Sukses

Ketua DPD RI: Kita Harus Membangun Demokrasi, Bukan Dominasi

Perkembangan calon perseorangan atau independen di DPR, mengarahkan kita pada pertanyaan fundamental, mengapa perlu unsur perseorangan di DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Afrika Selatan menambah panjang daftar negara yang memberi ruang hadirnya anggota DPR dari unsur perseorangan. Setelah 12 Negara di Uni Eropa. Bulgaria, Cyprus, Denmark, Estonia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Lithuania, Malta, dan Rumania.

Sebelumnya, United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat juga membolehkan calon independen duduk pada badan perwakilan nasional (Parlemen) yang mewakili rakyat di kamar lower house (DPR).

Perkembangan calon perseorangan atau independen di DPR, mengarahkan kita pada pertanyaan fundamental, mengapa perlu unsur perseorangan di DPR dan apa yang diharapkan?

Menurut Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Indonesia, DPR adalah pembentuk undang-undang bersama Presiden. Begitu bunyi Konstitusi, baik termaktub di dalam Naskah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 maupun Naskah UUD hasil perubahan tahun 2002.

"Bedanya, jika di dalam Naskah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, tidak terdapat pasal yang menyatakan bahwa Anggota DPR adalah anggota Partai Politik, maka di dalam Naskah UUD hasil perubahan tahun 2002 menyebut dengan jelas dalam Bab VIIB Pasal 22E Ayat (3)," jelas LaNyalla dalam keterangannya, Rabu (19/7/2023).

Bunyinya: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.

Sedangkan di Ayat (4), tertulis: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

Sementara di Pasal 20 Ayat (1) jelas tertulis: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

“Sebaliknya, Dewan Perwakilan Daerah yang juga peserta Pemilu dari Unsur Perseorangan, faktanya tidak memegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti frasa kalimat di Pasal 20 Ayat (1) tersebut,” ujar LaNyalla.

“Jadi, di Indonesia, undang-undang yang memiliki kekuatan hukum mengikat (law enforcement) kepada 275 juta penduduk, kita percayakan pembuatannya hanya kepada anggota-anggota partai politik di DPR,” imbuh dia.

Menurut LaNyalla, meskipun di dalam genealogi politik dari demokrasi, negara dan pemerintah harus patuh kepada kepentingan rakyat, sebagai pemilik kedaulatan, faktanya justru dibalik. Rakyat yang harus patuh pada kebijakan negara melalui (law enforcement) undang-undang.

Pertanyaan berikutnya; Apakah anggota DPR yang tunduk kepada arahan ketua umum parpol dan patuh pada satu suara fraksi, serta terbayangi dengan ancaman re-call, patut disebut sebagai wakil rakyat?

“Apakah mungkin seorang anggota DPR mampu berjanji kepada organisasi kedokteran untuk memperjuangkan aspirasi mereka di dalam pembahasan RUU Kesehatan? Sementara suara fraksinya sudah menyatakan mendukung RUU yang diajukan pemerintah?,” tanya LaNyalla.

Jadi sekali lagi, kata LaNyalla, kita menyerahkan pembentukan undang-undang yang mengikat secara hukum seluruh penduduk Indonesia, kepada sekelompok orang yang memperjuangkan kepentingan kelompoknya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

“Lebih celaka lagi, jika praktik organisasi di dalam kelompok tersebut, menempatkan kendali tunggal berada di tangan satu orang yang disebut ketua umum. Sehingga, jika Presiden terpilih membangun koalisi dengan ketua-ketua partai, maka kemanapun negara ini akan dibawa, terserah mereka. Rakyat sama sekali tidak memiliki ruang kedaulatan,” ujar LaNyalla.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Membangun Demokrasi, Bukan Dominasi

Sehingga tidak aneh, lanjut dia, bila anggota DPR kita di Senayan sangat galak, bahkan menggebrak-gebrak meja saat hearing terhadap persoalan-persoalan yang bukan fundamental.

Tetapi kita bisa melihat sebaliknya, betapa cepat Rancangan Undang-Undang yang dikehendaki pemerintah diselesaikan dan diputuskan. Meskipun hampir setiap hari rakyat protes di depan pintu gerbang Gedung DPR.

“Oleh karena itu, terobosan mesti dibuat. Untuk memastikan representasi di dalam pembuatan aturan hukum dan undang-undang tidak hanya dibasiskan dari political group representative semata. Tetapi juga terdapat saringan dan keterlibatan utuh dari people representative,” jelas LaNyalla.

“Di sinilah mengapa anggota DPR dari unsur perseorangan atau non-partisan menjadi tren di dunia internasional. Semoga kesadaran ini segera menular ke Indonesia. Karena kita harus membangun demokrasi, bukan membangun dominasi. Sehingga Indonesia menjadi lebih baik,” pungkas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini