Sukses

Melihat Pengelolaan Lahan Basah di Kaltim, Maksimalkan Peran Masyarakat

Pengelolaan lahan basah di Kalimantan Timur melibatkan masyarakat dalam upaya restorasi dan rehabilitasi sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung.

Liputan6.com, Samarinda - Kalimantan Timur memiliki lahan basah yang cukup luas. Mulai dari lahan gambut hingga mangrove. Sejak lama, rehabilitasi dan restorasi lahan basah tersebut dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif.

Dalam kegiatan Ekspose Pengelolaan Lahan Basah Berbasis Masyarakat di Kalimantan Timur pada Selasa, 11 Juli 2023 di Samarinda, sejumlah lembaga hadir memaparkan programnya. Diantaranya, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI), Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Yayasan Mangrove Lestari (YML), Yayasan Biosfer Manusia (Bioma), Yayasan Konservasi Khatulistiwa Indonesia (Yasiwa), dan Perisai Alam Borneo.

Ada empat wilayah pengelolaan yang dipaparkan dalam kegiatan tersebut. Keempatnya adalah lahan gambut di Desa Muara Siran, mangrove di Kecamatan Anggana, mangrove di Kampung Semanting, serta rawa dan riparian di Mesangat-Suwi.

“Bisa dilihat dari empat wilayah tersebut, peran masyarakat menjadi kunci keberhasilan pengelolaan lahan basah yang lestari,” ujar Ketua Harian DDPI Kalimantan Timur Profesor Daddy Ruhiyat.

Kolaborasi masyarakat, bersama mitra pembangunan, serta pemerintah daerah dan dunia usaha, bisa ditemui dalam setiap lanskap pengelolaan lahan basah yang ditampilkan dalam ekspose hari ini.

“Ini adalah model-model pengelolaan sumber daya alam yang kami dorong dan terbukti berkelanjutan di Kalimantan Timur,” kata Profesor Daddy.

Payung dari program pengelolaan lahan basah ini adalah Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC). GGC merupakan aksi kolaboratif yang menggandeng berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, perguruan tinggi, masyarakat adat, maupun masyarakat sipil, untuk mempercepat pencapaian tujuan Kalimantan Timur (Kaltim) Hijau.

Sejak GGC dideklarasikan pada 2016, sudah ada 13 inisiatif model pengelolaan sumber daya alam berbasis lanskap. Tiga inisiatif model, khusus untuk pengelolaan lahan basah, yaitu Kemitraan Pengelolaan Delta Mahakam, Kemitraan Perlindungan Lahan Basah Mesangat-Suwi; serta Pengelolaan Kolaboratif Ekosistem Gambut Muara Siran.

Terdapat satu lagi inisiatif model, yaitu Program Karbon Hutan Berau, yang juga mengelola mangrove di Kampung Teluk Semanting, Kabupaten Berau.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Empat Inisiatif Model

Tiap-tiap ekosistem di keempat inisiatif model tersebut memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri. Yayasan Mangrove Lestari menjadi mitra yang mendampingi pengelolaan ekosistem mangrove di lanskap Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang mengalami kerusakan karena tekanan pembukaan lahan.

Degradasi ini telah mengurangi stok produksi laut dan meningkatkan penyakit pada kegiatan pertambakan. Di wilayah ini juga terdapat spesies penting bekantan.

Sementara di Mesangat-Suwi, Kabupaten Kutai Timur, Yayasan Ulin dan Yasiwa berkolaborasi mengelola kawasan ekosistem esensial dengan spesies endemik buaya badas hitam (Crocodylus siamensis).

Di Muara Siran, Yayasan Bioma mendampingi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah gambut. Dan Perisai Alam Borneo mendampingi masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove di Kampung Teluk Semanting.

3 dari 4 halaman

Pengelolaan Lahan Basah Berbasis Masyarakat

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melalui strategi Kerangka Mitigasi Perubahan Iklim, mendukung pengelolaan lahan basah berbasis masyarakat yang menyelaraskan kebutuhan ekologi dan kesejahteraan warga. Bersama dengan DDPI, YKAN melakukan koordinasi, fasilitasi, serta peningkatan kapasitas para mitra pembangunan yang terjun langsung dalam pengelolaan lahan basah, yaitu YML, Yasiwa, Yayasan Bioma, dan Perisai Alam Borneo.

Keempat mitra pembangunan ini pun mendorong pendekatan pengelolaan lahan basah yang dipadukan dengan perlindungan partisipatif, dengan meningkatkan ekonomi alternatif masyarakat. Budi daya sarang burung walet di Muara Siran, misalnya, menjadikan masyarakat setempat lebih peduli ekosistem gambut.

Mereka menyadari, jika lahan gambut rusak, hasil produksi sarang burung walet akan turun. Pun halnya masyarakat di Delta Mahakam.

Kaum perempuan di wilayah ini didampingi untuk membuat olahan hasil perikanan, sembari tetap melindungi ekosistem mangrove yang berperan penting dalam menjaga hasil tangkapan ikan. Di Teluk Semanting, warga kampung mengembangkan kampungnya sebagai destinasi wisata mangrove. Di sini, pengunjung bisa berkemah dan melihat bekantan langsung.

“Peningkatan ekonomi alternatif membuka kesadaran secara perlahan bahwa lingkungan di sekitar warga yang dijaga juga bisa menghasilkan. Apa yang Kalimantan Timur lakukan saat ini memang bukanlah yang ideal, tapi setidaknya dengan komitmen dan kolaborasi, lahan basah bisa tetap lestari,” kata Alfan Subekti, Manajer Senior Pembangunan Hijau YKAN, yang juga menjadi pembicara utama dalam ekspose.

4 dari 4 halaman

Kesadaran Masyarakat Meningkat

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Ence Ahmad Rafiddin Rizal menyebut partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan lahan basah di wilayahnya tidak lepas dari kesadaran itu sendiri. Banyak masyakarat yang tinggal di kawasan lahan basah yang merasakan pentingnya menjaga ekosistem.

“Indikasi yang kita lihat proses rehabilitasi semakin baik. Kepedulian semua pihak juga semakin tinggi. Karena tentu saja ini dikembalikan kepada masyarakat juga, dampaknya akan dirasakan langsung oleh mereka,” kata Ence usai kegiatan.

Masyarakat yang tinggal di kawasan gambut maupun mangrove pada umumnya sangat bergantung dengan ekosistem itu. Sehingga jika rusak, maka peghidupannya juga terganggu.

Ence mencontohkan masyarakat yang tinggal di kawasan gambut di Delta Mahakam yang kini sadar dan merasakan manfaat hutan mangrove. Ekosistem Mangrove yang terjaga meningkatkan hasil perikanan mereka termasuk udang dan kepiting.

Luasan lahan basah di Kaltim tidak sebanding dengan luasan yang ada di provinsi lain seperti Riau dan Kalimantan Tengah. Di Kaltim, lahan gambut hanya 390 ribu hektar dan mangrove mencapai 214 ribu hektar.

“Tapi kita punya kepedulian. Makanya banyak pihak mengajak kami membentuk RPPEG atau Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Terutama memberikan arahan untuk pembangunan, apa saja yang harus dilakukan, apa saja yang harus dihindari,” sebutnya.

Kepedulian tidak hanya dari masyarakat, namun juga aktivitas ekonomi lainnya. Kepedulian itu kemudian menjadikan Kaltim sukses dalam pengelolaan lahan basah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini