Sukses

Akademisi Sosialisasi KUHP Baru, Hindari Salah Tafsir

Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof. Benny Riyanto, menyebut kehadiran KUHP baru patut disambut baik dan wajib disosialisasikan sebelum berlaku efektif pada tiga tahun ke depan setelah diundangkan.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Benny Riyanto, menyebut kehadiran KUHP baru patut disambut baik dan wajib disosialisasikan sebelum berlaku efektif pada tiga tahun ke depan setelah diundangkan.

Hal itu di disampaikan dalam acara Sosialisasi KUHP yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bersama Universitas Andalas di Hotel Santika, Kota Padang, Sumatera Barat.

"KUHP nasional ini akan mulai berlaku efektif tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Selama masa transisi itu, kita akan terus mensosialisasikan substansi KUHP ini kepada seluruh masyarakat serta aparat penegak hukum agar tidak terjadi salah penafsiran serta meminimalisir penyalahgunaan kewenangan,” ujar Prof Benny dalam keterangan pers diterima, Jumat (13/1/2023).

Selain sosialisasi, Prof Benny juga mengusulkan perlunya training of trainers agar para akademisi, praktisi dan penegak hukum betul-betul menguasai norma, semangat, serta nilai-nilai yang dikandung KUHP nasional ini.

“Ini merupakan sarana pemahaman kepada para stakeholder yang terlibat, terutama penegak hukum. Karena ini kan merupakan suatu modernisasi sistem hukum Indonesia,” jelas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Luruskan Kesalahan Tafsir

Senada dengan itu, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, kesalahan persepsi yang sempat muncul antara lain terkait diakuinya hukum adat (living law) dalam KUHP baru.

Hal ini seharusnya diapresiasi sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara kepada masyarakat hukum adat, sebagaimana juga diakui dalam UUD 1945. Akan tetapi sementara ini memang ada kekeliruan persepsi di sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa dengan adanya pengakuan terhadap living law, maka terjadi lah penyimpangan atas asas legalitas.

“Ini yang perlu diluruskan. Karena baru bisa disebut living law bila memang merupakan suatu ketentuan yang masih hidup di masyarakat dan ini ditemukan secara ilmiah oleh para peneliti. Jadi tidak boleh nanti DPRD atau pemerintah meletakkan ketentuan dalam perda tanpa adanya bukti ilmiah bahwa ketentuan tersebut masih hidup dalam masyarakat,” ujar Prof. Harkristuti.

3 dari 3 halaman

Wajar Adanya Pro Kontra

Ditambahkan Ketua Umum MAHUPIKI, Yenti Garnasih, wajar bila dalam proses penyusunan KUHP nasional ini banyak ditemukan pro dan kontra. Hal ini tak terlepas dari kebinekaan Indonesia yang memiliki beragam etnis, agama dan kultur.

“KUHP baru yang berhasil diundangkan pada 2 Januari menjadi UU No. 1/2023 ini cukup berhasil mempertemukan semua kepentingan. KUHP Nasional ini sudah semaksimal mungkin berupaya mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat dan negara,” yakin Yenti.

“Khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat dan kebebasan ekspresi," sambung dia.

Yenti meyakini, KUHP baru dapat disebut sebagai pembaruan hukum pidana Indonesia dari hukum produk kolonial yang sudah berusia ratusan tahun menjadi sistem hukum pidana modern. Hal ini, antara lain, ditandai dengan digunakannya paradigma hukum pidana modern yang menekan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

Yenti menilai, salah satu contoh pengaturan KUHP yang bersifat humanis adalah mengakhiri pro dan kontra dari penjatuhan pidana mati. Sebab, hukuman mati baru bisa dijatuhkan usai 10 tahun masa bui pelaku akan dilihat apakah tetap pidana mati ataukah dipindahkan ke pidana seumur hidup.

“Jangan sampai orang sudah dipidana 28 tahun penjara, eh besoknya dipindahkan ke pidana mati juga. Nah, hal seperti itu untuk menjaga kesewenang-wenangan dari penegakan hukum," tegas Yenti.

Yenti berharap, KUHP baru ini juga akan menyelesaikan persoalan banyaknya tindak pidana ringan yang dikenakan secara berlebihan kepada masyarakat, terutama masyarakat kecil yang kerap rentan terhadap ancaman pidana.

"Semoga tidak terjadi lagi hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Terutama misalnya untuk masyarakat miskin yang mencuri karena masalah ekonomi itu seharusnya bisa ditemukan solusi ancaman pidana yang lebih ringan, sehingga tidak ada di LP itu isinya hanya masyarakat biasa yang pidananya ringan," dia menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.