Sukses

Ironis, Krisis Air Bersih Ancam Masyarakat di Jantung Hutan Gunung Slamet

Masyarakat di lereng Gunung Slamet, Banyumas, yang mengandalkan sumber air dari hutan lindung tak luput dari ancaman krisis air bersih.

Liputan6.com, Banyumas - Kemarau yang berlangsung sejak Juni 2018 berangsur membuat sumur-sumur warga di pegunungan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengering. Di dataran rendah, air sumur yang biasa jernih berubah keruh dan berbau.

Total, di Banyumas terdapat 76 desa atau kelurahan di 13 kecamatan yang nyaris selalu mengalami krisis air bersih jika terjadi kemarau panjang, seperti yang terjadi pada 2015. Saat itu, ratusan tangki air bersih mesti dikirimkan rutin ke desa-desa yang terdampak kemarau panjang.

Di awal Juli 2018 ini, tercatat baru ada tiga desa yang dikirimi air bersih. Tiga desa itu, yakni Kelurahan Sumpiuh, Kredanan dan Nusadadi. Padahal, kemarau baru terjadi pada awal Juni lalu. Bahkan, dasarian akhir Juni, cuaca Banyumas diwarnai hujan sedang hingga lebat.

"Airnya tidak bisa digunakan karena berbau," kata Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas, Kusworo, Rabu, 4 Juli 2018.

Diperkirakan bakal terjadi peningkatan signifikan jumlah desa yang minta dikirimi air bersih pada Juli, Agustus, dan September, seiring kemarau panjang yang diperkirakan berlangsung hingga Oktober 2018 nanti.

Itu termasuk sejumlah daerah di selatan lereng selatan Gunung Slamet yang mengandalkan air bersih dari hutan lindung di kawasan lereng selatan Gunung Slamet. Masyarakat di lereng Gunung Slamet, Banyumas, yang mengandalkan air dari hutan lindung tak luput dari ancaman kekeringan dan krisis air bersih.

Ini adalah ironis. Pasalnya, hutan lindung lereng Gunung Slamet dianggap sebagai hutan alam paling orisinil yang dimiliki oleh Pulau Jawa. Ia adalah jantung bagi kehidupan, terutama untuk Jawa bagian tengah.

Namun, menilik data Kelompok Pemerhati Lingkungan Komunitas Peduli Gunung Slamet (Kompleet) Purwokerto pada 2017, ancaman krisis air bersih di lereng selatan Gunung Slamet bukan lah aneh. Sebabnya, pada 2011 lalu, di lereng Slamet selatan hanya tersisa sekitar 700-an mata air dari ribuan mata air yang sebelumnya ada.

Alih fungsi dan eksploitasi berujung deforestasi menjadi penyebabnya. Kayu-kayu keras dipangkas. Lantas, ia berubah menjadi ladang tanaman musiman yang tak punya daya konservasi.

Perlahan tapi pasti, mata air redup satu per satu. Bencana kekeringan dan Krisis air bersih pun, mengancam.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hilangnya Ribuan Mata Air di Lereng Selatan Gunung Slamet

Pegiat Kompleet, Dhani Armanto menyebut, data di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas memperlihatkan dalam kurun waktu sepuluh tahun, dari 2001-2011 terdapat 1.321 mata air yang hilang.

Ia juga menilai, Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Slamet menjadi ancaman serius terhadap keberadaan sumber mata air masyarakat. Keberadaan proyek geothermal itu akan mempercepat rusaknya hutan (deforestasi) dan hilangnya ratusan mata air yang tersisa.

Padahal, menurut Dhani, hutan hujan tropis Gunung Slamet bukanlah kawasan hutan yang bisa dibuat oleh manusia. Ekosistem hujan tropis dataran tinggi tersebut terbentuk ribuan tahun secara alami.

Dalam jangka panjang, pembabatan hutan dan alih fungsi hutan dalam jumlah besar akan sangat berpengaruh pada kestabilan ekosistem di Jawa. Pembabatan itu sekaligus akan mengancam kelestarian ribuan hektar hutan tropis Gunung Slamet.

Sebab, dalam analisis yang dilakukan oleh Kompleet, sedikitnya proyek ini pada tahap eksplorasi dan eksploitasi akan membuka sekitar 600 hektar lahan. Luasan itu memperhitungkan pembukaan akses jalan, landasan pengeboran, jalur pipa, embung dan fasilitas penunjang lainnya ketika PLTP telah beroperasi.

Belum lagi jika terjadi kegagalan pada sumur bor awal, akan dilakukan pengeboran di titik lain. Itu tentu berpotensi memperluas hutan lindung tropis yang rusak.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk proyek panas bumi di Gunung Slamet yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2012 adalah 44 hektare. Namun, terjadi penambahan luasan pada Oktober 2016 dengan keluar izin baru seluas 488,28 hektare.

Celakanya, Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi di Gunung Slamet yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM adalah 24.660 hektare yang 90 persennya berada di kawasan hutan lindung.

"Kalau sampai eskploitasi, area terdampaknya, itu mulai dari Kaligua, sampai ke sumur paling timur. Itu di bagian atas Sungai Banjaran. Itu terus sampai ke bawah. Dari ketinggian, areal yang terdampak ya, ketinggian 2500 mdpl sampai mendekati kota purwokerto," ucap Dhani, kepada Liputan6.com, Mei 2017.

Dia menerangkan, hilangnya hutan juga meningkatkan resiko bencana alam. Dari hasil penelitian Corey-bradshaw pada 2007, setiap sepuluh persen hutan ditebang, potensi bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan meningkat lima sampai delapan persen.

3 dari 3 halaman

7 Mata Air untuk 76 Desa Rawan Krisis Air Bersih di Banyumas

Ancaman kekeringan yang terjadi nyaris tiap tahun ini disadari oleh BPBD Banyumas. Pasalnya, sumber utama krisis adalah berkurangnya debit air yang berhubungan langsung dengan proses hilang dan rusaknya sumber air warga.

Kepala Seksi Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Banyumas, Catur Hari Susilo mengatakan kunci suplai air bersih adalah pada ketersediaan sumber mata air. Karenanya, BPBD rutin menggelar sosialisasi untuk tak menebang pohon di sekitar mata air.

Ia juga mengimbau agar warga mulai mereboisasi hutan atau menanam kayu keras di kawasan yang yang gundul. Dengan begitu, mata air sebagai sumber penghidupan warga tetap terjaga.

"Ada trembesi atau beringin hutan, kiara. Itu akan menjaga mata air tetap ada. Juga jangan mengubah-ubah mata air," Catur menjelaskan.

Pada 2018 ini, BPBD Banyumas mempersiapkan setidaknya tujuh mata air di seluruh Banyumas untuk menyuplai kebutuhan air bersih menyusul meluasnya dampak kemarau. Letaknya merata, mulai dari Banyumas barat, tengah, hingga ke timur.

Dia mencontohkan, untuk wilayah Banyumas barat, akan diambil dari wilayah Pancasan Kecamatan Ajibarang. Wilayah Banyumas timur akan diambil di wilayah Banjarpanepan. Adapun wilayah kota Purwokerto akan diambil dari wilayah Baturaden atau dari PDAM.

"Prosedur yang dilakukan, kita akan droping air bersih, manakala desa daerah rawan mengajukan surat permohonan bantuan air bersih, atau secara lisan terlebih dahulu," Catur menambahkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini