Sukses

KSP: Pidana Penghinaan Presiden di RUU KUHP untuk Jaga Wibawa Kepala Negara

Dia juga mengatakan seharusnya publik bisa membedakan kategori menghina, fitnah, dan melakukan kritikan, hingga masukan.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang KUHP. Sempat menjadi polemik di masyarakat, kini RUU KUHP tersebut tengah disosialisasikan. Salah satunya terkait ancaman penjara 4,5 tahun bagi yang menghina Presiden dan Wakil Presiden.

Terkait pidana tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menilai hal itu bertujuan untuk menjaga wibawa kehormatan presiden sebagai kepala negara.

"Karena isi KUHP adalah untuk menjaga wibawa kehormatan Presiden sebagai Kepala Negara, menjaga kehormatan negara untuk presiden NKRI, bukan Presiden hari ini, Pak Jokowi, tapi selamanya," katanya, Selasa (8/6/2021).

Dia juga mengatakan seharusnya publik bisa membedakan kategori menghina, fitnah, dan melakukan kritikan, hingga masukan.

"Itu yang disampaikan dalam pasal tersebut itu kan kategori memfitnah dengan sengaja, niat mens rea, dia benar-benar ditunjukkan kepada Presiden yang tanpa dasar. Presiden kan sebagai simbol negara itu kan harus kita hormati, harus kita lindungi," bebernya.

Sebab itu, kata dia, publik harus membedakan antara pendapat dan kiritikan. Terlebih kata dia dengan sengaja melakukan niat memfitnah.

"Presiden ini kan memang harus kita hormati. Bagaimana ceritanya Kepala Negara kita, Presiden kita, dengan seenaknya memfitnah di media sosial terus diketahui publik. Itu kan terjadi di media sosial, hari ini dunia digital, dunia teknologi itu luar biasa canggihnya," ungkapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kebebasan Tetap Ada Aturan

Dia mencontohkan negara-negara yang menganut kebebasan tetapi jika memfitnah presiden atau kepala negara pasti terdapat aturan yang ditetapkan. Misalnya kata dia yaitu Amerika yang sekalipun mengatasnamakan demokrasi pasti ada unsur ancaman hukuman.

"Jangan lagi berdalil kepada sebuah kebebasan berdemokrasi, mengatasnamakan demokrasi yang katanya melakukan kritikan. Nggak ada itu. Kan harus kita jaga," bebernya.

 

Reporter: Intan Umbari Prihatin/Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.