Sukses

Rhenald Kasali: Flexing Itu Barangnya Tak Jelas, Kenapa Masih Ada yang Percaya?

Dalam wawancara dengan Liputan6.com di Rumah Perubahan, Rhenald bercerita banyak soal budaya flexing, sindikat pencucian uang serta kiat investasi yang aman.

Liputan6.com, Jakarta Awal tahun 2022, Rhenald Kasali, dosen sekaligus pendiri Rumah Perubahan mengatakan flexing merupakan sebuah istilah yang memiliki arti pamer kemewahan. Kegiatan ini banyak dijumpai di sejumlah media sosial, seperti Instagram, Tiktok, YouTube, atau platform lainnya.

"Banyak vlogger atau content creator yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan ini sebagai konten di laman media sosialnya, yakni dengan menunjukkan barang branded hingga rumah mewah," ujar Rhenald melalui akun Youtube Rhenald Kasali.

Meski istilah itu masih terasa asing, perilaku yang digambarkan Rhenald bisa dirujuk pada sejumlah nama yang populer di media sosial. Mengumbar mudahnya mendapatkan barang mewah dengan uang yang gampang didapat, konten yang mereka tampilkan kontan saja membuat warganet tergiur.

Akhir Februari 2022, seorang bernama Indra Kenz ditahan Bareskrim Polri atas laporan sejumlah pihak yang mengaku menjadi korban penipuan investasi, setelah sebelumnya dia wara-wiri di sejumlah platform media sosial mempertontonkan harta melimpah yang dia miliki. Tak berhenti di situ, enam orang lainnya juga dijerat sebagai tersangka dalam kasus yang sama.

Hal inilah yang membuat Rhenald heran, korban terus berjatuhan pada kasus yang berulang. Dosen dan Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia ini juga melihat aparat yang harusnya mengawasi praktik investasi bodong belum gesit bertindak dan masih bekerja sendiri-sendiri.

Melihat pada pengalaman yang sudah-sudah untuk kasus yang sama, peraih gelar PhD dari University of Illinois ini juga menyangsikan korban penipuan investasi bodong akan mendapatkan kembali dana yang sudah ditilap pelaku.

Dalam program Bincang Liputan6.com di Rumah Perubahan nan asri, Rhenald Kasali bercerita banyak soal budaya flexing, sindikat pencucian uang serta kiat investasi yang aman.

Berikut petikan wawancara dengan Rhenald Kasali:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Ingin Menghasilkan Lebih Cepat

Kebiasaan flexing di media sosial serta sebutan Sultan dan Crazy Rich mulai kondang di Indonesia. Namun, beberapa kasus terakhir memperlihatkan praktik flexing ternyata juga punya motif penipuan. Apakah flexing selalu berkonotasi negatif, Prof?

Almost, hampir semua. Waktu saya masih SMA, ada kawan saya pengen punya pacar. Rumahnya sederhana sekali dan orangtuanya nggak punya pendapatan yang baik. Dia ajak saya malam minggu dan ke rumah si cewek cantik ini. Saya kaget sekali, dia jemput saya pakai mobil yang ternyata mobil sewaan, padahal kemampuan sewanya nggak ada dia.

Jadi flexing itu adalah melebih-lebihkan. Jadi, yang enak kan yang natural, apa adanya. Ya bolehlah lebih-lebih sedikit dibikin lebih keren, tapi uangnya ada. Tapi kalau berlebihan itu mencurigakan. Jadi hampir semua flexing itu tidak natural. Hampir semuanya ya, tidak semuanya dan berkonotasi tidak baik.

Tapi kalau sekarang bisa dikatakan bahwa praktik flexing ini merupakan bagian dari taktik marketing, taktik dari pemasaran gaya baru. Kalau zaman dulu mungkin untuk kepentingan pribadi, ini sekarang kepentingan bisnis dan segalanya. Apakah benar, Prof?

Ini bahasanya memang berbeda. Dulu waktu saya masih kuliah itu istilahnya adalah konsumsi yang dilebih-lebihkan. Bahasa kerennya adalah consumption conspicuous, conspicuous itu artinya yang dilebih-lebihkan. Maksudnya adalah pakai sesuatu yang berlebihan. Jadi kita pakai benda-benda yang melebihi.

