Sukses

Koalisi Masyarakat Sipil Sebut 676 Perkara UU ITE Berakhir di Jeruji Besi

Berdasarkan laporan terakhir SAFEnet per Oktober 2020, jurnalis, aktivis, dan warga yang kritis menjadi korban paling banyak dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 19 lembaga pegiat demokrasi memaparkan data kasus-kasus UU ITE selama empat tahun. Terhitung sejak awal tahun 2016 hingga Februari 2020.

Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebutkan bahwa tingkat penghukuman dari pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara. Yang mana hanya 3,2 persen yang tidak berakhir ke ranah hukum.

“Conviction rate (penghukuman) mencapai 96,8 persen atau 744 perkara dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen atau 676 perkara,” kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya yang diterima merdeka.com, Selasa (16/2).

Erasmus mengatakan, berdasarkan laporan terakhir SAFEnet per Oktober 2020, jurnalis, aktivis, dan warga yang kritis menjadi korban paling banyak dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet.

Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 Jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal - pasal dalam UU ITE. Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.

“Mereka dikriminilasisasi dengan pasal multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama,” ujarnya.

Erasmus mengatakan, revisi UU ITE, khususnya dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong seharusnya dijamin tidak terjadi duplikasi yang menyebabkan tumpang tindih. Sehingga berakibat bertentangan dengan kepastian hukum.

"Pasal-pasal tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam RKUHP yang akan dibahas,” ujarnya.

 

 

Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dukung Pembaharuan KUHAP

Koalisi pun meminta proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan. Koalisi juga mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.

“Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan,” ujarnya.

“Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan,” kata dia.

Selain itu, Koalisi juga meminta pengaturan mengenai blocking dan filtering juga harus direvisi. Selain itu, Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law.

Dia menilai, terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukkan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan.

“Kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakkan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang – wenangan,” ujarnya.

Sebagai informasi, ke-19 lembaga yang tergabung dalam Koalisi Sipil Indonesia terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI.

Reporter: Rifa Yusya Adilah

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.