Liputan6.com, Jakarta Kemasyhuran Pangeran Diponegoro memang tak terbendung. Sebagai pemimpin Perang Jawa pada 1825-1830, namanya harum hingga kini. Sebagian besar kalangan melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Bahkan pengakuan resmi pun dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yang pada masa Perang Jawa berlangsung, belum ada. Tepatnya pada 1973, Sang Pangeran dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 tertanggal 6 November 1973.
Di tengah pujian kepada Sang Pangeran yang bernama kecil Raden Ontowiryo ini, ternyata ada sebuah babad yang menempatkan Pangeran Diponegoro di posisi berbeda. Alih-alih memuji Sang Pangeran, babad itu melihat dari sisi lain dan menempatkan Diponegoro pada sosok antagonis. Babad itu dikenal dengan Babad Kedung Kebo.
Advertisement
Babad Kedung Kebo seakan membalik semua kisah. Apa yang dikisahkan dalam Babad Kedung Kebo bukan sosok Pangeran Diponegoro yang mampu menggerakkan massa untuk mengusir penjajah dari tanah Jawa hingga membuat Belanda menanggung kerugian sebanyak 20 juta Gulden.
Apa Itu Babad Kedung Kebo
Babad Kedung Kebo sendiri ditulis oleh Cokronegoro, Bupati pertama Purworejo, yang sebenarnya memiliki kedekatan dengan sang Pangeran. Cokronegoro menyebut pernah sama-sama berguru ilmu tasawuf kepada Kiai Taptojani, yang merupakan ulama besar sekaligus pengurus tanah wakaf atau pondok pesantren di kawasan Mlangi, saat itu.
Meski pernah menimba ilmu dengan guru yang sama, keduanya kemudian memiliki perbedaan dalam memandang kolonialisme. Peter Carey dalam buku Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, menyebut bahwa nasib dua tokoh Perang Jawa yang pernah sama-sama belajar tasawuf Islam dengan guru terkondang itu akhirnya berbeda secara diametral.
Diponegoro menjadi Sultan Erucokro dan pemimpin Perang Jawa melawan Belanda. “Sementara Cokronegoro diangkat menjadi wakil komandan Hulp Troepen (pasukan cadangan pribumi) Keraton Surakarta di Bagelen dan membela daerah Surakarta dari pasukan sang Pangeran,” tulis sejarawan “spesialis” Pangeran Diponegoro ini.
Sebagai naskah, babad ini menuliskan cukup rinci terkait ungkapan Cokronegoro terhadap Pangeran Diponegoro. Selain itu, di sana turut diungkap berbagai peringatan kekalahan dari Perang Jawa melalui sisi spiritualitas.
Menurut Cokronegoro dalam babad tersebut, tanda-tanda kekalahan Pangeran sebenarnya telah tampak. Semisal, saat Diponegoro mengirimkan penasehat agamanya yakni Joyomustopo bersama Kiai Janodin, anak laki-lakinya yang bernama Abukasan, serta Kiai Mopid, seorang ulama dari Guyangan di Kecamatan Loano di Purworejo.
Penasehat itu diminta mencari kembang Wijayakusuma yang tumbuh di Pulau Nusakambang. Dalam kepercayaan Jawa, kembang ini akan dicari oleh setiap orang yang menuntut mahkota dari suatu kerajaan di Jawa. Kalau kembang tersebut tidak dapat ditemukan, dapat ditafsirkan bahwa penuntut tidak mempunyai tuntutan yang sah atas mahkota kerajaan yang diincar.
Setelah tidak berhasil dalam menemukan kembang tersebut, rombongan sempat mendapat peringatan dalam mimpi di mana Pangeran Diponegoro menaiki sebuah sapi gumirang yang kakinya terjerat tumbuhan di sebuah bukit sebelum akhirnya melarikan diri.
“Mimpi ini mungkin melambangkan kekuatan destruktif yang akan dikobarkan Diponegoro di Jawa,” tulis Peter Carey.
Tanda lainnya, ada angin yang merobek kelambu saat para penasehat agama itu beristirahat ketika perjalanan pulang dari Cilacap dan singgah di Gombong. Mereka bermalam di pekuburan Wali Prakosa, dan peristiwa itu menyebabkan kelambu menutupi pusara. Kejadian serupa juga ketika bermalam di Banyumas. Joyomustopo dan Kiai Mopid merenungkan tentang semua tanda-tanda yang telah mereka saksikan, mereka menyadari bahwa pada akhirnya semuanya menunjuk kepada kehancuran yang akan menimpa Mataram.
Babad Kedung Kebo menyebut Diponegoro sebagai sosok yang ambisius dan tidak tulus ikhlas. Pemberontakan melalui Perang Jawa merupakan bentuk kekecewaan karena gagal menjadi raja yang dianggapnya tidak cocok. Kedung Kebo juga menyebut bahwa Sang Pangeran memiliki sifat takabur dan melalaikan peringatan yang diberikan Tuhan sebelum Perang Jawa pecah. Laku lampah Diponegoro pun dianggap Cokronegoro sebagai kepentingan pribadi, bukan kepentingan rakyat.
Dikatakan dalam Babad Kedung Kebo, Sang Pangeran telah melupakan peringatan yang telah diberikan oleh Tuhan sebelum pecahnya perang. Dengan demikian ia mengeluarkan murka Tuhan sebagai akibat dari perbuatannya. Di samping itu ia juga disesatkan oleh Kiai Mojo. Penasihat agama utama itu mendesak Pangeran untuk memproklamasikan dirinya sendiri sebagai sultan pada saat yang sama sekali tidak cocok.
