Sukses

Pengacara Rafael Alun Sebut Saksi JPU Tak Relevan: Bukti Tak Ada dan Bukan Pejabat Terkait

Pengacara mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, Junaedi Saibih menilai saksi yang dihadirkan tim jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK tidak relevan untuk pembuktian.

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, Junaedi Saibih menilai saksi yang dihadirkan tim jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak relevan untuk pembuktian kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam persidangan yang digelar pada Senin, 2 Oktober 2023.

Dua saksi itu yakni mantan Financial Manager PT Birotika Semesta Seno Pranoto dan eks pegawai PT PT Artha Mega Ekadhana (ARME) Teti Sulastri. Dalam sidang, Seno mengaku tak mengenal Rafael Alun dan tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan dalam persidangan itu.

"Saksi tidak tahu RAT (Rafael Alun Trisambodo), saksi tidak kenal RAT. Alasan PT Birotika semesta memilih PT ARME sebagai konsultan juga bukan karena RAT," ujar Junaedi dalam keterangannya, Selasa (3/10/2023).

Junaedi menyebut, Seno juga tidak bisa menjawab soal fee atas kerja sama antara PT ARME dan PT Birotika Semesta. Dalam kesaksiannya, Seno tak bisa menjelaskan secara gamblang lantaran kejadiannya sudah berlangsung lama.

"Saksi lupa berapa fee untuk PT ARME karena sudah sangat lama, dan dokumen perusahaan di atas 10 tahun sudah dimusnahkan. Jadi sudah tidak ada lagi bukti tertulis," kata Junaedi.

Junaedi menilai, Seno tidak relevan dalam membuktikan dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU yang menjerat Rafael. Dia bahkan tidak bisa memberikan penjelasan saat jaksa mengonfirmasi bukti elektronik yang dipaparkan dalam sidang.

"Saksi Seno menjawab tidak mengetahui dokumen tersebut. Semua bentuk dokumen adalah bentuk draft tanpa tanda tangan resmi, Saksi Seno tidak mengetahui dan juga tidak bisa meyakini dokumen-dokumen yang ditampilkan, bahkan sudah banyak lupa terkait kejadian yang sudah berlangsung lama tersebut," ucap Junaedi.

Junaedi menyebut Seno tidak bisa memberikan pembuktian atas dugaan aliran uang yang masuk ke PT ARME dalam perkara Rafael ini. Menurut Juanedi, saksi Seno hanya ingat pernah menggunakan jasa PT ARME pada 1999 sampai 2002.

"Saksi Seno menyampaikan bahwa jasa yang diberikan PT ARME tidak ada yang berbeda dengan jasa yang diberikan kantor konsultan lain, semuanya normal dan hanya menjalankan kegiatan sesuai prosedur antara lain mendampingi dalam proses audit pajak yang kemudian seingat saksi PT Birotika Semesta dinyatakan ada kurang bayar sehingga harus melakukan pembayaran pajak tambahan. Semua normal dan sesuai prosedural," kata Junaedi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengacara Rafael Alun Keberatan

Pun demikian dengan saksi Teti, Junedi menilai Teti tidak bisa memberikan keterangan yang relevan karena kebanyakan lupa saat dimintai keterangan dalam persidangan.

"Saksi banyak menyampaikan tidak tahu dan lupa. Namun yang menarik dari saksi Teti adalah hampir semua keterangannya di BAP itu ternyata tidak sesuai dengan pengetahuan saksi sehingga saksi meralat isi BAP dalam persidangan," kata Junaedi.

Teti bahkan tidak bisa memberikan keterangan tegas saat diminta menjelaskan rekap pengeluaran seperti marketing fee yang ditanyakan dalam persidangan. Sejumlah dokumen seperti catatan keuangan marketing bahkan disebutnya tidak dibuat olehnya.

"Dia (Teti) tidak pernah menyampaikan bahwa dia membuat dokumen soft copy tersebut. Saksi heran kenapa dalam BAP tercantum keterangan bahwa dirinya yang membuat dokumen atau catatan tersebut padahal bukan dia yang membuat dan cenderung tidak tahu dokumen tersebut," ucap Junaedi.

