Sukses

8 Hasil Pemeriksaan Ombudsman soal Dugaan Pelanggaran TWK KPK

Ombudsman Republik Indonesia telah merampungkan pemeriksaan dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia telah merampungkan pemeriksaan dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Ombudsman pun menemukan sejumlah dugaan pelanggaran. Setidaknya terdapat 3 dugaan pelanggaran yang ditemukan dalam proses TWK yang akan memecat 51 pegawai KPK per November 2021.

"Tiga hal ini yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi. Secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaa kita, memang kita temukan," ujar Ketua Ombudsman Mokh Najih dalam jumpa pers virtual, Rabu, 21 Juli 2021.

Salah satu hal yang diduga dilanggar dalam pelaksaan TWK yakni terkait dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN.

Najih mengatakan pihaknya akan menyampaikan dugaan maladministrasi ini kepada Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri dan komisioner KPK lainnya, kemudian kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, dan terakhir kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Berikut deretan hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia terhadap dugaan pelanggaran atau maladministrasi TWK KPK menjadi ASN dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 10 halaman

Temukan 3 Dugaan Pelanggaran

Ombudsman Republik Indonesia merampungkan pemeriksaan dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Ketua Ombudsman Mokh Najih menyebut, setidaknya terdapat 3 dugaan pelanggaran yang ditemukan Ombudsman dalam proses TWK yang akan memecat 51 pegawai KPK per November 2021.

"Tiga hal ini yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi. Secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaa kita, memang kita temukan," ujar Najih dalam jumpa pers virtual, Rabu 21 Juli 2021.

Tiga hal yang diduga dilanggar dalam pelaksaan TWK yakni terkait dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN.

Kedua, lanjut Najih, pada proses proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN serta ketiga pada tahap penetapan proses asesmen TWK.

 

3 dari 10 halaman

Ungkap Belum Munculnya Klausul TWK

Dugaan pelanggaran TWK KPK ditemukan Ombudsman mulai dari rangkaian proses pembentukan kebijakan, proses pelaksanaan dari peralihan, dan tahap penetapan hasil asesmen.

Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, dalam proses pembentukan kebijakan, pihaknya menemukan adanya penyisipan aturan, penyimpangan prosedur, hingga penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan aturan dalam TWK.

Menurut Robert, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020 dan dilanjutkan pada tahap harmonisasi pada akhir Desember 2020 hingga Januari 2021.

"Saat itu, klausul TWK belum muncul. Klausul tersebut baru muncul pada 25 Januari 2021 atau sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir," ujar Robert dalam jumpa pers virtual, Rabu 21 Juli 2021.

Robert menyebut, Ombudsman mendapati proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK mengutip notulensi 5 Januari 2021.

"Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini," kata Robert.

 

4 dari 10 halaman

Sebut Adanya Dugaan Penyalahgunaan Wewenang dalam TWK Pegawai KPK

Robert mengatakan, dalam pembentukan Perkom 1 Tahun 2021, Ombudsman juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.

Menururtnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja. Hal ini dipatuhi hingga harmonisasi pada Desember 2021.

Namun, dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

"Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham, dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa," kata Robert.

Menurut Robert, yang menjadi persoalan lanjutan yakni Berita Acara Rapat Harmonisasi itu ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

"Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat ada penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang," kata dia.

 

5 dari 10 halaman

Ungkap Pegawai KPK Tidak Bisa Sampaikan Pendapat

Selain itu, menurut Robert, Peraturan KPK Nomor 12 Tahun 2018 menyatakan, penyelarasan produk hukum peraturan wajib memperhatikan aspirasi atau pendapat pegawai KPK. Untuk mendapatkan aspirasi, rancangan ini wajib disebarluaskan dalam portal KPK.

Namun, Ombudsman menemukan penyebarluasan informasi Perkom Nomor 1 Tahun 2021 tidak disebarluaskan di portal internal KPK.

Dengan demikian, tidak ada mekanisme pagawai KPK untuk mengetahui apalagi menyampaikan pendapat.

"Mungkin dari gosip atau informal tahu, tapi tidak resmi dan tidak ditempatkan di portal internal KPK selama proses yang sangat penting. Tidak ada kesempatan. Ombudsman berpendapat terjadi penyimpangan prosedur karena KPK tidak menyebarluaskan setelah dilakukan proses perubahan enam kali rapat," kata Robert.

 

6 dari 10 halaman

Perlu Ada Tindakan Korektif dari KPK

Robert kemudian menyebut perlunya tindakan korektif bagi pimpinan dan sekretaris jenderal KPK terkait TWK.

Pertama, menurut Robert, pimpinan dan sekjen KPK harus memberikan penjelasan kepada para pegawai terkait konsekuensi pelaksaan TWK dalam bentuk informasi dan dokumen yang sah.

"Pimpinan KPK dan sekjen KPK harus memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan asesmen TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah," ujar Robert dalam jumpa pers virtual.

Tindakan korektif kedua yakni hasil asesmen TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan, baik terhadap individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TWK).

Ketiga, terhadap pegawai KPK yang dinyatakan TMS diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

"Keempat, hakikat peralihan status pegawai KPK menjadi ASN sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK dan PP Nomor 41 tahun 2020, Putusan MK, Penyataan Presiden Jokowi pada tanggal 17 Mei 2021, serta temuan maladministrasi oleh Ombudsman, maka terhadap 75 pegawai KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021," kata Robert.

 

7 dari 10 halaman

Sebut BKN Tak Kompeten untuk Gelar TWK KPK

Robert pun menyebut menyebut Badan Kepegawaian Negara (BKN) tak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan TWK pegawai KPK.

Ombudsman menyampaikan hal tersebut usai merampungkan pemeriksaan berkaitan dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam proses TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

"Ombudsman berpendapat, BKN tidak berkompeten. Ini adalah bentuk dari maladminstrasi. BKN tak punya komponen alat ukur dan memohon fasilitasi TWK kepada lembaga lain," ujar Robert.

Menurut dia, BKN tak memiliki alat ukur instrumen dan asesor untuk melaksanakan assessment tersebut.

Kompetensi yang dimiliki BKN hanya terkait seleksi calon ASN atau CPNS, bukan untuk peralihan status pegawai menjadi ASN.

Dia mengatakan, seharusnya, BKN menolak menjadi pelaksana alih status pegawai KPK lantaran tak miliki kompetensi.

"Karena mereka tidak punya, BKN harusnya tolak, tapi malah mengambil dan menggunakan isntrumen yang dimiliki Dinas Psikologi TNI AD yang mendasarkan pelaksanaannya peraturan panglima 1708 tahun 2016 untuk di lingkungan TNI. Dan BKN enggak menguasai salinan aturan tersebut," kata Robert.

 

8 dari 10 halaman

Tegaskan BKN Tak Punya Kompetensi, Wajib Sampaikan ke KPK

Menurut Robert, BKN sendiri tak memiliki dan tak menguasai salinan dokumen peraturan panglima tersebut.

Meski tak memiliki salinan, BKN tetap menjalankan asesmen TWK tersebut. Padahal dokumen itu yang menjadi dasar untuk melakukan asesmen.

"Karena (BKN) tidak menguasai, maka kami sulit memastikan kualifikasi asesor yang dilibatkan," kata dia.

Alih-alih menolak lantaran tak menguasai, BKN malah mengundang lima lembaga yang menadi asesor, yakni Dinas Psikologi TNI AD, BNPT, BIN, Pusintel TNI AD, dan BAIS.

Seharusnya, lanjut Robert, kalau BKN tak memiliki kompetensi dalam alih status pegawai, BKN harus menyampaikannya kepada KPK soal ketidakmampuan tersebut.

"Kalau BKN tidak punya kompetensi dan undang lembaga lain, BKN wajib sampaikan kepada KPK karena KPK user dan menurut Perkom 1 Tahun 2021, KPK adalah pelaksana TWK, jadi wajib disampaikan," kata dia.

 

9 dari 10 halaman

Laporkan Hasil Temuan ke Jokowi, Minta Dilakukan Pembinaan

Ombudsman Republik Indonesia meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi membina lima pimpinan lembaga.

Permintaan tersebut menyusul temuan adanya dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK.

Lima pimpinan lembaga tersebut yakni Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, serta Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo.

Pembinaan bisa dikakukan jika dalam 30 hari kerja, kelima pimpinan lembaga tersebut tak mengindahkan tindakan korektif yang diberikan Ombudsman terkait temuan maladministrasi dalam proses pelaksanaan TWK.

"Presiden perlu melakukan pembinaan terhadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri PAN-RB bagi perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi kepada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik," terang Robert.

Ombudsman juga meminta Jokowi mengambil alih pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Presiden juga diminta memonitoring tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman kepada BKN untuk menyusun peta jalan atau road map manajemen kepegawaian, khususnya ihwal mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terkait pengalihan status pegawai menjadi ASN di masa depan.

"Dalam rangka mewujudkan tata kelola SDM aparatur unggul, Presiden perlu memastikan bahwa pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dalam setiap proses manajemen ASN dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku," tegas Robert.

10 dari 10 halaman

Novel Baswedan, Perlawanan 75 Pegawai KPK

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.