Sukses

AMAN: Masyarakat Adat Terusir Karena Ketiadaan UU

Proses gugatan Masyarakat Adat kepada DPR RI dan Presiden RI untuk segera membentuk UU Masyarakat Adat telah memasuki tahap pembuktian.

Liputan6.com, Jakarta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan komunitas Masyarakat Adat menggugat Presiden dan DPR RI karena dianggap tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan UUD 1945 untuk membentu Undang-Undang Masyarakat Adat. 

Hal itu lantaran, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada saat ini yang mangkrak selama hampir 15 tahun tidak juga ditetapkan sebagai UU. 

"Gugatan ini dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini  bertujuan agar DPR dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata terhadap Masyarakat Adat," kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi di Kantor AMAN, Jakarta, Jumat (15/3/2024).

"Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (Masyarakat Adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami," tambah Rukka.

Sebagaimana diketahui, proses gugatan Masyarakat Adat kepada DPR RI dan Presiden RI untuk segera membentuk UU Masyarakat Adat telah memasuki tahap pembuktian. Dalam proses pembuktian, turut dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim.

Sebagai pihak penggugat selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai. Sedangkan saksi fakta berasal dari Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, perwakilan Komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT, perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai NTT, dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maluku Utara.

"Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks Masyarakat Adat bukanlah perihal sederhana. Mengakui atau menghormati Masyarakat Adat bukan saja sekedar menghargai tarian, makanan, motif pakaian. Tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata," ujarnya.

Rukka menambahkan, apa yang dituntut oleh masyarakat adat seharusnya dilakuan negara adalah termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri.c

"Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam," tambahnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tindakan Represif Aparat

Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan penjuang hak Masyarakat Adat dari Rendutowe, Nagekeo NTT menceritakan bagaimana dirinya mengalami tindakan represif dari oknum aparat.

Dirinya mengaku sempat diborgol ketika ia dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diduga hendak diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk.

Dirinya sama sekali tidak menolak inisiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dan kepastian hidup mereka.

"Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan pusat kehidupan tiap-tiap orang," tutur Mama Mince.

Serupa dengan Mama Mince, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan oknum aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dikatakannya dengan cara melawan prosedur.

Dirinya mengaku menjadi target penangkapan atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.

"Tanah merupakan ibu kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui Undang-undanf menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?" tanya Effendi Buhing.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.