Sukses

Perjuangan Anak Pedalaman Lafeu Tembus UPN Yogya Lewat SBMPTN

Tidak ada jaringan internet di Desa Lafeu. Untuk dapat mengakses internet Rofik mesti ke pusat kota.

Yogyakarta - Seumur hidup Abdul Rofik Budin (17) tak pernah naik pesawat. Bahkan untuk mengakses internet di rumahnya yang terletak di Desa Lafeu, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah saja Rofik tak bisa akibat ketiadaan koneksi. Padahal, ia butuh untuk mendaftar SBMPTN.

Namun, Rofik tidak patah arang meski fasilitas tidak memadai. Dari desa yang dekat dengan pantai itu, Rofik memilih bertolak ke Kabupaten Poso. Ratusan kilometer ia tempuh untuk pendidikan yang lebih baik, ia pun bersekolah di SMA Negeri 3 Poso dan tinggal bersama kakak tiri yang juga membiayai studi dirinya.

Perjuangan tiga tahun Rofik di SMA akhirnya terbayar. Ia dinyatakan lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Fakultas Teknik Industri (FTI) Program Studi (Prodi) Sistem Informasi Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Yogyakarta (UPNVY).

"Pas mau ke Yogya, itu pertama sekali saya naik pesawat," ujarnya ketika berbincang santai dengan KRJOGJA.com disela-sela proses daftar ulang di Kampus Utama UPNVY Condongcatur, Selasa, 8 Mei 2018.

 

Ia menceritakan, dirinya berangkat hari Minggu lalu dari Bandara Mutiara Sis Al-Jufrie, Palu, dan transit di Bandara Sultan Aji Muhammad, Balikpapan, selama 4 jam. Menuju ke Palu, Rofik harus menempuh perjalanan darat kurang lebih 6 jam dari Poso.

"Untung kemarin ada orang baik di bandara, jadi saya dibantu untuk masalah check in dan lain sebagainya," papar Rofik sembari tersenyum.

Pengalaman pertama mengikuti SBMPTN itu, dikatakannya, bakal ia ingat hingga nanti. Ia tidak ingin mengecewakan ibu yang bekerja sebagai petani jambu dengan pendapatan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per tahun. Sang ayah, Budin telah meninggal dunia sejak ia umur lima tahun. Praktis, ibunya yang bernama Nurlin harus menanggung hidup Rofik dan adiknya.

"Ibu kalau tidak panen jambu, ikut teman-teman lain memecahkan batu yang kemudian dijual ke perusahaan atau orang yang mau membangun rumah," jelasnya.

Keluarganya, mau tidak mau, harus hidup dalam kesederhanaan di bawah atap rumah 9x7 meter. Sehari-hari, mereka memakan nasi dengan sayur dan acap kali ditemani kopi hitam saja apabila uang tak lagi mencukupi beli sayur.

"Saya ingin membuktikan saya bisa kuliah di Jawa dan bekerja terus bisa bayarin adik saya juga. Ibu pernah berpesan sama saya, untuk sekolah yang benar dan bisa sukses karena ibu tak selamanya sehat," kata Rofik terharu.

Baca berita menarik lainnya dari KRJogja.com di sini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.