Sukses

Cara Khusus UGM untuk Rehabilitasi Hutan Getas dan Ngandong 

UGM yang mengatur dan mengelola lahan hutan di Getas dan hutan Ngandong bersama warga sekitar berupaya untuk rehabilitasi hutan. Upaya persuasif dilakukan dengan para penggarap lahan sekitar hutan Getas dan Hutan Ngandong.

Liputan6.com, Yogyakarta - Mengajak masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan seperti di hutan Getas dan Ngandong seluas 10.901 hektar sebagai kawasan hutan untuk tujuan pendidikan dan pelatihan dikelola oleh UGM ini tidak bisa langsung namun harus bertahap.

Rehabilitasi hutan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang berada di Ngawi Jawa Timur dan Blora Jawa Tengah ini menggandeng masyarakat  sekitar hutan untuk dapat menjaga kelestarian hutan sekaligus bisa bertani di area tersebut dengan budidaya tumpang sari selain tanaman tebu.

Saat Sosialisasi Pengelolaan Lahan Andil KHDTK Hutan Getas dan Ngandong di Kecamatan  Blora dan Ngawi yang berlangsung Balai Desa Griya Dwija, Kecamatan  Pitu,  Ngawi, Jawa Timur, Rabu (15/11) Koordinator KHDTK Fakultas Kehutanan UGM Slamet Riyanto mengatakan  60 persen dari luasan sekitar 10.901 hektar itu harus direhabilitasi. Sementara saat ini ada 3.000 lahan gundul dan 1700 an hektar sudah ditanami tebu oleh pesanggem (petani penggarap lahan). 

“Ada sekitar 3.400 petani dari 15 desa di Blora dan Ngawi yang menjadi pesanggem. Selanjutnya kita ajak untuk ikut memelihara Kawasan ini. Bagi yang terlanjur menanam tebu, kita ajak beralih ke tanaman lain dengan porsi 60 persen lahan kita fungsikan untuk tanaman hutan dan 40 persen untuk lahan pertanian,” katanya.

 

Slamet mengatakan Fakultas Kehutanan UGM  tahun ini akan menanam bibit pohon di area 1.100 hektar saat memasuki musim penghujan pada bulan Desember mendatang.  

“Kita lakukan secara bertahap setiap tahunnya sekitar 1.000-an hektar,” katanya. 

Pasca-penanaman bibit pohon tanaman hutan ini menurut Slamet akan dilakukan pemeliharaan selama tiga tahun. Petani Pesanggem diajak untuk ikut menjaga dan merawat meski mereka dipersilahkan menanam tanaman pertanian di sekitar lahan yang dikelola.

 “Kelanjutan setelah pemeliharaan sekitar tiga tahun. Selanjutnya pemeliharaan swadaya masyarakat atau petani penggarap,” katanya.

Pengelola program KHDTK UGM Teguh Yuwono mengatakan pihaknya akan menanam 1.000 batang per hektar tanaman hutan di kawasan KHDTK Getas dan Ngandong. Meski begitu pihaknya mempersilahkan petani untuk menanam jagung atau kedelai di sekitarnya. 

“Program ini sudah direncanakan oleh UGM, sementara (penanaman pohon) dilakukan secara bertahap,” kata Teguh.

Terkait rehabilitasi hutan selama dua tahun ini sosialisasi soal hak kelola petani pesanggem dan larangan tanaman tebu di Kawasan KHDTK sudah dilakukan dan tetap memperbolehkan pesanggem untuk menggarap lahan di Kawasan KHDTK namun dengan cara tidak merusak hutan. Tapi ia telah meminta kepada pesanggem agar tidak lagi menanam tebu di KHDTK karena dapat merusak tanaman hutan yang sudah ada.

“Umumnya petani tebu itu setelah panen membersihkan lahan dengan cara membakar sehingga bisa merusakan pohon dan tanaman hutan yang ada di sana,” katanya.

 

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dukungan Masyarakat

Teguh mengatakan lahan yang sudah ditanami tebu akan diberi batas waktu hingga satu tahun sampai selesai panen lalu diganti dengan tanaman lain seperti jagung dan kedelai. Tapi dalam dua kali pertemuan baru-baru ini, ada sebagian aspirasi warga yang meminta batas waktu tiga tahun untuk dapat menanam tebu. 

“Masih terus kita negosiasikan dan rundingkan lewat pertemuan, semnetara ini kita akan menanam di lokasi yang tidak ada ” ujarnya.

Saidi, 72 tahun, dari Desa Cantel, Ngawi, sangat mendukung program rehabilitasi lahan dan hutan oleh pihak UGM. Terlebih program ini sudah disosialisasikan sejak dua tahun lalu.  

“Memang sebelumnya kami sepakat sebelumnya pelaksanaan program, minimal dua tahun terlaksana sebaiknya disosialisasikan, supaya petani tahu persis. Di tempat kita sangat kondusif, ada yang tanam tebu tapi sedikit. Sebelumnya kita sudah beritahu,” ujarnya.

Saidi memilih budidaya jagung, sebab dengan menanam jagung ia bisa menjual sendiri hasil panennya. Dengan lahan kurang lebih satu hektar, ia bisa panen dua kali dalam setahun dengan sekali panen ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 20 an juta. 

"Dibandingkan tebu, lebih enak jagung.  Kami jual sendiri saja. Satu hektar bisa panen 5-6 ton,” ujarnya.

Sementara Istoni, 54 tahun, dari Desa Kalang, Pitu, Ngawi, mengaku sebagai petani sudah tahu jika ada larangan tanaman tebu di Kawasan hutan. Namun begitu beberapa petani tetap saja menanam tebu karena selama ini tidak ada hak kelola pesanggem dan lemahnya pengawasan setelah ada himbauan larangan menanam tanaman tebu di KHDTK. 

“Lewat UGM ini sudah ada hak kelola yang jelas, sudah ada dasar-dasar hukumnya sehingga jika ada pelanggaran nanti ada sanksinya, jadi masyarakat pun paham hutan itu tidak boleh ditanam tebu,” katanya.

Istoni bercerita, menjadi petani pesanggem sudah dilakukan sejak turun temurun oleh kakek buyutnya. Namun begitu saat tanaman hutan sudah rindang, mereka harus berpindah lokasi yang masih kosong. Sedangkan hak kelola yang diberikan oleh pihak UGM mereka dapat mengelola sekitar 40 persen lahan yang difungsikan untuk tanaman pertanian. 

“Biasanya dulu, jika sudah (hutan) rindang, tidak bisa ditanami. Sekarang ada pembagian lahan untuk tanaman hutan dan lahan pertanian,” ujarnya terkait rehabilitasi hutan oleh UGM ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.