Misalnya jari kita ada lima. Kalau perlu kita pasang 10 nih cincin di tangan kita gitu ya. Leher kita ada satu, kalau perlu kita pakai kalung itu ya kalungnya lebih dari satu sampai berat. Kalau pakai tato tuh habis semuanya sampai nggak cukup juga, mukanya pun ditato lah begitu, sehingga tidak bisa dikenali dan sebagainya. So kalau itu art seni pada waktu tertentu, it's okay. Tapi kalau itu melebih-lebihkan, kemungkinan besar orang sedang menutupi sesuatu.

Menutupi bahwa sebenarnya dia itu memiliki kekurangan?

Ya, ada kekurangan. Misalnya ada dalam beberapa penelitian di dunia psikologi, ada istilah-istilah tertentulah gitu ya. Jadi orang kenapa membuat dirinya menjadi sangat macho? Karena dia nggak macho, jadi dia bikin seakan-akan dia macho.

Nah, apakah Prof melihat ada keanehan dengan munculnya anak-anak yang muda yang berjuluk Sultan dan Crazy Rich ini?

Berasal dari sebuah film waktu itu, Crazy Rich Asian, ini kan persoalannya media juga yang membesar-besarkan. Mungkin juga karena media mencari orang-orang yang menarik. Mereka bisa operasi plastik, mendapatkan istri yang cantik, memakai pakaian dan mobil yang mewah, sehingga bungkusannya itu menjadi lebih indah daripada dalamnya.

Jadi ketemu semua, di samping masyarakat lagi desperate karena pandemi, tidak punya pekerjaan, banyak waktu di rumah, internet terus, uang juga bingung mau ditaruh di mana karena bunga bank rendah. Harga saham sebenarnya sedang bagus, bergejolak begitu ya, itu sebetulnya yang harusnya mereka masuk, tapi mereka ingin dapat yang cepat dan lebih besar lagi. Tanpa mempelajari apa yang sebenarnya, siapa orangnya, dia masuk, ya habis.

3 dari 7 halaman

Menteri dan Ketua Partai Jadi Korban

Kebanyakan masyarakat enggak mengerti sebenarnya trading itu apa, investasi itu apa. Tapi dengan adanya Sultan dan Crazy Rich ini, orang-orang menjadi tertarik untuk menaruh uang di sana. Bagaimana, Prof?

Dan bukan baru kali ini saja, di mana korbannya tak hanya orang-orang yang tidak berpendidikan. Pada waktu Kanjeng Dimas bisa melipatgandakan uang, ada beberapa orang kawan kita yang gelarnya PhD dari luar negeri, kena juga. Dan ini terjadi terus sepanjang masa.

Ketua partai dulu pernah kena, menteri-menteri zaman Pak Harto juga pernah kena zaman dulu, sampai kemudian juga para guru pernah kena ketika dulu ada QSAR, ada Koperasi Langit Biru yang jualan daging itu. Banyak sekali kasusnya dan tidak berhenti begitu.

Jadi menurut saya memang, ada budaya greedy di sebagian orang yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak benar. Kedua, walaupun sudah banyak kasus ketika berhadapan dengan situasi itu, sebagian orang berpikir ini jangan-jangan kali ini enggak nipu nih, begitu.

Terus kemudian dikasih bukti sedikit, kalau kita taruh uang sedikit dapat kembalinya lumayan tuh. Tapi begitu kita taruh uang banyak, kita jual yang lain ternyata hilang, atau robotnya mati begitu kan, software-nya mati tidak bisa diakses.

Dan dari tahun ke tahun caranya selalu berevolusi, Prof.

Ya, kali ini evolusinya ke teknologi karena ada media sosial. Ada media-media baru yang memang tidak ada editornya, tidak ada pengawasnya. Dan kelihatannya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh negara untuk menjalankan peran itu juga ketinggalan, mungkin mereka terlambat belajar juga.

Untuk anak-anak ini, yang Crazy Rich, pasti ada yang merekrut mereka. Sebenarnya siapa di balik itu?

Macam-macam, tentu saja salah satunya ada orang yang menjual kursus. Kursus dulu, dikasih training dulu. Trainingnya juga berbayar, ada yang berbayar Rp 13 juta, Rp 30 juta. Jadi setelah itu dijanjikan ini pasti akan kembali modal, kalau nanti kamu juga bikin kursus ini lagi.

Selain kursus itu juga adalah alat untuk merekrut orang. Nah, di belakangnya ini ada orang yang berlapis-lapis. Jadi ada layering. Dan itulah caranya money laundering kan memang seperti itu. Ada layering begitu ya, ada orang di Indonesia, tapi caranya bagaimana?

Dia taruh orang di Rusia. Dia punya orang temannya di Rusia. Di Rusia kan yurisdiksinya sudah lain. Orang di Rusia kemudian juga bikin lagi perusahaan cangkang di Karibia, di Cayman Island. Pokoknya yang tax haven, sehingga kalau uangnya dipindah-pindah nggak kena pajak. Jadi balik ke ujungnya aman.

Nanti sudah diputar sampai ke Rusia, balik lagi ke Indonesia. Ada orang yang terima uang aslinya. Nah mereka sudah set seperti itu. Jadi ada orang-orang yang sebagian adalah pemain lama. Pemain lama apakah dulu pernah menjadi bandar judi online, apakah pernah menjadi apa lah begitu ya. Dia kemudian bertemu dengan anak-anak muda yang mengerti teknologinya, yang mengerti bagaimana perilaku orang di media sosial, jadi berlapis-lapis. Berlapis-lapis tapi orangnya tidak banyak.

Jadi di Indonesia sindikat yang bermain juga antarnegara?

Ya, mau tidak mau harus main di internasional karena uangnya tidak bisa disimpan di bank dalam waktu cepat. Kalau kita nyimpan uang atau dapat uang besar di bank, bank itu punya kewajiban melapor pada PPTK. Kalau uang masuk dalam waktu cepat dan bertubi-tubi begitu ya, maka mereka harus sebar di banyak bank atau dalam bentuk crypto.

Dan crypto ini yang aman adalah disimpan di jaringan internasional berlapis-lapis sehingga mencari uangnya tidak sia-sia. Bisa diamankan, caranya seperti itu. Jadi ada sindikasi. Tapi sekali lagi, jumlahnya pasti tidak banyak. Sindikasi ada, mungkin hanya ada dua tiga layer, begitu ya, tetapi ada kerja samanya.

 

4 dari 7 halaman

Bisa Dideteksi dengan Cepat

Untuk kasus trading berkedok penipuan ini, beberapa pemain di pasar saham sudah curiga sejak lama. Tapi lembaga yang berwenang tidak melakukan apa-apa, seperti didiamkan. Malah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengizinkan kesannya, kenapa bisa seperti itu, Prof?

Saya kira cara kerja silo (enggan berbagi informasi) masih terjadi. Jadi belum dibentuk sebagai suatu tim investigasi yang menjadi kerja sama bareng untuk menghadapi event yang berbeda. Dalam kejahatan keuangan itu harus ada orang yang incharge di PPATK, satu tim yang langsung dengan OJK, langsung dengan kepolisian.

Karena OJK kan tidak bisa menangkap, dia bukan penyidik seperti polisi dan yang menangkap harusnya polisi. Katakanlah dalam kasus pinjol, OJK baru bereaksi setelah Presiden Jokowi marah kan? Presiden Jokowi mengatakan 'banyak saya melihat banyak korban', baru kemudian polisi bergerak menangkap mereka.

Jadi cara kerja yang reaktif ini menandakan lembaga-lembaga kita masih belum cukup memproteksi masyarakat. Jadi kerjanya masih sendiri-sendiri. Saran saya ke depan harus di dalam satu tim untuk mengambil keputusan cepat.

Jadi ada unit reaksi cepat yang segera menganalisis karena di abad 21 ini kejahatan itu dianalisisnya dari sosial media. Mereka punya enggak ahli di bidang social media? Big Data Analytics dan cyber security? Jadi harus satu kesatuan.

Strukturnya harus jelas?

Harus, disatukan atau di-BKO kan, istilahnya gitu. Di badan koordinasi, di situ dibentuk semacam suatu tim tetap yang bekerja dalam jangka panjang, sehingga setiap kali ada kejadian cepat bergerak.

Apakah Kemenkeu, OJK ataupun BI serius menanggapi kejahatan ini jika dilihat dari langkah-langkah yang sudah diambil?

Saya lihat mereka masih kurang, kurang melihat bahwa ini urgent. Saya belum melihat ada satu gerakan yang cepat. Masing-masing baru sendiri-sendiri. Pajak seharusnya kan bisa mendeteksi dengan cepat kan. Misalnya orang beli mobil di sini, berarti kan dia punya pendapatan lebih.

Misalnya dia beli mobil harga Rp 2 miliar gitu ya, berarti kan pendapatannya harusnya itu kira-kira 10 kali lipat ya. Dia punya enggak uang segitu. Pajaknya bayar berapa? Kalau Rp 20 miliar dia bayar berapa? Belum perawatannya, cost-nya ya. Nah dengan begitu dia lihat, loh kok dilaporkan pendapatannya hanya hanya Rp 2 miliar setahun.

Ini kan nggak masuk akal. Masa uang Rp 2 miliar bisa beli mobil Rp 2 miliar. Nggak mungkin. Jadi orang pajak seharusnya bisa mendeteksi itu. Kemudian juga bisa jadi pada saat di PPTK sendiri tuh analisisnya ketika orang ini membeli mobil ini atas nama dia atau pakai nama orang lain, itu udah kejahatan lain lagi, namanya money laundering ya, pencucian uang.

Jangan-jangan itu dipakai untuk flexing, tapi itu adalah uang penjahat narkoba atau korupsi yang disuruh pakai kepada orang lain. Dan anak-anak muda ini dengan polosnya memakai pamer ke mana-mana. Ini punya gua, pesawat punya gua begitu ya? Setelah terdesak kan baru bilang kepada publik, bukan punya dia.

Kalau petugas pajak bekerja dengan benar, ini akan selesai karena orang jadi takut flexing. Takut kan uangnya ketahuan. Jadi semua elemen yang tidak langsung itu punya kontribusi untuk mengatasi masalah ini.

Kemudian Prof, adakah perbedaan ciri antara pelaku flexing yang hanya sekadar pamer dengan yang bermotif penipuan?

Dengan mudah mestinya bisa kita baca, kalau orang yang pelaku flexing yang tidak punya niat jahat, dia hanya membuat untuk social media, hanya untuk senang-senang, tidak ada usaha bisnis yang menonjol. Kalaupun ada bisnis, ya barangkali bisnis yang menjual barang yang riil. Tapi ketika mereka ditanya usahanya apa, trading? Trading apa? Kok bisa cepat seperti ini? Kan enggak masuk akal.

Jadi barangnya tidak jelas, pendapatannya juga tidak jelas, kalau dikejar lebih jauh mereka cenderung menutupi dan kita tidak tahu siapa yang menjadi customer mereka. Sampai kemudian nanti terungkap, biasanya barang-barangnya barang-barang yang tidak tampak.

Kalau flexing yang tidak merugikan orang lain, misalnya dia hanya jalan-jalan ke luar negeri, itu kan wajar saja. Semua orang juga senang jalan-jalan begitu ya, dia muat di Facebook atau Instagram atau apa? Wajar. Paling dia jual apa sih, jual tas ya, jastip atau apa kan itu bukan kejahatan. Itu pendapatannya normal, begitu. Jual kosmetik, normal begitu.

Tapi kalau yang melakukan seperti ini, cepat atau lambat akan ketahuan dan akan korban-korban yang terakhir. Dan sekarang semakin cepat, dalam waktu satu tahun sudah merugikan orang lain. Biasanya Skema Ponzi itu butuh waktu dua tahun, tapi sekarang ini satu tahun sudah kelihatan dampaknya.

 

5 dari 7 halaman

Meski Tersangka Tertangkap, Uang Sulit Kembali

Jadi, kalau mereka tiba-tiba ngasih kelas untuk trading segala macam, itu bisa dicurigai bahwa mereka memiliki niat jahat untuk menipu, begitu ya Prof?

Tentu trading-nya kita lihat. Kalau misalnya trading yang sudah kita kenal seperti jual saham, itu kan normal, ada aset di bawahnya. Disebutnya dalam bahasa kerennya underlying asset. Jadi ada security-nya, ada surat berharganya di belakang, that's fine.

Melihat besarnya kerugian yang dialami masyarakat, apakah dana-dana yang ditilap bisa kembali kepada korban?

Dari pengalaman sih tidak bisa. Dari pengalaman tidak bisa. Sulit sekali begitu untuk kembali. Sekarang polisi membuka kemungkinan itu. Jadi orang-orang yang yang merasa menjadi korban lapor, kemudian nanti lewat pengadilan, karena polisi kan tidak bisa. Pengadilannya murah, tetapi kan kita harus siapkan pengacara.

Setelah itu, pengadilan juga memutuskan uang ini dibagi ke berapa orang. Biasanya jarang sekali ini dilakukan, begitu ya. Jadi ya relakanlah. Saran saya, relakanlah. Daripada sakit kepalanya semakin tambah. Apa boleh buat. Tapi mereka akan ditahan dan orangnya dihukum.

Artinya, uang ratusan miliar rupiah yang disita dari tersangka investasi bodong ini tak bisa kembali pada pemiliknya?

Membaginya bagaimana? Barang ini kan harus dicairkan terlebih dahulu, harus dilelang. Harga Rp 2 miliar kalau dilelang jadi berapa? Jadi Rp 1 miliar, ya kan. Harga lelang kan murah ya.

Kemudian setelah uangnya ada, jumlah korbannya ini kan lebih banyak. Katakanlah uang yang terkumpul itu tadinya Rp 10 triliun. Paling yang tersita cuma Rp 500 miliar atau Rp 200 miliar, ini dibaginya bagaimana porsinya?

Itu kebingungan lagi nanti. Wah saya porsinya lebih besar karena saya rugi Rp 2 miliar. Yang lain lagi mengatakan saya rugi Rp 3 miliar, buktinya apa? Ada buktinya atau tidak ya? Jadi ada satu kerumitan tersendiri. Kemudian dibaginya pada jumlah orang yang berapa? Berapa pembaginya?

Kalau yang mengklaim hanya 20 orang, senanglah kita bisa kipas-kipas. Jangan-jangan kita bisa dapat lebih ya. Biasanya sudah masuk pengadilan, udah kita usaha. Begitu ketahuan, wah ini bakal dibagikan, masuk tuh orang-orang yang tadinya nggak lapor.

Terus dikurangi biaya untuk membayar pengacara dan sebagainya, itu harus dikurangi. Ada success fee-nya.

Nah, para pelaku sendiri menyimpan harta kekayaannya di mana?

Kalau berdasarkan apa yang disampaikan PPATK, itu dicuci di luar negeri sehingga tidak ketahuan dan uangnya akan dicampur dengan uang lain-lain. Jadi nanti tergantung pada kepintaran penyidik untuk mengembalikan uang itu ke sini. Sebagian sudah berhasil dicegah oleh polisi, tapi sebagian lagi kan sudah tidak bisa ditarik pulang. Jadi tergantung kita bisa kerja sama internasional seperti apa. Jadi simpannya di situ dan kemudian disimpan juga dalam bentuk crypto ya, karena crypto ini memang untuk menghindari pelacakan dari PPATK.

Kalau yang mereka pamerkan di sosmed ya dengan mudah diambil, barangnya ada. Mobil, rumah bisa diambil, emas bisa diambil. Tapi mereka juga menyimpan dalam bentuk crypto dan sebagainya.

Jadi, bagaimana kita bisa menarik pulang crypto dan crypto ini harganya juga lagi jatuh hari ini jatuh sekali ya. Kecuali disimpan dalam bentuk bitcoin. Dua tahun lagi mungkin harganya akan naik. Siklusnya begitu.

Menurut Prof apakah masyarakat kita sudah siap dengan beragam tren yang semakin mengemuka, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence, demikian juga mata uang crypto dan teknologi metaverse?

Terbagi dua, jadi ini disebut dengan digital divide. Terbagi dua. Ada mereka yang sangat kencang. Mereka bisa menangkap beragam kesempatan, mempelajari hal baru, menjadi lebih pandai dari yang lain.

Sementara di sini ada yang menjadi korban. Korban karena pekerjaannya hilang, karena tidak ngerti, karena tertipu, karena terbelakang, tidak punya resources, tidak punya alat untuk menggunakan maupun alat dia sepotong-sepotong nangkepnya begitu. Jadi masyarakat terbagi dua.

 

6 dari 7 halaman

Robot Tak Butuh Healing

Rencana pemerintah untuk mengganti pegawai negeri sipil dengan tenaga robot juga menjadi warning bagi masyarakat di sektor bisnis. SDM seperti apa yang menurut Profesor bisa survive di masa depan?

SDM yang bisa survive pasti adalah yang mau belajar terus-menerus. Karena sekarang ini biaya robot dan chatbot, jadi robot itu kan ada yang berbentuk manusia, ada yang tidak kelihatan, namanya chatbot. Itu biayanya sampai tahun 2030 akan turun sekitar 50 sampai 60 persen. Sedangkan biaya tenaga kerja naik antara 5 sampai 15 persen setiap tahunnya.

Jadi bisa dibayangkan, menggunakan robot semakin murah, tidak komplain, tidak punya union, serikat pekerja tidak ada di situ, tidak bete, tidak pernah menuding tempat bekerjanya sebagai toxic workplace, tidak merasa insecure, tidak perlu healing, tidak merasa di-press.

