Sukses

Nasi Ulam, Kuliner Betawi Produk Akulturasi Budaya

Nasi ulam kering berkembang di kawasan Jakarta Selatan.

Liputan6.com, Jakarta - Nasi ulam merupakan salah satu kuliner Betawi yang kini mulai sulit dijumpai. Sekilas nasi ulam serupa dengan nasi uduk pada umumnya.

Bedanya nasi ulam dicampur dengan serundeng kelapa dan kacang tanah yang ditumbuk. Dikutip dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, ada dua jenis nasi ulam yang berkembang di Jakarta, yakni kering dan basah.

Nasi ulam kering berkembang di kawasan Jakarta Selatan. Sedangkan, nasi ulam basah (berkuah) yang berkembang di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.

Biasanya nasi ulam disajikan bersama daun kemangi, sambal. Di atasnya ditambahkan berbagai macam lauk-pauk teman nasi, seperti dendeng, telur dadar, perkedel, tahu goreng, tempe, dan kerupuk.

Variasi nasi ulam basah biasanya memakai guyuran kuah semur. Sehingga teksturnya agak nyemek. Sementara racikan nasi ulam kering, tidak diberi kuah semur. Sementara, nasi ulam kering berupa nasi putih hanya dicampur serundeng.

Warna nasi pun jadi agak kecokelatan. Ada yang menambahkan taburan kacang tanah hingga kacang hijau di permukaan nasi.

Nasi ulam di Indonesia tidak hanya berkembang di Jakarta, melainkan juga menyebar ke Sumatera dan Bali. Penamaan 'ulam' dalam bahasa Betawi merupakan penyebutan untuk serundeng dari kelapa parut.

Nasi ulam pertama kali muncul sebagai kuliner khas Tangerang. Meskipun di tempat asalnya itu, nasi ulam tak lagi banyak bisa dijumpai.

Awalnya, para pedagang nasi ulam mendorong gerobaknya dari Tangerang menuju Glodok kemudian menjajakannya di kalangan peranakan Indonesia dan Tionghoa. Tidak semua wilayah komunitas Betawi mengenal nasi ulam, baik basah maupun kering.

Nasi ulam basah hanya dikenal di kalangan masyarakat Cina Benteng, Petak Sembilan, kawasan Pecinan, Tanjung Priok, Kemayoran, Matraman, dan Senen. Sedangkan nasi ulam kering dikenal di wilayah Tebet, Kayumanis, dan Mester Jatinegara.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perpaduan Berbagai Budaya

Nasi ulam merupakan perpaduan kuliner dari berbagai budaya. Nasi putih dengan taburan serundeng kelapa dan kacang merupakan pengaruh dari India. Semur yang menjadi pelengkap nasi ulam di daerah perkotaan merupakan pengaruh kuliner Belanda yang kebanyakan dimasak dengan cara direbus (braising).

Sedangkan, perkedel merupakan versi lokal dari frikadeller, gorengan berbahan kentang dan daging asal Belanda, yang sebenarnya juga diadaptasi dari gorengan daging cincang asal Denmark.

Sedangkan pengaruh kuliner Tionghoa ada pada bihun goreng dan dendeng manis. Masyarakat Betawi menyantap nasi ulam di pagi hari sebagai salah satu menu sarapan.

Ulamnya dibuat dalam porsi banyak untuk disimpan sewaktu-waktu, persis seperti serundeng daging biasa. Dahulu nasi ulam selalu hadir dalam acara hajatan di daerah Kampung Melayu, Mester (sekarang Jatinegara), dan sekitarnya.

Sayangnya, saat ini cukup sulit mencari pedagang nasi ulam. Kepopuleran nasi uduk turut membuat eksistensi kuliner khas betawi ini sururt.

Meski penjualnya tak sebanyak nasi uduk, di Jakarta masih ada penjual nasi ulam legendaris yang telah dikenal puluhan tahun. Salah satunya ialah Nasi Ulam Misjaya yang berlokasi di Jalan Kemenangan III, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, tepatnya di dekat Klenteng Toasebio.

Nasi Ulam Misjaya sudah berjualan sejak tahun 50-an. Kini, tempat makan nasi ulam ini telah memiliki tiga cabang lain di kawasan Pluit Junction, Stasiun Duri, dan daerah Palem.

Nasi Ulam Misjaya disajikan dengan berbagai lauk, mulai dari telur dadar, cumi kering, semur tempe, semur tahu, tempe goreng, perkedel, dan dendeng. Seporsi nasi ulam di warung ini sangat ramai dan penuh. Belum lagi, ditambah guyuran kuah semur yang lezat.

Di Tangerang, ada juga tempat makan nasi ulam yang tersohor. Ialah Warung Nasi Uduk dan Ketupat Sayur Encim Sukaria.

Di sana memang menyediakan menu-menu sarapan seperti nasi uduk, ketupat sayur, dan pastinya ada menu nasi ulam. Nasi ulam di warung tersebut dikenal dengan rasanya yang gurih karena dicampur serundeng, bubuk kacang goreng, ebi, dan kedelai goreng.

Warung ini terbilang legendaris karena sudah ada sejak 1960 dan saat ini dikelola oleh generasi kedua, yaitu Kim Tjiang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.