Advertisement
Hanya Justifikasi Cokronegoro
Pemerhati sejarah dan budayawan Jogja, Irfan Afifi memiliki pandangan agak berbeda dari Babad Kedung Kebo. Menurut dia, Babad Kedung Kebo merupakan justifikasi pribadi, alias pembenaran Cokronegoro yang membelot ke Belanda di masa Perang Jawa.
“Justifikasi moralnya, itu. Kan dia legiun Belanda, menyiapkan militer untuk nyerang pasukan Pangeran Diponegoro, bahwa apa yang dilakukannya bisa berdampak dan merupakan klaim diri sebagai kesatria,” terang Irfan kepada Liputan6.com, Minggu (28/9/2025).
Sebagai seorang dengan tingkat spiritual yang tinggi, lanjut Irfan, Pangeran Diponegoro tidak serta merta menjadikan Perang Jawa sebagai panggung untuk mencari simpati, apalagi dijadikan pelampiasan kekecewaan karena gagal menjadi raja.
Bukti kuatnya mengapa anggapan Cokronegoro dalam Babad Kedung Kebo salah, menurut Irfan adalah karena secara posisi, Diponegoro justru telah memiliki kedudukan yang tinggi di lingkungan Keraton Yogyakarta, yakni sebagai wali bagi pihak kasultanan. Kedudukan itu kemudian juga dilepas sebelum Perang Jawa meletus, sehingga tidak ada ambisi duniawi.
“Pangeran Diponegoro tidak seremeh itu, artinya tidak ada unsur kecewa atau apa ketika tidak menjadi raja. Bahkan, Cokronegoro memutuskan untuk melawan Diponegoro hingga diangkat menjadi bangsawan tertinggi itu (bupati pertama Purworejo). Artinya dia punya posisi dari yang sebelumnya rakyat biasa. Siapa yang punya pamrih akhirnya?” kata Irfan.
Kharisma Diponegoro Tak Bisa Bohong
Fakta sejarah yang membantah pandangan Babad Kedung Kebo. Bukti nyatanya, ada begitu banyak pihak-pihak yang terlibat mendukung pangeran di masa Perang Jawa dekade 1825-1830.
“Mengapa Diponegoro bisa diikuti oleh seluruh elemen itu? Karena, orang Jawa itu melihat dan percaya, bahwa Dipoengoro adalah sosok yang jujur, dan tidak ada pamrih. Itu bisa dirasakan dan semakin orang itu pamrih, dia semakin tidak keramat sebagai pemimpin,” tambah Irfan.
Para laskar kemudian terbentuk untuk menyukseskan perang maha dahsyat tersebut dan terdiri dari kalangan ulama, masyarakat sipil, para bupati di luar Keraton Yogyakarta. Bahkan warga biasa hingga para bandit yang sebelumnya merupakan kelompok criminal, juga bergabung di barisan Sang Pangeran.
Mereka semua punya tujuan yang sama dengan Pangeran Diponegoro, yakni memukul mundur para penjajah yang semena-mena menghancurkan tatanan sosial.
Dalam buku terbaru yang ditulis Peter Carey dan Aditia Gunawan berjudul “Sketsa Perang Jawa Tahun 1825: Kesaksian Pelaku Sejarah oleh Raden Adipati Aryo Joyodiningrat” (terbitan 2025), disebutkan bahwa seluruh lapisan masyarakat mendukung upaya Diponegoro dalam mengobarkan Perang Jawa.
Dalam catatan yang dibuat pada 1857 itu, disebutkan Aryo Joyodiningrat menjadi Bupati Karanganyar periode 1832-1864. Ia saksi sejarah menjabat sebagai komandan junior Diponegoro di Perang Jawa pada 1829 sebelum akhirnya membelot ke Belanda pasca Perang Jawa.
Advertisement
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413265/original/060792600_1763118793-bansos_penerima.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413226/original/046541900_1763117420-Cek_Fakta_Tidak_Benar_Ini_Link_Pendaftaran_-_2025-11-14T172823.946.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4458021/original/050263300_1686203280-sidang_aris_ashar_dan_fatia_dengan_saski_luhut_binsar_panjaitan-IMAM_10.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4937951/original/024942800_1725596554-Lowongan_Bersama_BUMN.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/avatars/3864018/original/051307000_1737543005-WhatsApp_Image_2025-01-22_at_17.47.52.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1304207/original/006758500_1470043812-20160801-pameran-lukisan-GMS-1.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1216281/original/feec7355a41d4122bb08b5124e883c1bprofil.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/811638/original/022878300_1424055706-16022015-diponegoro.jpg)


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5398908/original/086614100_1761900233-Lagidiskon__desktop-mobile__356x469_-_Button_Share.png)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413217/original/016979500_1763117253-Blazer_Pria.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5409805/original/097393000_1762907774-Koko_Kurta.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5408885/original/051210600_1762838620-Armada_Vietjet__1_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5407768/original/070203800_1762753906-Fujifilm_Instax_Mini_LiPlay__02.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4767838/original/039381300_1710008223-Beige_Chino___Tapered_Cotton_Stretch_Trouser_-_ASKET.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4700848/original/089505300_1703763117-sandals-4273243_640.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/2255977/original/087039700_1529581269-Sofo_Olive__1_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/3948052/original/092439800_1646031798-waldemar-brandt-UP9DtTjRYpI-unsplash.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1239761/original/010097400_1463735120-Penangkapan_Pangeran_Diponegoro_karya_Raden_Saleh.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1239763/original/051192500_1463735145-Perang_Diponegoro_lukisan.jpg)