Sukses

Beseprah, Makan Bersama di Atas Perahu untuk Kerukunan

Tradisi turun temurun ini bisa menyatukan warga dan memahami perbedaan.

Liputan6.com, Jakarta Air mata Rina Wahyu Cahyani tak berhenti menetes. Peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa Samarinda itu kepedasan menyantap hidangan Pirik Cabai Ikan Baung, makanan khas Kutai. Ikan Baung yang digoreng yang diulek bersama sambal di atas ulekan.

Rina makan bersama warga Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bukan sekadar makan bersama seperti hajatan pada umumnya. Namun ini adalah tradisi Beseprah milik Suku Kutai secara turun temurun.

Tradisi Beseprah kali ini dilaksanakan di atas perahu kecil atau sampan. Lokasinya pun tak biasa. Di tengah Danau Melintang. Salah satu danau terbesar di Kalimantan Timur.

Rina yang datang dalam rangka penelitian vegetasi hutan di Danau Melintang tak melewatkan kesempatan itu. Dia pun berbaur bersama warga desa menikmati hidangan di tempat yang tak biasa.

"Tradisi Beseprah ini unik namun sangat khas. Warga desa ingin menonjolkan ciri khas kehidupannya. Makan sambil menahan keseimbangan perahu kecil terasa asyik," kata Rina.

Desa Muara Enggelam termasuk terpencil. Tak ada akses darat menuju desa ini. Bahkan kehidupan seluruh warga nyaris hidup di atas air. Sepanjang delapan bulan, air danau pasang dan tentu tak ada daratan. Kondisi itu justru menjadi penguat pelaksanaan tradisi Beseprah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Saling tukar

Sekitar 30 perahu kecil berkumpul di tengah Danau Melintang. Setiap perahu biasanya diisi satu keluarga. Ada sajian makanan di setiap perahu. Mulai dari makanan berat, hingga kue dan minuman.

Warga makan bersama dan saling menukar panganan masing-masing. Inilah tradisi Beseprah. Tradisi Beseprah atau makan bersama memang rutin dilaksanakan masyarakat suku Kutai sejak dahulu kala. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Kutai berdiri dan kini terus ada.

Beseprah menjadi simbol kebersamaan dan kesetaraan antara raja dan rakyatnya yang berlanjut hingga kini. Pada momen tertentu, tradisi Beseprah sering dilaksanakan untuk meningkatkan kebersamaan warga. Kali ini momen yang dipilih adalah HUT ke-74 Republik Indonesia.

Saling tukar nasi dan lauk, demi kerukunan semua warga.(foto: Liputan6.com/Abdul Jalil)

Kepala Desa Muara Enggelam Jauhar menjelaskan, tradisi Beseprah memang sengaja dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia.

"Kita ingin membangun kebersamaan seluruh warga desa. Kita ingin semua warga bisa membangun desa tempat tinggalnya secara bersama-sama," kata Jauhar.

Pilihan lokasi di tengah Danau Melintang juga bukan tanpa alasan. Jauhar mengingatkan warganya agar kebersamaan itu dibangun di atas penghidupan mereka. Sebab mayoritas warga Desa Muara Enggelam adalah nelayan air tawar di danau tersebut.

"Ini khas dari Desa Muara Enggelam. Makanan khas desa, juga di lokasi yang menjadi sumber kehidupan kami. Kebersamaan yang terbangun akan membuat warga desa ikut menjaga seluruh sumber daya di desanya," tambahnya.

 Simak video pilihan berikut:

3 dari 3 halaman

pawai

Siti Sumarni, seorang ibu rumah tangga yang biasa disapa Embok Elong sudah sibuk di dapur sejak pagi hari. Dia menyiapkan makanan yang bakal disantap saat Beseprah siang nanti. Ada sayur labu dimasak santan dan berbagai ikan air tawar yang digoreng. Setelah siap, semua masakan dibawa ke atas kapal kecil dengan mesin tempel.

Tak lupa, seperangkat ulekan diangkut ke atas perahu. Perahu unik yang dihiasi beragam atribut merah putih. Demikian pula warga Desa Muara Enggelam lainnya. Kesibukan yang sama menyambut tradisi Beseprah dalam rangka HUT ke-74 Republik Indonesia.

Perahu-perahu warga yang biasa digunakan sebagai transportasi sehari-hari itu berkonvoi menyisir sungai. Sebenarnya bukan sungai. Karena musim kemarau panjang, Danau Melintang surut cukup dalam. Menyisakan sungai-sungai kecil. Satu per satu kapal hias itu berjalan menyapa warga lainnya yang duduk di teras rumah. Mayoritas warga tinggal di rumah rakit. Sehingga aliran sungai itu seolah seperti jalan.

"Bagi warga desa, ini kesempatan merayakan kegembiraan bersama-sama. Namanya warga desa, ramai sedikit pasti sudah senang sekali," kata Sumarni.

Kemeriahan tampak dari pawai. Terdengar lagu-lagu perjuangan didendangkan warga. Agar semakin semarak, pihak pemerintah desa menyediakan hadiah bagi perahu dengan hiasan terbaik.

Setelah melewati gerbang desa yang lebih mirip tanggul raksasa, seluruh perahu kecil itu berkumpul. Mereka menggelar doa bersama. Menyisipkan harapan kehidupan yang lebih baik bagi warga desa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.