Junaedi menyebut jaksa salah langkah menghadirkan Teti. Sebab, Teti bukan pejabat yang mengurusi keuangan saat bekerja di PT ARME sekitar 2004 atau 2005.

"Saksi Teti menjabat sebagai finance di ARME sejak 2004/2005 sebelumnya hanya di posisi data entry, tidak ada kaitan dengan keuangan atau catatan keuangan," ujar Junaedi.

Jaksa juga dinilai memaksakan kehendak dengan meminta Teti menjelaskan data keuangan terkait kasus Rafael dalam persidangan. Sebab, dia bukan pejabat terkait yang keterangannya bisa dinyatakan relevan untuk dijadikan fakta persidangan.

"Penasehat hukum keberatan jika saksi Teti dipaksa untuk mengonfirmasi dokumen finance tahun 2003 karena pada kurun waktu tersebut saksi belum menjabat sebagai finance. Saksi menyangkal semua file dan tabel yang ada di BAP karena bukan dibuat olehnya," terang Junaedi.

Begitu juga dengan keterangan Teti terkait dana taktis Rp5 miliar dalam BAP yang dipertanyakan tim pengacara Rafael Alun. Sebab, dia membantah mengetahui kabar itu saat persidangan.

"Dalam persidangan saksi menyangkal karena saksi sesungguhnya tidak mengetahui perihal dana taktis ataupun marketing fee, saksi pun tidak mengetahui perihal realisasi segenap pencatatan uang. Saat menjabat finance pun saksi hanya memindahkan data dari rekening koran ke buku bank," pungkas Junaedi.

3 dari 4 halaman

Pernyataan Saksi dalam Sidang Rafael Alun

Sebelumnya, mantan Financial Manager PT Birotika Semesta Seno Pranoto mengungkap pihaknya pernah menggunakan jasa PT Artha Mega Ekadhana (ARME) untuk menjadi konsultan dalam proses pemeriksaan pajak. PT ARME diduga perusahaan yang dibangun Rafael Alun untuk menerima uang gratifikasi.

Hal itu didampaikan Seno saat dihadirkan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi saksi untuk terdakwa Rafael Alun Trisambodo dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Dalam kesaksiannya, Seno mengaku pernah menggunakan dua konsultan pajak yakni PT ARME milik Rafael Alun dan PT Susy Suryani.

"Berapa nilainya Pak? Nilai jasa yang diberikan kepada PT ARME terkait pendampingan ini?" tanya jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (2/10/2023).

Ditanya hal tersebut, Seno tidak bisa menjawab. Seno menyebut dirinya tidak memiliki dokumen ketika PT Birotika Semesta menggunakan jasa perusahaan milik ayah Mario Dandy Satriyo itu.

"Sudah saya usahakan cari dokumen untuk tahun 2002 Pak, sudah tidak ketemu, karena sudah lebih dari 10 tahun, jadi saya tidak punya data untuk jumlahnya pak," kata Seno.

Jaksa lantas membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Seno dalam proses penyidikan di KPK. Dalam BAP itu Seno menyebutkan bahwa PT Birotika Semesta membayar Rp100 juta atas jasa pendampingan dari PT ARME.

"Saudara menjelaskan di sini, biaya atas penggunaan jasa konsultan PT ARME pada tahun 2003 tersebut sekira kurang lebih Rp100 juta dengan proses pembayaran transfer dari rekening Birotika Semesta kepada rekening PT ARME," kata jaksa.

Seno tidak membantah keterangan yang tertuang dalam BAP tersebut. Namun, ia menegaskan angka tersebut merupakan perkiraan sebagaimana harga saat menggunakan jasa perusahaan konsultan pajak lainnya.

"Benar Pak, waktu itu karena sebenarnya saya tidak punya dokumennya cuma ditanyakan perkiraannya, estimasinya, ini saya menggunakan estimasi yang perkiraan tahun 2008, waktu itu saya menggunakan konsultan Susy Suryani," kata Seno.

