Sukses

3 Tradisi Masyarakat Sunda Menjelang Ramadan

Bagi masyarakat Garut, datangnya Ramadan adalah berkah, sehingga dipersiapkan sebuah tradisi untuk menyambutnya.

Liputan6.com, Garut - Marhaban Ya Ramadan, bulan suci penuh ampunan bagi umat Islam, sudah dalam radar hitungan hari. Seluruh masyarakat muslim dunia, tak terkecuali warga Muslim Garut, Jawa Barat akan melaksanakannya. Bagi masyarakat Sunda, ada beberapa tradisi yang selalu dilakukan sebelum datangnya bulan suci Ramadan.

Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda, Cisurupan Garut, KH Cecep Jaya Karama mengatakan, ada beberapa tradisi baik yang biasa dilakukan masyarakat Garut menjelang datangnya bulan suci Ramadan. "Ada keramasan, munggahan, hingga nadran," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu (1/5/2019).

Keramasan

Keramasan atau Kuramasan dalam dialek Sunda, merupakan mandi besar atau mandi taubat biasa masyarakat menyebut. Berasal dari kata keramas, artinya mandi dengan disertai membasuh kepala secara sempurna.

Hal ini menunjukan sebuah simbol pembersihan dan penyucian diri lahir dan batin, sebagai bagian dalam penyambutan bulan suci Ramadan. "Tak lupa saling memaafkan, hilangkan rasa dengki, dan dendam kepada semua," kata dia.  

Dalam praktiknya, biasanya dilakukan sehari sebelum pelaksanaan puasa Ramadan berlangsung. Setelah melakukan mandi besar atau keramasan, setiap keluarga kemudian melangsungkan aksi saling memaafkan dari segala salah dan dosa. "Istilahnya pembersihan diri menyambut bulan suci Ramadan," kata dia.

Tidak hanya di dalam keluarga, biasanya acara keramasan biasa dilakukan di lingkungan masyarakat sekitar, dengan cara saling memaafkan antaranggota masyarakat di lingkungan sekitar.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Munggahan

Tradisi kedua yang biasa dilakukan masyarakat Sunda Garut menjelang datangnya bulan suci Ramadan yakni Munggahan. Berasal dari kata munggah yang berarti naik atau meningkat, sehingga mampu melakukan perubahan dalam berbagai hal, terutama soal kebaikan.

Bagi masyarakat Sunda, acara munggahan biasa digunakan sebagai penyambutan hari pertama bulan suci Ramadan. Tradisi itu diharapkan mampu meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT selama bulan suci Ramadan. "Bukan hanya makan-makan saja, tetapi yang pasti adanya peningkatan kualitas ibadahnya saat kita masuk Ramadan," kata dia.

Ada dua macam istilah munggahan. Pertama munggah adat, yakni adanya peningkatan dalam hal adat atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat sekitar. "Contoh, biasanya kalau makan cuma dengan telur, di bulan Ramadan meningkat menjadi makan dengan daging," dia menerangkan.

Kedua munggah darajat, yakni adanya peningkatan derajat ketakwaan seseorang selama melaksanaan bulan suci Ramadan. "Yang awalnya jarang beribadah dengan datangnya Ramadan, maka menjadi lebih rajin," kata dia.

Budayawan Garut Franz Limiart menambahkan, bagi masyarakat Sunda, tradisi munggahan sudah diwariskan sejak lama secara turun-temurun, sebagai bagian penyambutan bulan suci Ramadan.

"Biasanya diisi syukuran makan-makan secara bersama, hitung-hitung makan terakhir siang hari besok mau puasa," papar dia.

Kegiatan ini, ujar dia, biasa dilakukan sepekan terakhir menjelang datangnya Ramadan. Dalam kegiatannya tidak hanya bersama keluarga, tetapi bisa dilakukan bersama teman, rekan kerja dan orang terdekat. "Selain makan-makan juga saling memaafkan menyambut bulan suci Ramadan," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Nyadran atau Nadran

Tradisi ketiga yakni Nyandaran atau Nadran. Prosesi budaya yang kata dasarnya diambil dari bahasa Arab, Nadara yang berarti jarang atau langka. Dalam kegiatan sehari-hari, adat tersebut kemudian kerap dilakukan masyarakat, dengan cara berkunjung menemui sanak saudara hingga berziarah kubur.

Selama nadran, seorang Muslim biasanya melakukan ritual membersihkan makam orangtua atau keluarga yang telah meninggal dunia, sambil memanjatkan doa ampunan bagi ahli kubur. "Biasanya dilakukan menjelang Ramadan atau awal Syawal (lebaran Idul Fitri)," kata dia.

Bagi masyarakat Indonesia, budaya ziarah ke makam leluhur, seolah menjadi keharusan sanak saudara atau keturunan setelahnya, untuk mendoakan ahli kubur yang telah meninggal dunia. "Ziarah kubur ini merupakan amalan yang sangat baik bagi umat Islam," Cecep menegaskan.

Bagi yang belum melaksanakan ketiga prosesi adat yang mengandung unsur ibadah tersebut, alangkah baiknya ikut dilaksanakan sebagai bekal siraman rohani menjelang datangnya bulan suci Ramadan tahun ini.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.