Sukses

Pilkada Serentak 2024 dan Cerita di Balik Batalnya Revisi UU Pemilu

Dicabutnya RUU Pemilu dari daftar Prolegnas berarti memastikan bahwa Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024.

Liputan6.com, Jakarta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah sepakat untuk mengeluarkan amandemen Undang-Undang (UU) Pemilu dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Keputusan itu diambil dalam rapat kerja antara Baleg DPR dan pemerintah yang secara khusus membahas persoalan UU Pemilu dan beberapa UU lainnya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah membenarkan bahwa pihaknya menyepakati pencabutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari daftar RUU Prolegnas Prioritas 2021.

"Jadi, pemerintah sepakat untuk yang satu itu, yakni RUU Pemilu, kita cabut," kata Yasonna dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas di gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/3/2021).

Pencabutan tersebut sekaligus menyikapi surat dari Komisi II DPR RI tentang pencabutan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2021.

"Akan tetapi, saya kira tidak perlu lagi melakukan evaluasi seluruhnya karena sebetulnya apa yang kita sepakati tinggal dibawa ke paripurna," ujar Yasonna menambahkan.

Dicabutnya RUU Pemilu dari daftar Prolegnas berarti memastikan bahwa Pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada tahun 2024. Dengan kata lain, Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 tak akan digelar.

Hal ini sudah bisa ditebak, karena sebelumnya pihak Istana Kepresidenan telah menutup pintu untuk dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Dikutip Liputan6.com dari laman presidenri.go.id, Selasa (9/3/20201), Mensesneg Pratikno menegaskan pemerintah tidak berencana merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

"Pemerintah tidak menginginkan revisi dua undang-undang tersebut ya. Prinsipnya ya jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah, yang sudah baik ya tetap dijalankan. Seperti misalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu kan sudah dijalankan dan sukses, kalaupun ada kekurangan hal-hal kecil di dalam implementasi ya itu nanti KPU melalui PKPU yang memperbaiki," tegas Mensesneg, Selasa 16 Februari 2021.

Terkait dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Mensesneg menegaskan bahwa dalam undang-undang tersebut diatur jadwal pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada bulan November 2024. Menurutnya, ketentuan tersebut sudah ditetapkan pada 2016 lalu dan belum dilaksanakan sehingga tidak perlu direvisi.

"Jadi Pilkada serentak bulan November tahun 2024 itu sudah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Jadi sudah ditetapkan di tahun 2016 dan itu belum kita laksanakan Pilkada serentak itu. Masak sih undang-undang belum dilaksanakan terus kemudian kita sudah mau mengubahnya? Apalagi kan undang-undang ini sudah disepakati bersama oleh DPR dan Presiden, makanya sudah ditetapkan," jelasnya.

"Oleh karena itu, pemerintah tidak mau mengubah undang-undang yang sudah diputuskan tapi belum dijalankan," imbuhnya.

Mensesneg berharap tidak ada narasi yang dibalik-balik terkait isu revisi kedua undang-undang tersebut menjadi seakan-akan pemerintah mau mengubah keduanya.

"Tolong ini saya juga ingin titip ya, tolong jangan dibalik-balik seakan-akan pemerintah yang mau mengubah undang-undang. Enggak, pemerintah justru tidak ingin mengubah undang-undang yang sudah ditetapkan tetapi belum kita laksanakan. Kaitannya dengan Pilkada serentak itu," dia menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kepala Daerah 'Nganggur'

Kendati demikian, tidak semua pihak mengamini langkah menolak revisi UU Pemilu ini. Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, misalnya, menilai tidak dilanjutkannya pembahasan Revisi UU Pemilu oleh Komisi II DPR RI karena ada beberapa kepentingan.

Pertama, ada kepentingan partai mempertahankan ambang batas parlemen agar tidak naik dan tidak diberlakukan ambang batas di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Serta kepentingan agar besaran dapil dan alokasi kursi tidak diperkecil.

"Itu merupakan aspirasi atau refleksi dari kepentingan partai-partai menengah kecil," kata Titi dalam diskusi daring, Kamis (11/2/2021).

Kedua, ada kepentingan partai-partai yang tidak menginginkan perubahan ambang batas pencalonan presiden. Ketiga, pemerintah juga memiliki kepentingan agar jadwal Pilkada tidak diubah dan tetap digelar serentak pada 2024.

Sehingga, keputusan yang diambil untuk pembahasan tidak dilanjutkan merupakan kompromi dari ketiga kepentingan tersebut.

"Jadi ini kemudian kepentingan yang saling bertemu dan komprominya adalah tidak dilakukan revisi terhadap UU Pemilu," kata Titi.

Hal senada diungkapkan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, yang menilai pro-kontra yang terjadi di DPR terhadap revisi UU Pemilu didasari adanya hitung-hitungan partai politik dalam menerapkan strategi pada Pemilu 2024.

"Saya kira perkara strategi menyongsong pemilu 2024 itu juga memunculkan pro kontra terhadap RUU Pemilu," kata Lucius dalam diskusi daring, Sabtu (13/2/2021).

