Sukses

Yasonna Beberkan Alasan Koruptor Dapat Remisi Bebas

Narapidana Koruptor Bebas, Menkumham Sebut Gara-gara PP 99

Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 23 orang narapidana kasus korupsi bebas pada 6 September 2022 lalu. Para narapidana tersebut menerima program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pun buka suara.

Yasonna Laoly menegaskan, pembebasan para narapidana itu sudah sesuai dengan aturan undang-undang. Penyebabnya adalah ada keputusan Mahkamah Agung yang menguji Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 yang menyulitkan napi korupsi mendapatkan hak bebas bersyarat atau remisi. MA telah membatalkan aturan tersebut. Sehingga para narapidana kasus korupsi berhak menerima remisi meski tidak berstatus justice collaborator.

"Karena UU, jadi kan PP 99 sudah direview, ada juga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan bahwa narapidana berhak remisi," ujar Yasonna di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (9/9/2022).

Dihapuskan aturan PP 99 itu menurut Yasonna, karena prinsip non-diskriminasi. Maka itu, pemerintah dalam menyusun RUU Pemasyarakatan juga menyesuaikan hasil uji materi.

"Jadi kan sesuai prinsip non diskriminasi, ya kemudian dijudicial review lah PP 99, nah itu makanya kita dalam penyusunan UU PAS, menyesuaikan judicial review, enggak mungkin lagi kita melawan aturan dari keputusan JR terhadap UU yang ada," jelas Yasonna.

Maka itu, politikus Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut mengaku, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi terhadap pembebasan narapidana kasus korupsi. Pemerintah berdalih hanya menjalankan undang-undang.

"Ya itu kan UU," kata Yasonna.

Sebelumnya, sebanyak 23 narapidana kasus korupsi bebas dari penjara pada hari Selasa, 6 September 2022 kemarin. Para koruptor itu menghirup udara bebas setelah menerima program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Ke-23 nama itu, di antaranya, Pinangki Sirna Malasari bebas dari Lapas Kelas IIA Tangerang. Bersamaan dengannya ada mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Selain itu, ada juga Patrialis Akbar, Zumi Zola Zulkifli, serta Suryadharma Ali yang bebas dari Lapas Kelas I Sukamiskin.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tidak Transparan

Kriminolog Universitas Indonesia, Prof. Mustofa, menilai pemberian remisi yang bermuara pada pembebasan bersyarat tidak transparan dan cenderung bias.

"Karena sering kali ukurannya apa, berjasa? Berjasa itu kan ukuran-ukurannya tidak terukur, karena pernah ada napi korupsi karena dia uangnya banyak membiayai kegiatan dalam lapas, kemudian dianggap berjasa, dan memperoleh fasilitas khusus, kamar khusus yang kemudian menjadi skandal," kata Mustofa kepada Liputan6.com, Rabu 7 September 2022.

Pria lulusan University of Melbourne itu mengakui pembebasan bersyarat adalah hak untuk semua napi, cuma memang pernah dibuat pembebasan bersyarat yang membatasi remisi yang kemudian bermuara pada pembebasan bersyarat terhadap narapidana teroris, korupsi, dan lainnya.

"Tapi itu kan PP, kedudukannya di bawah UU. UU tidak pernah menyatakan bahwa narapidana tertentu tidak boleh memperoleh remisi maupun pembebasan bersyarat, jadi ukurannya kan harus UU bukan PP, nanti malah menjungkirbalikkan hirarki peraturan perundangan, karena PP kedudukannya di bawah UU."

Mustofa mengatakan, di beberapa negara memang dibuat UU tentang hukuman yang di dalamnya dimuat soal narapidana tertentu tidak berhak atas remisi, amnesti dan pembebasan bersyarat.

"Nah di kita, di UU itu tidak ada," ucapnya.

Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan bahwa sejak MA membatalkan PP 99/2012, maka upaya menjerakan para koruptor terasa hilang.

Padahal, kata dia, sanksi berat kepada koruptor itu penting karena berkaitan dengan upaya mencegah terulangnya tindak pidana korupsi, bahkan mencegah orang yang berniat melakukan korupsi, sehingga mereka mengurungkan niatnya.

"Jadi tidak benar juga cerita pemerintah soal keinginan melakukan pencegahan pemberantasan korupsi jadi lebih maksimal. Toh itu kontradiktif dengan diringankannya hukuman para koruptor," kata Feri kepada Liputan6.com.

