Sukses

Tragedi Kanjuruhan, Adu Argumen soal Gas Air Mata

Semua pihak terus berupaya untuk mengusut tuntas terkait peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Liputan6.com, Jakarta Semua pihak terus berupaya untuk mengusut tuntas terkait peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil mengungkap sejumlah temuan.

Anggota koalisi, Daniel Siagian mengungkapkan, pasca-tragedi Kanjuruhan itu ada pihak tertentu yang mengintimidasi saksi dan korban lewat sarana komunikasi maupun secara langsung. Diduga tindakan itu dilakukan untuk menimbulkan ketakutan agar tidak ada suatu kesaksian.

"Ada juga masyarakat dikuntit orang tak dikenal usai pasang spanduk tuntutan usut tuntas peristiwa itu," ujar Daniel di Malang, Minggu, 9 Oktober 2022.

Aktivis di LBH Pos Malang ini menambahkan, seorang saksi yakni K, sempat diamankan oleh petugas. Ia kini berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seluruh tindakan itu diduga dilakukan untuk menimbulkan ketakutan kepada saksi dan korban.

"Agar tidak ada suatu kesaksian, sebuah upaya untuk menutupi fakta peristiwa itu," ucapnya.

Sejauh ini pemerintah dinilai tidak transparan dalam menangani kasus tersebut. Sebab belum memberikan informasi mendetail ke publik terkait data korban jiwa dan luka. Termasuk tidak ada informasi perkembangan penanganan kasusnya.

"Kami terus mendalami fakta peristiwa itu. Serta berkomunikasi dengan Komnas HAM maupun LPSK untuk menyampaikan sejumlah laporan," ujar Daniel.

Terkait gas air mata yang disoroti banyak pihak, diduga ada mobilisasi petugas keamanan untuk membawa senjata tersebut.

"Bahwa pada saat pertengahan babak kedua, terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata, padahal diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu," kata Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, saat dikonfirmasi Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (10/10/2022).

Dia menambahkan, investigasi koalisi menyebut timbulnya korban jiwa adalah akibat dari efek gas air mata yang digunakan oleh aparat kepolisian.

Padahal, sebelum tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya dari aparat untuk menggunakan kekuatan lain seperti kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak.

"Padahal berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata," tutur Andi.

Andi melanjutkan, berdasar kesaksian para suporter, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian tibun sisi Selatan, Timur, dan Utara.

Akibatnya, timbul kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di sisi tribun.

"Mereka yang ingin hendak keluar (terjebak) dengan kondisi akses evakuasi yang sempit, terjadi penumpukan di sejumlah pintu yang terkunci. Akibatnya, para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa," kata Andi.

 

 

Gas Air Mata Kedaluwarsa

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapatkan informasi soal gas air mata yang ditembakkan saat tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, sudah kedaluwarsa.

Hal ini sebagaimana disampaikan Komisoner Komnas HAM, Choirul Anam, kepada wartawan pada Senin, (10/10/2022)

"Iya jadi soal yang apa (gas) kedaluwarsa itu informasinya memang kita dapatkan. Tapi memang perlu pendalaman," kata Anam, Senin (10/10/2022).

"Yang penting sebenarnya kalau perkembangan sampai hari ini, sepanjang informasi yang kami dapatkan, Senin hari ini tanggal 10 itu yang harus dilihat dinamika di lapangan," sambungnya.

Ia menegaskan, yang menjadi pemicu utama atas tragedi Kanjuruhan tersebut, yakni gas air mata. Karena, dengan adanya gas air mata itu membuat para suporter menjadi panik.

"Dinamika di lapangan itu pemicu utama memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan, sehingga banyak suporter atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar dan berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah nafas dan lain sebagainya," tegasnya.

