitat karena peralihan fungsi kawasan dan peramabahan hutan, bisa dibayangkan bagaimana jika kasus perdagangan ini langgeng terjadi.

"Kepunahan akan semakin cepat. Berdampak negatif pada kondisi ekosistem. Bahkan akanmempercepat laju perubahan iklim yang sedang terjadi," terangnya.

Melalui forum-forum diskusi seperti ini, Indra mendorong para jurnalis agar semakin peka dengan kasus-kasus perdagangan satwa. Kemudian melakukan pendalaman isu serta tetap menjadi media kritik kepada pemerintah.

"Sehingga pemerintah terdorong untuk menekan angka kasus setiap tahunnya," Indra menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini