Sukses

Kisah Masjid Agung dan Sejarah Garut

Dibangun sejak era Belanda, keberadaan Masjid Agung yang berada di bilangan jalan A. Yani Garut, Jawa Barat menjadi pusat kegiatan keagamaan warga.

Liputan6.com, Garut Berdiri megah di bilangan Alun-alun kota Garut. Masjid Agung Garut, Jawa Barat seolah diciptakan untuk menjadi saksi bisu perjalanan masyarakat Garut hingga kini, tak terkecuali saat memasuki bulan suci Ramadan kali ini.

Konon penamaan Garut, berasal dari cerita saat salah seorang warga sekitar, yang tertusuk duri tanaman ki Garut, saat survey mencari lahan untuk pembangunan masjid kebanggaan kota Intan tersebut.

Pengurus Masjid Agung Garut  KH A. Aceng Nauval Mimar mengatakan, pembangunan Masjid Agung Garut, merupakan salah satu dari empat paketan pembangunan infrastruktur, yang dibangun perwakilan Belanda di wilayah Priangan saat itu.

“Kebetulan ibu kota Garut mau dipindah dari Balubur Limbangan ke wilayah sekarang ini,” ujar dia, sambil menunjukan denah masjid yang ada didepannya, saat ditemui Liputan6.com, Ahad (12/5/2019).

Dalam catatan sejarah perpindahan ibu kota Garut, pembangunan masjid diperkirakan dilakukan sekitar 1813. “Namun ada juga sebagian pendapat mengatakan 1809,” kata dia.

Saat itu, pembangunan masjid berbarengan dengan pembangunan gedung pendopo dan tempat tinggal bupati, kantor asisten residen (Kantor Bakorwil saat ini), dan gedung penjara yang tepat berhadapan langsung dengan masjid.

Tak lupa dalam paketan pembangunan itu, satu bangunan ‘Babancong’ ikut dibangun Belanda, yang berdiri di depan Pendopo, dan berada persis di tengah antara masjid dan Pendopo saat ini.

“Kalau Babancong biasa digunakan bupati beserta pejabat pemerintahan dalam menyampaikan pidato kepada masyarakat,” ujar dia menerangkan.  

Nauval mengatakan, pembangunan masjid diprakarsai Bupati RAA Wiratanudatar yang berkuasa hingga 1815, kemudian disempurnakan oleh bupati selanjutnya, Adipati Suria Karta Legawa yang berkuasa pada 1829.

“Perkembangan masjid lebih ramai menjadi pusat kegiatan kegamaan masyarakat setelah dipegang Adipati Mohammad Musa Suria Kartalegawa putranya Adipati Suria Karta Legawa yang menggantikannya berkuasa,” kata dia.

Awalnya pembangunan masjid seluas 4.480 meter persegi itu, hanya diperuntukan untuk shalat lima waktu, namun seiring perkembangan warga, terutama mulai masuknya budaya pesantren, akhirnya masjid mulai difungsikan menggelar shalat jumat, shalat idul fitri dan kegiatan keagamaan islam lainnya. 

Bahkan seiring diberlakukannya jadwal libur sekolah saat memasuki bulan suci Ramadan tahun 1983, aktifitas masjid lebih meriah dengan hadirnya pesantren kilat (Paskil) Ramadan.

“Sejak zaman Pak Soeharto (presiden saat itu) paskil Ramadan Masjid Agung tidak pernah berhenti,” kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Semarak Paskil Ramadan

Nauval mengatakan, masuknya bulan suci Ramadan adalah keberkahan tersendiri bagi Masjid Agung Garut, selain aktifitas masjid menjadi lebih ramai, ratusan anak-anak berbagai usia, nampak antusias mengikuti jalannya paskil Ramadan. “Kami juga membuka kelas khusus bagi Perguruan Tinggi,” ujar dia.

Kegiatan paskil masjid Agung ujar dia, memang selalu menjadi pilihan para orang tua sejak lama, terutama di sekitar Garut Kota, untuk menitipkan anaknya belajar agama.

“Karena buat kami keberadaan paskil sangat penting untuk bekal dan dasar mereka kelak,” ujar dia.

Beberapa pelajaran yang diberikan bagi santri paskil, merupakan pelajaran dasar ajaran islam seperti pembacaan alquran mulai tajwid, hingga hafalan surat pendek.

Kemudian pelajaran fikih, tauhid, hingga akhlak yang menjadi pegangan anak dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. “Banyak tokoh Garut yang saat ini menjabat (pejabat) saat kecilnya belajar ngaji paskil di sini,” ujar dia bangga.

Meskipun pelaksanaan paskil terbilang singkat sekitar dua pekan, namun pola pengajaran yang diberikan, mampu memberikan pengetahun agama yang cukup bagi siswa.

“Kami sifatnya pelajaran dasar agama, sehingga ke mana pun atau di mana pun mereka berada, punya pegangan agama yang kuat,” ujar Aceng menjelaskan pentingnya kurikulum dasar yang diberikan.

Kini seiring berjalannya waktu, paskil Ramadan masjid Agung masih menjadi primadona warga. Bahkan beberapa kegiatan keagamaan yang dilakukan dari luar, seperti seminar keagamaan, semakin membuat aktifitas keagamaan masjid agung lebih hidup. “Bulan Ramadan itu bulan penuh berkah, perbanyak aktifitas kita dengan ibadah,” ujar dia.

Sementara dalam kegiatan sehari-hari, keberadaan masjid Agung memang penuh kegiatan, selain shalat berjamaah lima waktu, shalat jumat, hingga pengajian rutin dan tablig akbar bagi masyarakat umum.

 

3 dari 5 halaman

Tolak Ajaran Garis Keras

Dalam sejarah perkembangan Masjid Agung Garut, keterlibatan dan bimbingan para kiai, ulama, santri dan ustad dari kalangan pesantren memang tidak bisa dipisahkan hingga kini. “Yang pertama kali memimpin juga seorang penghulu juga ulama,” kata dia.

Kepengurusan Masjid Agung (DKM) pertama kali dipimpin KH Hijazi, seorang warga asli pribumi Garut yang merupakan pengulu (Kepala Pengadilan Agama) pertama di Garut. “Masjid ini merupakan kebanggaan masyarakat sejak jaman dulu,” kata dia.

Kemudian dilanjutkan KH. Tamimi yang merupakan keturunan dari KH. Hijazi. Dalam perjalanan selanjutnya banyak kiai, ulama besar bahu membahu untuk memakmurkan dan mengisi kegiatan keagamaan di masjid Agung.

“Intinya asal ahlisunah waljamaah dan tidak memperdebatkan perbedaan pendapat silahkan, dan yang penting dia harus cinta Indonesia, NKRI harga mati,” ujar dia sedikit bercanda, sekaligus menjelaskan seluruh aktifitas kegiatan masjid.

Menurutnya, hal itu sangat penting disampaikan bagi masyarakat, agar kehadiran masjid memberikan keteduhan dan contoh yang baik bagi masyarakat. “Nadhir wakaf itu harus turun temurun dan amanah, kecuali sudah melakukan dosa besar seperti mabuk, jina, judi dan dosa besar lainnya,” kata dia.

Saat ini ketua DKM Masjid Agung dipimpin KH Mimar Hidayatulloh, salah satu anak KH Hidayatulloh, pendiri pesantren Hidayatul Faizien, yang merupakan salah satu nadhir wakaf dalam susunan lembaga pengurus wakaf masjid Agung Garut.

 

4 dari 5 halaman

Tiga Kali Renovasi

Dalam sejarah pembangunan masjid Agung Garut, tercatat sudah tiga kali dilakukan perbaikan sejak pertama kali dibangun 1813 silam. “Pertama 1949, kemudian tahun 1979, kemudian terakhir 1994,” ujar dia.

Dalam pembangunan pertama, atap masjid masih bercorak kebudayaan Jawa Mataram. Hal ini terlihat dari bentuk atap masjid yang bertingkat tiga menjulang ke atas. Kondisi ini masih dipertahankan hingga akhir tahun 1940- an lalu. “Renovasi secara menyeluruh mulai dilakukan 1979,” kata dia.

Saat itu atap masjid sudah mulai berubah, dengan menggunakan struktur kubah, layaknya masjid modern yang berkembang saat ini. “Terakhir direnovasi tahun 1994 sampai saat ini bentuknya seperti itu,” kata dia.

Bahkan dalam renovasi terakhir dua dekade lalu, salah satu arsitek pembangunan digarap langsung Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat saat ini.

Saat itu kang Emil muda, masih tercatat sebagai asisten dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB). “Kalau saya dengar informasi beliau itulah yang mendapatkan tugas langsung dari dosennya untuk menggarap masjid Agung ini,” ujarnya.

Salah satu jasanya yang cukup dikenal hingga kini, yakni penggunakaan teknologi satelit untuk menentukan arah kiblat masjid di Indonesia. “Katanya masjid pertama, tetapi memang beliau lah salah satunya yang menggagas arah kiblat dengan satelit itu,” ujarnya.

Selain itu, halamannya yang cukup luas, memberikan kenyamanan bagi masyarakat untuk melaksanakan kegiatan lainnya, sebut saja bazar ramadan hingga kegiatan upacara kenegaraan yang dilakukan pemda Garut.

 

5 dari 5 halaman

Masjid Sejarah

Melihat sepak terjangnya, Masjid Agung Garut layak disejajarkan sebagai masjid sejarah perjuangan masyarakat Garut. Bahkan penamaan Garut pun, konon muncul saat survei awal pembangunan masjid terbesar di kota dodol itu dilakukan.

“Karena lokasi yang akan digunakan untuk ibukota Garut itu masih hutan belantara tidak seramai sekarang,” kata dia.

Saat itu salah satu petugas yang ditugaskan Belanda untuk melakukan survey lokasi, kakarut (terkena goresan) pohon ki Garut (sejenis pohon berduri) hingga berdarah.

Akhirnya kejadian itu sampai juga ke telinga petinggi Belanda, hingga akhirnya sang meneer menyebut calon ibu kota baru Limbangan tersebut, diubah menjadi sebutan Garut.  

“Pola pembangunan insfrastruktur yang dilakukan (Belanda) memang terbilang tertib dan rapi, dengan menggabungkan pusat pemerintahan dan sarana ibadah warga dalam satu lokasi,” ujar dia.

Pendapat itu diamini budayawan Garut, Frans Limiart. Menurutnya denah pembangunan infrastrktur yang dilakukan Belanda menggunakan sistem bintang, dengan mengumpulkan seluruh fasilitas gedung pelayanan masyarakat dalam satu titik lokasi.

“Itu jelas lebih menguntungkan dan memberikan kemudakan bagi masyarakat,” kata dia.

Dalam prakteknya, Gedung Pendopo dan pemerintahan yang berada di sebelahnya, berhadapan langsung dengan gedung penegakan hukum aturan pemerintah seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

“Jadi bisa dinilai oleh kita mungkin agar memudahkan evaluasi dan pengawasan,” kata dia.

Sementara bangunan masjid Agung Garut yang berdiri saat ini, berhadapan langsung dengan gedung lembaga pemasyarakatan atau penjara warga saat itu. “Itu kan sebagai pertanda, jika tidak bisa bertaubat juga di masjid ya terpaksa di penjara,” ujar dia berkelekar.

Namun apapun itu, posisi berdekatan antara gedung pemerintahan dan bangunan masjid, memberikan banyak kemudahan dan manfaat bagi masyarakat.

Kini di usianya yang sudah menginjak dua abad lebih, keberadaan masjid Agung Garut semakin diperhitungkan dan dibutuhkan masyarakat, dalam mencari jati diri melalui kegiatan spiritual keagamaan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.