Tidak seperti pegawai yang sedikit-sedikit butuh healing ya, Prof?

Healing, insecure, overthinking gitu ya, toxic. Jadi robot pasti akan lebih disukai. Namanya adalah collaborative robot, robot yang bisa bekerja sama dengan manusia. Jadi tenaga kerja seperti apa? Tenaga kerja yang dia tentu perlu pendidikan ya.

Jadi jangan dibilang Doni Salmanan itu hanya tamat SD, tapi dia kaya raya. Jangan diikutin, karena Doni Salmanan kalau punya anak pasti dia pengen anaknya juga berpendidikan. Jadi banyak orang yang ngomong bahwa Bill Gates tidak lulus kuliah. Ya anak loe jangan disekolahin kalau mau hebat, gitu coba. Mau? Enggak mau kok pasti ya. Pasti perlu sekolah ya.

Sekolah pun tidak cukup sebentar karena sekolah selalu ketinggalan ilmunya. Itu basic, berarti kita harus belajar dari dunia pendidikan informal. Di mana? Ya di Youtube lah, di Google lah. Di Google dan Youtube itu kan gratisnya banyak, ngapain kita musti tunggu Kartu Prakerja segala? Tidak perlu, banyak yang gratis, tapi harus kuasai bahasa.

Jadi, ke depan harus punya bahasa yang bagus, bahasa asing. Apakah itu Mandarin? Apakah itu Inggris? Apakah itu Jepang? Pokoknya kuasai sebanyak-banyaknya bahasa asing, sehingga kita bisa menjelajah mencari pengetahuan.

Yang kedua, mau belajar apa saja hal-hal baru ya. Yang ketiga, jangan merasa pandai bila sudah mendapatkan ilmu, karena ilmu ini akan cepat hilang. Nah, yang keempat itu punya mental. Sekarang ini kan generasinya Generasi Stroberi kan. Diperas sedikit pecah gitu kan, diperas dikit pecah, stroberi disikat sedikit robek, dimarahin sedikit, besoknya masuk terus menuduh kantornya toxic gitu kan. Gimana mau jadi orang hebat? Orang hebat itu dibanting-banting membal, enggak pecah. Kalau dibanting pecah dia kan telur busuk nantinya jadinya. Jadi jangan menjadi seperti itu.

Akan muncul satu generasi yang tahan uji yang mentalnya kalau saya menyebutnya sih mentalnya mental driver, bukan mental passenger. Passenger itu kan boleh ngantuk, boleh tertidur, boleh nggak merawat kendaraan, nggak perlu tahu jalan juga sampe ya dan seterusnya.

Tapi kalau driver kan kita harus mikir sepanjang perjalanan, kita harus berani ambil risiko. Jalanan macet, GPS-nya bilang terus, tapi kita coba ternyata GPS-nya ngebohongin kita kan kadang-kadang?

Menurut saya dalam hidup itu harus ada kejuangan, harus ada usaha juga. Tentu ada yang mengatakan sekarang enggak perlu kerja keras, cukup kerja cerdas. Kerja cerdas itu artinya kerja keras, Elon Musk yang ngomong, bukan saya.

Kalau kamu ingin mengubah dunia, tapi kerjaanmu hanya mau di bawah 40 jam seminggu, ya dia bilang apa? Forget it katanya, lupakan aja, karena kamu berhadapan dengan orang yang larinya lebih kencang dari kamu di kantor, sehingga dia dalam 8 jam sudah selesai, kamu enggak selesai.

Jadi terpaksa kamu harus kerja lebih supaya selesai dan kamu bisa naik pangkat juga seperti yang lain, kan begitu.

Terkait soal belajar tadi, ini berarti bukan soal jurusannya ya, Prof?

Sekarang sudah tidak terhubung lagi antara jurusan konvensional tradisional kita dengan pekerjaan sejak Budi Sadikin menjadi Menteri Kesehatan. Teknik nuklir, fisika nuklir menjadi membawahi para dokter. Sudah tidak ada hubungannya lagi antara latar belakang pendidikan.

Pernah ada satu kebijakan, kalau orang mau jadi guru besar harus ilmunya linier. Sekarang sepertinya sudah nggak berlaku lagi tuh. Jadi S1-nya bisa apa saja. Pindah nanti S2-nya apa saja, S3-nya bisa apa saja, bisa pindah-pindah. Justru mereka nanti memberi kontribusi yang besar bagi ilmu pengetahuan, karena mereka kombinasikan pengetahuan sintesa ilmu pengetahuan.