Dia melihat manuver parpol dalam pembahasan revisi UU Pemilu hal yang biasa. Karena masing-masing partai berhitung agar kepentingan politiknya bisa diakomodisi.

Salah satunya bisa dilihat saat melakukan revisi, pasti akan memakan waktu yang tak sebentar.

"Jadi selalu yang membuat proses revisi UU Pemilu itu menjadi lama karena apa yang kemudian direvisi itu terkait strategi pemenangan partai," ungkap Lucius. Lucius menduga, parpol baru menghitung strategu mereka setelah revisi UU Pemilu ditetapkan masuk Prolegnas Prioritas 2021. Sehingga, banyak fraksi akhirnya melakukan manuver.

"Masing-masing fraksi mulai melakukan perhitungan peluang yang mereka bisa peroleh dengan rencana revisi UU Pemilu, termasuk melihat peluang menyatukan niat merevisi UU Pilkada sekaligus dalam UU Pemilu yang akan dilakukan," kata dia.

Yang jelas, dengan batalnya revisi UU Pemilu, maka setidaknya ada 101 kepala daerah yang terdiri 7 gubernur, 76 bupati dan 18 wali kota berakhir masa jabatannya pada 2022 dan harus diisi oleh pejabat pengganti. Demikian pula yang berakhir tahun 2023 sebanyak 171 kepala daerah yang terdiri dari 17 gubernur, 115 bupati dan 39 wali kota.

Bagi kepala daerah yang berminat kembali mengikuti kontestasi pilkada harus bersabar menunggu Pilkada Serentak 2024, baik bagi yang baru menjabat satu periode atau dua periode berminat ke level di atas, seperti dari bupati/wali kota ke gubernur atau dari gubernur ke presiden, juga bersabar menunggu 2024.

Bagi kepala daerah yang habis masa jabatan di 2022 dan 2023, bisa jadi untuk sementara jeda, break, istirahat menjadi rakyat biasa. Pada posisi inilah yang ditengarai akan menurunkan elektabilitas yang bersangkutan.

Popularitas bisa meredup. Sedikit banyak rakyat akan melupakan. Sekaligus kalau tidak dikelola dengan baik, figur-figur semacam ini akan turun nilai jual untuk bertarung di pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur dan pemilihan presiden.

 

3 dari 3 halaman

Ketika Fraksi Balik Badan

Pendapat kedua pengamat itu ada benarnya, bahwa mayoritas fraksi di DPR berusaha mencari jalan aman. Buktinya, mayoritas fraksi 'balik badan' dari rencana revisi UU Pemilu. Mayoritas fraksi di parlemen yang awalnya setuju revisi RUU Pemilu, belakangan sepakat menolak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya Partai Demokrat dan PKS yang tegas ingin revisi RUU Pemilu.

Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP.

PDIP misalnya, berpendapat Pilkada selanjutnya sebaiknya tetap digelar pada 2024 seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Mendukung pendapat PDIP, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid menyebut revisi UU Pemilu setiap jelang pelaksanaan Pemilu dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas demokrasi yang sedang terus ditata dan dikembangkan di Indonesia.

Demikian pula Fraksi Partai Golkar DPR yang sebelumnya mendorong revisi UU Pemilu, belakangan juga sepakat menunda revisi. "Sikap terakhir setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini, memutuskan untuk menunda revisi UU Pemilu," kata Wakil Ketua Umum Golkar, Nurul Arifin.

Serupa dengan Golkar, PKB juga belakangan menyatakan pihaknya akan menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai dengan perintah Ketua Umum DPP PKB Muhaminin Iskandar.

"Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung Pilkada Serentak Nasional sesuai UU 10/2016 yaitu November 2024," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim.

Sementara Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh menegaskan bahwa dirinya mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2024.

Surya Paloh mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan melakukan upaya pemulihan ekonomi akibat wabah tersebut. Oleh karena itu, dia memandang perlu menjaga soliditas partai-partai politik dalam koalisi pemerintahan, dan bahu-membahu menghadapi pandemi.

Adapun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk yang sejak awal menolak rencana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. PPP berpandangan kalau regulasi untuk pemilu itu setidaknya bisa digunakan minimal dalam dua kali penyelenggaraan.

"PPP tidak bersepakat untuk melakukan perubahan UU Pemilu, meskipun RUU revisi UU Pemilu ini menjadi usulan inisiatif DPR," kata Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi, dalam sebuah diskusi daring.

Sama dengan PPP, PAN sejak awal menegaskan sikap sejalan dengan pemerintah untuk menolak revisi UU Pemilu. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus menyarankan agar fraksi-fraksi di DPR RI fokus dalam membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 daripada membahas RUU Pemilu.

Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.

"Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta.

Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemik oleh pejabat definitif. Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga menyatakan partainya setuju normalisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu. Termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta pada 2022.

Menurut Herzaky, pilkada merupakan momen emas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerah masing-masing. Demokrat menilai perlu waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok serta rekam jejak para calon kepala daerah.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.