Jaksa lantas mendalami hal tersebut lebih dalam. "Saudara sempat sebut kurang lebih Rp100 juta itu dalam satu tahap atau berapa tahap?" tanya jaksa lagi.

"Itu kalau enggak salah saya tulis di-BAP untuk 2 tahun Pak, tapi itu perkiraan Pak karena sebetulnya saya tidak punya dokumen pendukungnya," ungkap Seno.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa KPK, PT ARME diduga menerima pembayaran dari para wajib pajak (WP) senilai Rp 12.802.556.963 (Rp 12,8 miliar). Jumlah itu didapat dalam kurun 15 Mei 2002 sampai dengan 30 Desember 2009.

Salah satu wajib pajak tersebut adalah PT Birotika Semesta yang juga dikenal dengan DHL express. Dari DHL, PT ARME menerima uang sebesar Rp115 juta.

 

4 dari 4 halaman

Dakwaan Rafael Alun

Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo didakwa menerima gratififikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dakwaan dibacakan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu (30/8/2023).

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Rafael Alun menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang bersama sang istri, Ernie Meike Torondek. Rafael Alun didakwa menerima gratifikasi senilai Rp16.664.806.137,00 atau sekitar Rp16,66 miliar.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut menerima gratifikasi sebesar Rp16.664.806.137,00," ujar jaksa KPK membacakan berkas dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2023).

Jaksa menyebut Rafael Alun menerima gratifikasi melalui PT Artha Mega Ekadhana (PT ARME), PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar, dan PT Cahaya Bali Internasional Kargo. Rafael menerimanya dalam kurun waktu Mei 2002 hingga Maret 2013 bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek.

"Bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek sebagai istri terdakwa selaku sekaligus komisaris dan pemegang saham PT ARME, PT Cubes Consulting, dan PT Bukit Hijau Asri," kata jaksa.

Sementara untuk TPPU, Rafael Alun Trisambodo didakwa melakukannya bersama dengan istrinya, Ernie Meike Torondek. Total, Rafael Alun dan Ernie Meike mencuci uang hasil korupsi hingga Rp100,8 miliar.

Rafael bersama-sama dengan Ernie Meike didakwa melakukan TPPU ketika bertugas sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2002 hingga 2010. Jaksa menyebut Rafael Alun mencuci uang sebesar Rp36.828.825.882 atau Rp36,8 miliar selama delapan tahun.

"Bahwa terdakwa sebagai pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Pajak, dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 menerima gratifikasi sebesar Rp5.101.503.466 sebagaimana dakwaan kesatu dan penerimaan lain sejumlah Rp31.727.322.416," kata Jaksa Wawan.

Kemudian, Rafael Alun juga didakwa mencuci uang ketika menjabat sebagai PNS pada Ditjen Pajak sejak 2011 hingga 2023. Pada periode tersebut, Rafael Alun melakukan pencucian uang sekitar Rp63.994.622.236 atau Rp63,9 miliar selama 12 tahun.

Dengan perincian, sejumlah Rp11.543.302.671 atau Rp11,5 miliar dari hasil gratifikasi. Kemudian ditambah penerimaan lainnya sebesar SGD2.098.365 atau setara Rp23.623.414.153, kemudian senilai USD937.900 atau setara Rp14.270.570.555 serta Rp14.557.334.857.

"Bahwa terdakwa sebagai pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Pajak, dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2023 menerima gratifikasi sebesar Rp11.543.302.671 sebagaimana dakwaan kesatu dan penerimaan lain berupa SGD2.098.365 dan USD937.900 serta sejumlah Rp14.557.334.857," kata jaksa.

Sehingga, jika dijumlah secara keseluruhan, Rafael Alun telah melakukan pencucian uang sejak 2002 hingga 2023 sekira Rp100.823.448.118 atau Rp100,8 miliar. Dengan perincian pada tahun 2002 hingga 2010, Rafael Alun mencuci uangnya sebesar Rp36,8 miliar ditambah pada tahun 2011 hingga 2023 sejumlah Rp63,9 miliar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini