Sukses

Cegah Parpol Calonkan Kepala Daerah Eks Pecandu Narkoba, KPU Diminta Gandeng BNN

Indonesia di akhir tahun kembali menggelar pesta demokrasi, yakni Pilkada Serentak 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia di akhir tahun kembali menggelar pesta demokrasi, yakni Pilkada Serentak 2020. Namun, masih ada beberapa aturan yang masih belum beres terkait pencalonan kepala daerah, salah satunya usulan mengenai calon kepala daerah mantan pecandu narkoba.

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubaidillah Badrun, mengatakan berbahaya apabila partai politik mengusung calon kepala daerah yang pernah terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Menurutnya, jangan sampai partai memaksakan mantan pecandu narkoba maju di Pilkada serentak.

"Ya itu berbahaya sekali karena secara sistemik dia (narkoba) merusak generasi, makanya salah satu agenda penting pembangunan bangsa itu fokus pada Sumber Daya Manusia (SDM). Kalau SDM nya rusak akibat narkoba republik ini rusak," kata Ubadillah dalam keterangan tertulis, Kamis (6/8/2020).

Kemudian, kata dia, kalau kepala daerah mengkonsumsi narkoba tentu ada kerusakan di dalam tubuh dan pikirannya. Misalnya naroba telah merusak saraf dan pikirannya.

"Kalau kepala daerah itu tidak sehat baik secara fisik dan psikis, dan nalar. Itu berisiko besar buat daerahnya, bisa salah mengambil kebijakan, bisa juga dia ketagihan lagi, dan itu tidak efektif memimpin daerah orang-orang yang pernah menyalahgunakan narkoba," kata Ubadillah.

Menurutnya, partai politik harus konsisten mendukung upaya pemerintah memerangi narkoba. Ubadillah meminta partai politik menyeleksi betul calon kepala daerah yang akan diusungnya, jangan sampai mengusung calon kepala daerah yang pernah terlibat dalam penyalagunaan narkoba.

Begitu juga penyelenggara Pemilu. KPU, menurutnya, bisa membuat aturan larangan bagi pecandu narkoba dengan berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia meminta KPU tindak tegas jika menemukan calon kepala daerah yang berpotensi.

"Bahwa putusuan MK itu juga berlaku untuk seluruh calon kepala daerah dalam proses-proses pendaftaran. Jadi kalau bermasalah ya harus ditolak," katanya. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kerjasama dengan BNN

Lebih lanjut, Ubadillah mendorong partai politik dan KPU bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk memverifikasi calon-calon kepala daerah yang bakal berlaga pada hajatan dan pesta demokrasi tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota ini. Hal itu sangat penting menelusuri jejak rekam seseorang yang ingin menjadi kepala daerah.

”Partai dan KPU saya kira perlu menggandeng BNN untuk menverifikasi apakah seseorang yang mau nyalon itu pernah terkait kasus narkoba, atau hal-hal lain yang melanggar ketentuan yang ada. Jadi saya kira perlu kerjasama dengan kepolisian juga,” tandas Ubadillah.

Ubadillah juga meminta partai politik mematuhi putusan MK, sebagai putusan final dan mengikat. Putusan MK tentang larangan pecandu narkoba maju di Pilkada tak dapat diganggu. Untuk itu, partai politik tidak boleh melanggar undang-undang untuk kepentingan pribadi, kolompok dan golongan.

"Jadi menurut saya sebaiknya (partai) tidak ngotot partai itu untuk mencalonkan orang-orang yang bermasalah," tegasnya.

Untuk diketahui, pada Desember 2019 lalu MK memutuskan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Putusan MK tersebut melarang pecandu narkoba maju di Pilkada.

Putusan Mahkamah ini berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Pasal tersebut adalah larangan bagi seseorang dengan catatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. MK menyebut pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, kecuali dengan alasan kesehatan si pemakai yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.