Sukses

PDIP Tolak Larangan Jurnalisme Investigasi dalam RUU Penyiaran

DPP PDI Perjuangan menyatakan dengan tegas menolak pelarangan jurnalisme investigasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. PDIP menilai, negara seharusnya memberikan ruang kepada pers untuk menjaga demokrasi yang bersih.

Liputan6.com, Jakarta - DPP PDI Perjuangan menyatakan menentang pelarangan jurnalisme investigasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

"PDIP Perjuangan mendorong supaya RUU Penyiaran ini benar-benar tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif," kata Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024).

PDIP, kata Djarot, menilai bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Seharusnya negara memberikan ruang kepada pers untuk menjaga demokrasi yang bersih.

"Jangan sampai karena ketakutan yang berlebihan kemudian pers dengan penyiaran negatif kemudian dilarang," tegas Djarot.

Adapun DPR RI berinisiatif untuk menggantikan UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran melalui revisi Undang-Undang.

Dalam revisi itu ada aturan pembatasan lewat Pasal 50B ayat 2 butir c akan membelejeti independensi media dalam mengungkap fakta.

Larangan jurnalisme investigatif justru berpotensi membatasi kerja jurnalis, dalam menyebarluaskan kebenaran kepada publik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mahfud Md Soroti RUU Penyiaran: Itu Sangat Keblinger, Masa Media Tidak Boleh Investigasi

Mantan Menkopolhukam Mahfud MD, mengkritik revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi. Dia menilai, hal itu merupakan satu kekeliruan karena tugas jurnalis justru melakukan investigasi.

Mahfud menjelaskan, sebuah media akan menjadi hebat jika memiliki jurnalis-jurnalis yang bisa melakukan investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud, dalam keterangan resmi, Rabu (15/5/2024).

Dia menilai, adanya larangan jurnalis-jurnalis melakukan investigasi dan melarang media menyiarkan produk investigasi sama saja melarang orang melakukan riset. Mahfud merasa, keduanya sama walaupun berbeda keperluan.

"Masa media tidak boleh investigasi, sama saja itu dengan melarang orang riset, ya kan cuma ini keperluan media, yang satu keperluan ilmu pengetahuan, teknologi. Oleh sebab itu, harus kita protes, harus kita protes, masa media tidak boleh investigasi," ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Dewan Pers Tolak RUU Penyiaran, Ini Alasannya

Sebelumnya, Dewan Pers dan para konsituen menegaskan menolak menolak draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang digodok di DPR RI.

Dewan Pers menilai RUU Penyiaran ini akan menghilangkan kebebesan pers dalam melahirkan karya jurnalistik.

"RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).

Dia khawatir apabila RUU ini diteruskan, produk pers akan menjadi burukdan melahirkan pers yang tidak profesional dan independen. Ninik lalu menyoroti keberadaan pasal dalam RUU ini yang dapat memunculkan larangan liputan bersifat investigasi.

"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU Nomor 40 Pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," jelasnya.

Kemudian, Ninik menyapaikan dalam RUU ini, penyelesaian sengketa jurnalistik akan dilakukan oleh lembaga yang tak memiliki mandat terhadap penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik.

Dia menegaskan mandat penyelesaian karya jurnalistik itu seharunya ada di Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

"Oeh karena itu, penolakan ini didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," tutur Ninik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.