Sukses

Eksepsi Kasus BTS Kominfo, Pengacara Anang Achmad Latif: Perbuatan Terdakwa Sudah Sesuai UU

Terdakwa Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama BAKTI dan Kuasa pengguna Anggaran (KPA), membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam sidang kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G.

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dan Kuasa pengguna Anggaran (KPA), membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam sidang kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tahun 2020-2022.

Kuasa hukum yang mewakili Anang Achmad Latif menyampaikan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sangat menyudutkan terdakwa, serta tidak fair, cermat, jelas dan lengkap dalam menguraikan perbuatan yang didakwakan.

"Perbuatan-perbuatan yang didakwakan juga tidak sesuai dengan fakta dan keadaan yang sesungguhnya. Bahkan terdapat uraian dakwaan yang saling bertentangan," kata kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (4/7/2023).

Menurut kuasa hukum, JPU mendakwakan peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku bagi terdakwa sebagai Direktur Utama Badan Layanan Umum (BLU) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Dan Informasi (BAKTI).

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Yang Dikecualikan Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, telah memuat ketentuan yang mengecualikan BLU dari kedua aturan tersebut dan memberi kewenangan serta memerintahkan pimpinan BLU untuk membentuk sendiri peraturan pengadaan barang/jasa.

"Terdakwa antara lain didakwa melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak memutus kontrak para penyedia ketika terjadi deviasi pelaksanaan pekerjaan pada tahun 2021. Padahal saat ini, sekalipun menurut JPU ada tindak pidana korupsi, Presiden RI memerintahkan agar proses penyediaan BTS 4G di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) tetap dilanjutkan sampai selesai," jelas dia.

Kuasa hukum menyatakan, semua pihak yang berakal sehat tentu dapat memahami alasan keputusan Presiden yang pada hakekatnya sama dengan keputusan terdakwa, bahwa pemutusan kontrak dalam pekerjaan itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar dari segi waktu dan biaya.

Namun, JPU malah bersikap dan berpendapat lain, sehingga terdakwa saat ini duduk dipersidangan dan menjalani penahanan, sekalipun keputusannya tersebut sama dengan keputusan Presiden.

"Selain itu, JPU juga mendakwa terdakwa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Namun setelah mencermati uraian perbuatan yang didakwakan, ternyata perbuatan-perbuatan terdakwa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan penyediaan BTS 4G di daerah 3T oleh BAKTI," kata kuasa hukum.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Uang Negara Rp8 Triliun Tak Hilang

Surat Dakwaan seolah-olah menyatakan uang negara sebesar Rp8.032.084.133.795,51 telah hilang akibat perbuatan terdakwa. Padahal, lanjut kuasa hukum, uang tersebut telah menjadi berbagai barang yang diperlukan untuk penyelesaian pembangunan BTS 4G.

"Dengan kata lain, dalam penyediaan BTS 4G di daerah 3T yang diperkarakan JPU, yang terjadi adalah keterlambatan, bukan hilangnya uang negara," ujarnya.

Keterlambatan yang terjadi pun akibat dari berbagai faktor, antara lain pandemi Covid-19 pada 2021 yang sedang tinggi, serta situasi keamanan di daerah Papua. Bahkan pada Maret 2022 yang lalu, terjadi penembakan oleh Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) yang menewaskan 8 pekerja BTS serta dilanjutkan dengan penyanderaan pada Mei 2022.

"Kerugian keuangan negara yang didakwakan juga ternyata tidak dihitung berdasarkan fakta dan keadaan terkini/faktual. Tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas serta hanya berlandaskan pada kewenangan menyusun surat dakwaan, JPU membatasi rentang waktu penghitungan kerugian pada 31 Maret 2022 tanpa menguraikan bahwa proses penyelesaian pekerjaan yang dipermasalahkan masih berlangsung sesuai perintah Presiden RI," beber kuasa hukum.

"Bahkan JPU tanpa uraian alasan yang jelas telah mengesampingkan fakta adanya pengembalian pembayaran dari para penyedia pada tanggal 31 Maret 2022 sekitar Rp1.770.000.000.000," tandasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini