Sukses

Menyoal Kekerasan dalam Pacaran dan Bagaimana Cara Mencintai Tanpa Kehilangan Diri

Latar belakang dari adanya kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) seperti kekerasan terhadap perempuan adalah ketidaksetaraan gender.

Liputan6.com, Bandung - Latar belakang dari adanya kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) seperti kekerasan terhadap perempuan adalah ketidaksetaraan gender. Pembedaan peran, atribut, sifat, sikap, dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, berpotensi menghadirkan KDP.

Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan pada 2021 melaporkan bahwa KDP terjadi sebesar 20 persen dari sekian banyak kategori kekerasan. Sepanjang 2021, Divisi Pelayanan Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRI) menangani kasus KDP sebanyak empat persen dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebesar 10 persen.

Demikian terungkap dalam webinar bertajuk Mencintai Tanpa Kehilangan Diri yang dilaksanakan Yayasan JaRI secara virtual pada Sabtu (26/3/2022) lalu yang diikuti Liputan6.com. Kegiatan yang berlangsung sebagai rangkaian memperingati International Women’s Day (IWD) 2022 itu, dihadiri sekurangnya 197 peserta kelompok remaja.

Dokter forensik Nurul Aida Fathya selaku salah satu narasumber mengungkapkan, KDP timbul karena salah satu pihak memegang kontrol yang lebih besar dominasi dari salah satu pasangan menimbulkan ketidakberdayaan pada korban. 

"Dari definisinya, kekerasan itu merupakan bentuk dari ketidakseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki hingga menimbulkan dominasi dan diskriminasi yang akan menghambat kaum perempuan untuk maju," kata Nurul.

Nurul menjelaskan, perspektif tidak ada kesetaraan muncul karena budaya pemikiran yang melahirkan bahwa perempuan itu jauh lebih rendah, lebih lemah, sehingga yang mendominasi adalah laki-laki.

"Bahwa budaya patriarki di sini masih sangat kental, kemudian masih ada budaya yang mengatakan kekerasan itu adalah sebuah solusi untuk suatu permasalahan sehingga ini sulit untuk dieliminasi," ujarnya.

Nurul memaparkan, kekerasan bisa menimbulkan dampak di antaranya gangguan fisik, psikis bahkan menyangkut masa depan kehidupan dari korban yang didominasi oleh para perempuan.

"Enggak selalu perempuan tetapi 95 persen selalu perempuan (korban). Lelaki bentuknya berbeda, jarang terlaporkan mungkin karena gengsi sebagai korban kekerasan KDRT maupun KDP," tuturnya.

Nurul juga mengungkapkan Catahu Komnas Perempuan di man bentuk kekerasan paling banyak bentuknya fisik sebesar 31%, seksual 30%, psikis 28%, dan ekonomi 10%.

Dalam paparannya, ia mengungkapkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa sebanyak 42,7% perempuan yang belum menikah pernah mengalami kekerasan. Sebanyak 34,4% di antaranya mengalami kekerasan seksual dan 19,6% kekerasan fisik.

"10.847 pelaku kekerasan di mana 2.090 pelaku adalah pacar. Artinya, kekerasan dalam pacaran itu cukup banyak. Catahu Komnas Perempuan juga mencatat pelaku kekerasan sebanyak 1.074 adalah pacar dan 263 mantan pacar. Jadi, ini benar-benar harus bisa dideteksi apakah pasangan bisa melakukan kekerasan atau tidak," kata Nurul.

Terdapat beberapa poin untuk mengenali adanya kekerasan dalam hubungan berpacaran. Antara lain, menggunakan kekerasan fisik untuk menyakiti atau mengintimidasi, salah satu pasangan mempunyai emosi yang meledak-ledak, bersifat posesif atau cemburu yang berlebihan, selalu meremehkan atau mengejek, menguntit secara fisik atau digital, hingga mengecek ponsel, email atau medsos tanpa izin.

Selain itu, kerap menjauhkan dari keluarga atau teman-teman, menuduh yang tidak-tidak, memaksa berhubungan seks, menolak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks.

Dari segi penanganan, Nurul menyarankan agar korban melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Kekerasan yang ada dalam tubuh adalah sebuah bukti sehingga harus terekam dan ketika melaporkan menjadi bukti pasangan kita melakukan kekerasan.

"Bahwa semuanya pasti memiliki hak hukum lapornya bisa langsung ke polisi, kalau mendapatkan kekerasan fisik bisa lapor ke dokter (visum).  Dan yang harus direhabilitasi adalah mental jangan sampai merasa bersalah padahal korban," tuturnya.

Sementara itu, psikolog Fredrick Dermawan Purba menekankan upaya pencegahan KDP. Pencegahan yang dimaksud adalah sebelum menjalani hubungan perlu mengenali diri sendiri serta memahami siapa diri kita.

"Berikan edukasi dan pemahaman mengenai kesetaraan gender sebagai potensi untuk meningkatkan tindakan pencegahan KDP," ujarnya.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.