"Sedangkan pintunya juga yang terbuka juga pintu kecil. Sehingga berhimpit-himpitan, kaya begitulah yang sepanjang hari ini yang mengakibatkan kematian. Jadi eskalasi yang harusnya sudah terkendali ya, kalau kita lihat dengan cermat itu kan terkendali sebenarnya terkendali, tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Lah gas air mata ini lah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban," tutupnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Klaim Polisi

Polri masih mengusut penggunaan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Disebut, sejauh ini tidak ada satu pun kajian jurnal ilmiah menyatakan gas air mata mengandung racun dan dapat mematikan seseorang.

"Dampaknya hanya terjadi iritasi kepada mata, iritasi pada kulit, dan iritasi pada pernafasan. Dokter spesialis mata menyebutkan ketika kena gas air mata pada mata khususnya, memang terjadi iritasi, sama halnya seperti kita kena air sabun. Terjadi perih tapi pada beberapa waktu bisa langsung sembuh dan tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

"Sama halnya gas air mata juga kalau terjadi iritasi pada pernafasan pun sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah yang menyebutkan ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," sambungnya.

Meski begitu, Dedi menegaskan bahwa Polri akan menuntaskan kasus tersebut sesuai perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tragedi Kanjuruhan sendiri menjadi rasa keprihatinan semua pihak.

"Di dalam gas air mata tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang. Sementaa itu dulu, tentunya ini masih butuh pendalaman-pendalaman lebih lanjut. Apabila ada jurnal ilmiah baru, temuan yang baru, tentu akan menjadi acuan juga bagi tim investigasi bentukan Bapak Kapolri," kata Dedi.

Lebih lanjut, katanya, target Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam waktu dekat adalah segara merumuskan regulasi tentang keselamatan dan keamanan di dalam setiap even pertandingan olahraga, yang menghadirkan masa dalam jumlah banyak.

"Kalau kita mengacu pada regulasi keselamatan dan keamanan yang kita ratifikasi dari statuta FIFA. Saya rasa yang ada di PSSU sudah sangat detail, mengatur semuanya tentang bagaimana sistem pertandingan, bagaimana sistem keselamatan dan keamanan, bagaimana safety and security official, bagaimana harus ada contigency plan, harus ada emergency plan, itu harus ada diterapkan setiap pertandingan," jelas Dedi.

"Ya ini masih terus didalami oleh tim, tim masih bekerja ya. Mohon supportnya, mohon doanya rekan-rekan agar tim ini segera menuntaskan," sambungnya.

Dedi juga menuturkan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo harusnya dapat mengontrol keamanan Stadion Kanjuruhan dengan menanggalkan penggunaan gas air mata.

"Kenapa itu tidak dilarang (membawa gas air mata). Andaikata itu dilarang tentunya tidak akan terjadi seperti itu," tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

Menurut dia, Wahyu sebagai pihak yang mengetahui regulasi FIFA, sepatutnya mengerti pentingnya mengikuti aturan keselamatan dan pengamanan di Stadion Kanjuruhan.

"Setiap aparat keamanan dilarang membawa gas air mata. Bukan hanya gas air mata. Membawa tameng, membawa tongkat, memakai helm, dan masker. Masker yang dapat memprovokasi massa saja itu dilarang," jelas dia.

Atas dasar itu, lanjut Dedi, Wahyu bersama dua anggota lainnya sangat bertanggung jawab dalam penembakan gas air mata. Terlebih, penggunaannya pun mesti bertahap, mulai dari selongsong berwarna putih, biru, kemudian merah.

"Dilakukan penembakan dulu ya adalah dengan menggunakan smoke ini. Ini diluncurkan hanya efeknya itu hanya suara, asap putih. Ketika massa maju untuk mengurai masa menggunakan yang biru, biru ini kan klaster ini berarti kan massa ya dalam jumlah yang belum terlalu banyak. Tetapi kalau misalnya masa yang jumlahnya cukup banyak serta ada indikasi anarkis baru menggunakan yang merah. Yang merah ini lebih masif impactnya," Dedi menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.