Sukses

Ada Peran Lansia dalam Tradisi Mappadendang di Maros

Para lansia yang memukul alu menciptakan irama merdu dalam tradisi mappadendang di Maros.

Liputan6.com, Makassar - Warga Bugis di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, biasa menggelar tradisi mappadendang untuk menyambut musim panen di daerah mereka. Pelakonnya rata-rata adalah para lansia.

"Kami akui tantangan cukup berat, apalagi di era teknologi canggih begini. Hampir semua alat panen menggunakan teknologi canggih, tapi alhamdulillah masyarakat sini masih tetap menjaga tradisi mappadendang," kata Abdul Rahim, tokoh adat Kelurahan Taroada, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sulsel, saat ditemui Liputan6.com, Selasa (4/7/2017).

Tradisi mappadendang atau menumbuk gabah, kata dia, bermakna ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rezeki berupa panen raya kepada para petani di Kelurahan Taroada. Selain itu, tradisi tersebut juga sebagai ajang silaturahmi sesama warga.

"Ini setiap tahun diadakan, khususnya saat panen raya tiba," kata Rahim.

Melakukan proses mappadendang, ujar Rahim, bukanlah perkara mudah. Mereka menggunakan alu yang terbuat dari kayu balok serta lesung tradisional mampu menumbuk gabah dengan menghasilkan irama bunyi dan gerak yang indah.

"Salah satu yang dilakukan agar menghasilkan irama indah dan gerak rapi tersebut adalah alu yang digenggam para penumbuk gabah tak boleh saling bertabrakan," ujar Rahim.

Yang unik lagi, ujar Rahim, para penumbuk gabah rata-rata diperankan oleh orangtua yang berusia lanjut. Selain sudah terlatih dan berpengalaman, tradisi ini juga masih dianggap sangat sakral.

"Meski para lansia yang memainkan, tetap mereka kelihatan masih sangat kuat mengayunkan alu yang beratnya mencapai 5 kilogram dan lama beraksi berjam-jam tanpa henti di atas lesung yang semuanya berisi gabah," tutur Rahim.

Sebelum ditumbuk, kata Rahim, gabah terlebih dahulu direndam selama sehari lalu dipanaskan di atas wajan yang terbuat dari tanah liat. Hal ini, kata dia, dilakukan agar pemisahan kulit dengan berasnya bisa lebih mudah nantinya.
 
Gabah yang telah dipisahkan dengan kulitnya itu nantinya kembali akan disaring menggunakan nyiru yang terbuat dari anyaman bambu. Hasilnya yang menjadi tepung beras kembali diolah menjadi kue tradisional yang memiliki dua rasa yakni manis dan gurih.

"Kue yang berbahan beras dicampur gula merah dan kelapa itu kemudian ditaruh di loyang dan digelar ritual doa. Setelah itu, masyarakat baik yang menonton maupun terlibat acara mappadendang, dipersilakan untuk mencicipinya," kata Rahim.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.