Yang penting bisa berbuat sesuatu dari ilmunya. Kan lucu ya, banyak orang mentertawakan Mba Rara gitu ya, kayanya kita terbelakang bener. Eh jangan lupa lho, yang ngomong tuh Albert Einstein. Imajinasi itu jauh lebih penting dari pengetahuan, daripada kecerdasan, kata Einstein.

Jadi tanpa imajinasi, kalau manusia ini tidak bisa melihat alam ini dengan imajinasi, dia tidak bisa berkreasi. Hari ini, hampir semua temuan baru di dunia riil ini diciptakan oleh orang-orang yang membaca buku-buku dan komik science fiction. Jadi, apa yang ditulis di science fiction itu sekarang kejadian semua hari ini.

 

7 dari 7 halaman

Kiat Investasi yang Aman

Jadi, apa saran Profesor untuk masyarakat yang ingin berinvestasi dengan aman?

Ikuti aturan yang sudah berlaku. Yang pertama, pelajari sebelum kita dapatkan, learn before you earn ya. Cari tahu fondasi-fondasinya, itu yang pertama. Yang kedua, prinsipnya jangan taruh telur di satu basket, dalam satu keranjang. Sebarkan risiko.

Yang ketiga, semakin besar pendapatan, semakin besar janjinya, semakin muluk-muluk, semakin besar risikonya. Jadi kita harus juga siap-siap itu hilang ya. Jadi jangan cuma lihat kita untung 50 persen, di sana cuma 2 persen, 50 persen, tapi yang 50 persen lagi adalah hilang, gitu ya. Gak untung, bisa 50 persen dapet, bisa 5 persen hilang possibility-nya begitu ya.

Tentu saja kita harus menyebarkan, kalau kita punya uang banyak, kita mainkan saham, sahamnya pun kita sebar. Misalnya taruh di satu bank, namanya Bank Jago itu yang lagi naik, begitu ya dia masih akan naik terus, mungkin. Tapi suatu ketika dia turun, jangan dijual kalau lagi turun, orang bodoh biasanya belinya lagi harga tinggi, jualnya lagi murah.

Belinya pada saat orang ngomongin semua, jangan. Misalnya ada orang bilang gini, jati emas nih bagus, jangan tanam. Karena yang baca itu bukan cuma kamu. Ribuan orang baca nanam jati emas. Begitu panen, kita panennya barengan, harganya akan jatuh, ya kan, over supply kan?

Nah, jadi mendingan kita cari yang unik-unik deh gitu ya, cari yang unik-unik disebar gitu. Dan orang bijak pasti tidak akan menghabiskan semua uangnya dan mengorbankan nanti. Rumah itu jangan, kalau rumah punya cuma satu, jangan dijual, jangan digadaiin, kasihan anaknya.

Saya setuju dengan yang pernah disampaikan oleh Pandu Sjahrir. Dia pernah mengatakan, cara terbaik adalah kamu bikin diri kamu jadi mahal, bikin diri kita itu jadi menghasilkan uang lebih banyak. Gimana caranya? Ya perbaiki diri, produk itu adalah kita, dengan pendidikan, dengan pengalaman, dengan kebaikan, dengan kemampuan komunikasi, dengan apalagi, network, jejaring.

Jangan apa-apa temen mau diduitin, akhirnya kan oportunis. Akhirnya kita enggak dapet teman yang sejati, teman yang bisa membuat kita hebat. Nah, 20 tahun yang lalu ada seorang penulis buku. Bagus banget. Sekarang bukunya sudah susah dicarinya. Namanya Horsens, seni berkuda. Jadi setiap orang harus punya kuda.

Apa maksudnya?

Tunggangan, apa yang mau kamu tunggangi? Misalnya gini, ada orang yang tunggangannya adalah dirinya sendiri, sekolahnya. Kalau kamu sudah diterima di Harvard, udahlah itu tunggangan diri kamu sendiri ya. Kamu punya PhD dari University of Illinois, tunggangannya diri sendiri.

Kamu punya skill yang orang lain enggak punya, tungganganmu diri sendiri. Tapi ada orang nggak punya itu, ya carilah orang lain. Oh, barangkali suami saya dapatkan suami yang keren, kaya, pinter, orangnya baik. Nah itu tungganganmu. Mertua, misalnya gitu ya, mertua yang hebat gitu ya, kalau nggak bisa juga oke. Cari teman, teman yang bisa kita buat dia berhasil. Kita susah berhasil, kita bikin teman kita ini jadi orang yang berhasil, kita jadikan dia politisi yang sukses, setelah itu kita jadikan dia menteri yang berhasil atau jadikan dia presiden yang berhasil, karena kita yang menjadikan, kan dia nggak akan lupa sama kita.

Jadi kita berhasil karena ada orang lain yang berhasil. Ada lagi kudanya adalah warung, warungnya kita bikin berhasil. Jadi warung itu dibikin berhasil gitu ya. Atau ada lagi pabriknya, atau barangkali lokasinya dia dibikin berhasil.

Jadi setiap orang itu harus mempunyai kuda yang dalam arti bukan kuda yang sebenarnya, tapi adalah tunggangan yang bisa membuat dia bisa membawa dia lebih jauh. Karena dia kalau ditunggangi kuda itu bisa mengantarkan dia ke tempat tujuan yang dia inginkan.

Atau keluarga, anak kita, kita bikin jadi hebat. Orangtua saya tidak tidak punya pendapatan, tapi hari tuanya bisa menikmati karena anak-anaknya hebat, iya kan. Jadi yang berhasil siapa? Ya orangtuanya yang berhasil kan, menjadikan anak-anaknya hebat kan. Seperti itu.

Bagaimana dengan penampilan, penting nggak, Prof?

Penting lah. Yang pertama kan tentu saja jangan membuat orang melihat kita jadi enggak enak gitu ya. Buatlah agar diri kita itu enak dilihat. Kalau kamu sendiri tidak menghargai dirimu, bagaimana orang bisa menghargai dirimu? Tapi enak dilihat ini kan bukan berarti berlebihan, bukan flexing, bukan dari leher satu kalungnya empat gitu ya.

Di Indonesia saat ini, jadi Youtuber itu lebih menarik daripada jadi guru atau jadi dokter. Bagaimana Profesor melihatnya, di mana orang justru lebih fokus pada penampilan?

Ya, ini memang lagi zamannya, zaman internet, karena 49 persen dari populasi Indonesia yaitu 130 juta hidup di dunia internet ya. Jadi besar sekali mata di internet itu, besar sekali dan semua kehidupan ada di sana. Dan menjadi Youtuber itu adalah sumber penghasilan. Dan konten itu memang sedang menjadi sangat penting.

Tetapi kalau kita melihat konten-konten itu, siapa yang berhasil, adalah mereka yang punya otak. Mereka punya otak. Kalau coba kita lihat, misalnya saja ya nama-nama Deddy Corbuzier. Menurut saya dia ada otaknya. Kita lihat lagi misalnya nama seperti siapa ya? Raffi Ahmad, menurut saya anak itu ada otaknya begitu ya. Rudi Salim.

Keren-keren mereka, nama-nama seperti Tasya Farasya, bahkan termasuk Tante Lala yang di Sulawesi Utara yang marah-marah anaknya nggak hapal Pancasila itu ya. Menurut saya, otaknya cerdas dia gitu. Jadi kalau dia cerdas, dia bisa bawa itu. Dan lama-lama orang juga bosen kok sama yang cuma bisa nge-prank aja gitu.

Coba lihat Uya Kuya, lama-lama cape dia bikin prank, dia bikin yang baru lagi. Artinya anak itu memang ada kepintarannya. Nah, jadi saya tidak sepakat kalau dikatakan Youtuber itu yang sukses adalah yang ngga ada otaknya. Justru menurut saya, yang sukses itu yang ada otaknya begitu.

Tapi begini, hari ini kan semuanya kehidupan itu ada di sana dan menjadi cair hari ini. Saya kalau nulis di koran pembacanya sedikit. Tapi kalau saya membuat konten di Youtube, ngomong, impact-nya itu bisa besar sekali dan saya bisa membaca langsung interaksi komentar publik, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, itu ada di sana begitu.

Jadi memang kehidupan tengah berpindah ke sana. Tapi, bukan berarti yang berhasil adalah mereka yang tidak pandai. Tentu kita melihat ada yang cuma goyang-goyang begitu aja masuk TikTok, lima juta (viewers). Ya ringan dan ya kadang-kadang, rezekinya dia gitu ya. Tapi itu kan ada satu kepintaran juga yang dia bisa tunjukkan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.