Ia menilai, terasa sekali ada upaya untuk kompromi dengan berbagai tingkah laku koruptif dan itu bisa dilihat dari diberlakukan remisi bagi koruptor.

Feri mengatakan, di periode pertama Presiden Jokowi juga pernah ada upaya mengubah PP 99. Tetapi diurungkan oleh Kemenkumham karena desakan dari masyarakat sipil.

"Sekarang tidak ada lagi relasi dengan kepentingan publik karena sudah periode kedua, maka dijalankan upaya-upaya untuk meringankan para politisi yang korup dengan pemberian remisi besar-besaran ini," tambahnya.

3 dari 4 halaman

Lukai Nurani Masyarakat

Anggota Komisi III, Santoso, menyayangkan bebas bersyarat para koruptor yang semula adalah pejabat negara.

“Karena statusnya baik sebagai aparatur negara/jabatan publik lainnya, tapi malah melakukan pelanggaran korupsi dengan menyalahgunakan jabatannya,” kata Santoso kepada Liputan6.com, Rabu 7 September 2022.

Ia menilai, pemotongan hukuman Jaksa Pinangki juga telah melukai hati nurani masyarakat. “Putusan bertentangan dengan nurani masyarakat adalah terhadap terdakwa Pinangki,” kata dia.

Menurut Santoso, negara dan masyarakat harus memberi ruang terbatas agar koruptor tidak mudah memasuki jabatan publik.

“Negara ini tidak akan menjadi lebih baik jika para pelaku kejahatan yang tergolong besar dan merugikan rakyat banyak sudah sepantasnya diberi batasan jabatan oleh para penentu kebijakan/penguasa, parpol. Karakter bangsa ini adalah bangsa pemaaf, namun sampai kapan sifat pemaaf ini terus diberikan pada para koruptor,” ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Cederai Semangat Antikorupsi

Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, pembinaan para pelaku korupsi pasca putusan pengadilan memang menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham.

Namun, korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extraordinary crime, sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang ekstra. Termasuk pelaksanaan pembinaan di LP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakan hukum itu sendiri.

Ali menjelaskan, penegakkan hukum kasus korupsi dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, agar tidak kembali melakukannya di masa mendatang. Sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa.

"Sehingga dalam rangkaian penegakkan hukum ini sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi," kata Ali Fikri kepada Liputan6.com, Rabu 7 September 2022.

KPK melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan seperti pencabutan hak politik ataupun merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara.

"Tercatat hingga Agustus 2022 ini KPK telah melakukan perampasan aset atau asset recovery sebesar Rp 303,89 miliar. Asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, rampasan, penetapan status penggunaan (PSP) putusan inkracht TPK."

Untuk itu, guna memaksimalkan asset recovery dalam penegakkan hukum TPK, KPK juga terus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset.

"Agar pemberantasan korupsi tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, tapi juga memberikan sumbangsih penerimaan ke kas negara sebagai salah satu pembiayaan pembangunan nasional," ucap Ali Fikri.

 

KPK menyatakan bakal memperberat tuntutan yang dilayangkan terhadap terdakwa kasus korupsi ke depannya. Keputusan ini diambil buntut dari banyaknya narapidana kasus korupsi alias koruptor yang menerima program pembebasan bersyarat (PB).

"Mungkin ke depan kalau misalnya ada terdakwa korupsi yang tidak kooperatif dan lain-lain misalnya, dalam tuntutan mungkin akan kita tambahkan, kalau itu pejabat publik, yaitu tadi mencabut hak dipilih dan mencabut supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana. Itu bisa dicabut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Menurut Alex, yang memiliki kewenangan dalam memberikan hak pembebasan bersyarat memang bukan KPK. Namun, tim jaksa KPK bisa menuntut agar hakim mencabut hak para koruptor sebagai narapidana.

"Prinsipnya pembebasan bersyarat dan remisi itu hak (narapidana). Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum)," kata Alex.

Alex mengatakan, regulasi dalam PB bersyarat kali ini berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya KPK dilibatkan sebelum memberikan PB kepada koruptor, namun kini tidak lantaran putusan Mahkamah Agung (MA).

"Dulu kalau tahanan itu perkaranya dari KPK, itu dari rutan minta rekomendasi KPK. Sekarang dibatalkan itu PP oleh Mahkamah Agung (MA)," ucap Alex.

 

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.