Sukses

Kuasa Hukum: Pernyataan Denny Indrayana Bukan Tindak Pidana, Sangat Tidak Pantas Dipolisikan

Tim kuasa hukum mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bingung dengan aparat penegak hukum yang menaikkan status kasus dugaan hoaks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang putusan Sistem Pemilu ke tingkat penyidikan. Dalam kasus ini diketahui Denny Indrayana sebagai terlapor.

Liputan6.com, Jakarta Tim kuasa hukum mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bingung dengan aparat penegak hukum yang menaikkan status kasus dugaan hoaks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang putusan sistem pemilu ke tingkat penyidikan. Dalam kasus ini diketahui Denny Indrayana sebagai terlapor.

Bambang Widjojanto selaku salah satu tim kuasa hukum Denny Indrayana menyebut sedianya laporan terhadap kliennya tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Pasalnya, menurut Bambang, kliennya hanya menjalankan tugas sebagai warga negara dan seorang guru besar.

"Karena yang beliau lakukan adalah menjalankan hak kebebasan berpendapat serta kewajiban sebagai guru besar hukum tata negara dan konstitusi," ujar Bambang dalam keterangannya, Senin (26/6/2023).

Apalagi, kata Bambang, Mahkamah Konstitusi yang menjadi obyek kritik yang dilayangkan Denny Indrayana tidak mengambil langkah hukum pidana, melainkan mengklasifikasikan hal tersebut ke dalam ranah etik.

"Hal ini penting sebagai rujukan utama penegak hukum, bahwa apa yang disampaikan oleh Prof. Denny Indrayana bukan merupakan tindak pidana dan sangat tidak pantas untuk dilaporkan ke aparat penegak hukum," kata Bambang.

Menurut Bambang, apa yang disampaikan Denny soal putusan sistem pemilu lantaran Denny menangkap adanya sinyal negatif dan berbahaya mengingat preseden-preseden yang dilakukan MK dalam putusan-putusan sebelumnya. Atas dasar itu, Denny memiliki hak dan kewajiban menyampaikan peringatan kepada publik.

"Karena harus dipahami, bahwa putusan MK bersifat erga omnes (mengikat publik) serta final and binding (berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan). Oleh karena itu, tidak ada upaya advokasi lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat (meski beberapa sudah menjadi pihak terkait), selain menyuarakannya ketika proses pemeriksaan masih berlangsung," kata Bambang.

Denny Indrayana dilaporkan dengan dugaan tindak pidana ujaran kebencian atau SARA, berita bohong alias hoaks, penghinaan terhadap penguasa dan pembocoran rahasia negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 A ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 112 KUHP Pidana dan/atau Pasal 112 KUHP dan/atau Pasal 207 KUHP.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kasus Bocor Putusan MK Denny Indrayana Naik ke Penyidikan

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan, kasus dugaan hoaks yang dilakukan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana sudah naik ke tahap penyidikan.

Diketahui, dalam kasus ini, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini dilaporkan karena dinilai telah menyebar kebohongan atau hoaks soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang putusan Sistem Pemilu.

"Sudah ditangani oleh Pak Dirsiber, sudah tahap penyidikan," kata Agus kepada awak media, Senin (26/6/2023).

Agus melanjutkan, sejumlah saksi masih terus dipanggil untuk diperiksa. Menurut jenderal bintang tiga ini, Polri ingin memastikan apakah selain dugaan berita bohong, pernyataan Denny Indrayana juga menimbulkan keonaran.

"Masih berproses (pemanggilan sejumlah saksi), kemarin kan sempat terjadi beberapa lokasi unjuk rasa, apakah itu masuk dalam lingkup menimbulkan keonaran atau tidak, nanti keterangan ahli yang menentukan. Jadi masih berproses," kata Agus.

Diberitakan sebelumnya, Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho menyampaikan, laporan terhadap Denny dibuat oleh seseorang berinisial AWW dan tercantum dalam Laporan Polisi (LP) Nomor: LP/B/128/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI tertanggal Rabu, 31 Mei 2023.

3 dari 3 halaman

Denny Indrayana Klaim Dapat Bocoran Putusan MK terkait Sistem Pemilu

Sebelumnya, Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengaku sudah mengetahui nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup atau kembali memilih tanda gambar partai saja.

Menurut dia, pada putusannya nanti hakim MK akan memiliki pendapat yang terbelah soal putusan tersebut.

"Jadi putusan kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," kata Denny Indrayana dalam keterangan tertulis yang disiarkan via media sosial pribadinya, Minggu (28/5/2023).

Denny menyebut, informasi tersebut berasal dari orang yang kredibilitasnya dia percaya. "Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan hakim konstitusi," tutur dia.

Dia meyakini, dengan pemilu sistem proporsional tertutup maka Indonesia akan kembali ke sistem pemilu di masa Orde Baru (Orba) yang otoritarian dan koruptif.

"Masihkah ada harapan? Yang pasti terus ikhtiar berjuang, sambil menanti kemukjizatan. Salam integritas," tandas Denny.

MK Putuskan Tetap Menggunakan Proporsional Terbuka Alias

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka alias mencoblos caleg. Keputusan MK itu menolak permohonan uji materiil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup sebagaimana diajukan pemohon.

Keputusan MK itu menolak menolak permohonan uji materiil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup sebagaimana diajukan pemohon.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang digelar terbuka pada Kamis (15/6/2023).

Hakim Anwar Usman menilai, dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Pemohon sebelumnya mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.