Sukses

Merawat Gambut Riau untuk Lindungi Iklim dari Pemanasan Global

Kawasan gambut menyumbang besar terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global.

Liputan6.com, Pekanbaru - Berbagai wilayah di dunia mengalami climate change atau perubahan iklim karena pemanasan global. Secara internasional, emisi karbon dari sektor energi menjadi kontributor utama, tapi beda halnya yang disumbangkan oleh Indonesia.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Even Sembiring, pengelolaan dan pembukaan lahan, khususnya gambut, menjadi penyumbang emisi karbon terbesar sehingga memengaruhi perubahan iklim.

Even menjelaskan, gambut merupakan ekosistem paling utama menyimpan emisi karbon. Pembukaan lahan gambut secara besar-besaran otomatis mengeluarkan emisi karbonnya.

"Jumlah emisi karbonnya sangat signifikan tergantung luasan bukaan," kata Even, Selasa petang, 22 Agustus 2023.

Pembukaan gambut membuatnya mudah kering sehingga rentan terbakar. Kebakaran di gambut ini memunculkan emisi baru yang sangat berdampak pada lingkungan.

"Saat dibuka ada emisi karbon lepas, ketika terbakar menghasilkan emisi baru sehingga keberadaan gambut ini sangat penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," kata Even.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Gambut Terluas di Dunia

Indonesia merupakan kawasan gambut terluas di dunia, sebagian besarnya berada di Riau yaitu sekitar 5 juta hektare. Sebelum investasi masuk, gambut menjadi tempat bergantung hidup masyarakat lokal.

Kelestarian gambut saat itu menjadi penyimpan cadangan air terbesar. Masyarakat bisa bercocok tanam dan mencari ikan di perairan dekat gambut.

Perubahan mulai terjadi kala investasi besar-besaran di sektor perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) masuk awal media 1970. Hutan di gambut ditebang sehingga terbuka dan mulai terjadi kebakaran.

Puncaknya terjadi akhir tahun 1990-an hingga tahun 2010. Ekosistem gambut berubah menjadi perkebunan dan hutan tanaman seperti akasia serta eukaliptus.

Even menyebut sudah 3,8 juta hektare lahan gambut dikonversi atau berubah jadi sawit dan HTI. Saat ini masih tersisa 1,2 juta hektare lahan gambut tersisa sehingga perlu dijaga.

Pembukaan gambut itu melepas emisi karbon dalam jumlah tak terhitung. Gambut terbuka itu menjadi kering sehingga mudah terbakar ataupun dibakar untuk menanam oleh perusahaan.

"Padahal, gambut itu bukan tempatnya sawit ataupun akasia serta eukaliptus," tegas Even.

 

3 dari 4 halaman

Tambah Pemanasan Global

Keadaan ini menghancurkan sumber ekonomi masyarakat lokal. Berikutnya menghasilkan polusi yang sifatnya tidak hanya lokal tapi sampai ke luar negeri.

"Gambut ketika diperlakukan dengan baik akan memberikan keuntungan (iklim) dan ketika diperlakukan buruk dia menghadiahkan dampak buruk," jelas Even.

Even menyatakan, emisi karbon yang dilepas gambut saat dibuka dan emisi baru saat terjadi kebakaran sangat berefek kepada pemanasan global.

Even mencontohkan, sinar matahari yang masuk ke bumi terlindungi oleh lapisan ozon. Sinar ini tidak terasa panas karena tanah, hutan dan gambut yang masih bagus menyerap lalu memantulkan sedikit panas ke udara.

Saat gambut dan hutan rusak, penyerapan panas tadi tidak maksimal tapi dipantulkan lagi ke udara dengan keadaan panas sehingga membuat lapisan ozon berlobang.

"Ketika pantulan matahari ditembak ke luar, makanya ada pelepasan emisi dan produksi emisi yang menyebabkan pemanasan global, pencairan es dan perubahan iklim," terang Even.

Panas ini membuat satwa dan fauna yang tidak tahan dengan panas, misalnya yang tinggal di kutub, terancam. Pulau kecil juga terancam karena pencairan es akibat pemanasan global.

"Es mencair membuat air laut naik sehingga membuat pulau kecil mengalami penurunan tanah lalu tenggelam, keadaan ini juga mempercepat laju abrasi," terang Even.

 

4 dari 4 halaman

Perbaikan Gambut

Oleh karena itu, Walhi berharap pengelolaan gambut yang sudah terlanjur ini diperhatikan pemerintah. Apalagi pemeliharaan gambut ini sudah menjadi komitmen Presiden Joko Widodo dalam mengurangi emisi karbon.

Di satu sisi, Walhi Riau menilai upaya melindungi gambut oleh pemerintah saat ini, begitu juga mitigasi serta adaptasinya ada perubahan. Ada sejumlah tindakan dari pemerintah untuk membasahi gambut dan merevegetasi ekosistemnya.

Namun menurut Even, semuanya itu belum cukup kalau pemerintah beranggapan penyelamatan ekosistem gambut hanya untuk mendapatkan dukungan internasional dan pendekatan proyek.

"Itu dalam jangka panjang tidak menyelematkan gambut dengan baik," kata Even.

Selain melahirkan sejumlah kebijakan, Even menyatakan pemerintah harus berani menggunakan power mengkoreksi kesalahan masa lalu terkait keterlanjuran perizinan di lahan gambut.

"Jangan hanya menjaga gambut yang tersisa karena akan rusak juga selama ada perizinan, kita enggak mikir gambut yang rusak itu susah dipulihkan kalau masih ada investasi (di gambut)," imbuh Even.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini