Sukses

HEADLINE: Perppu Corona Digugat, Pasal Kontroversial Buka Celah Korupsi?

Dalam sidang pendahuluan, pihak pemohon mengatakan, Pasal 27 Perppu Corona dianggap membuka celah untuk korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, digugat. Setidaknya ada 3 pihak yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pertama, permohonan gugatan nomor 23/PUU-XVIII/2020 diajukan Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dkk. Kemudian, permohonan 24/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA. Serta permohonan 25/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan Damai Hari Lubis.

Pasal yang digugat adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27, dan Pasal 28. Pasal ini digugat karena dinilai bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagian besar pemohon menggugat Pasal 27.

Pasal 27 dalam Perppu yang kerap disebut Perppu Corona atau Perppu Covid ini, dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah. Berikut bunyi pasalnya.

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

MK pun menggelar sidang pendahuluan permohonan uji materi terkait Perppu Corona atau Perppu Covid tersebut pada Selasa 28 April 2020. Semua pemohon diminta tetap hadir, dengan tetap mengacu pada ketentuan physical distancing dan mengikuti protokol kesehatan.

Ketua Majelis Hakim Panel, Aswanto mengatakan, berdasarkan rekomendasi WHO, jika ada persidangan yang dianggap penting, maka bisa tetap dilakukan.

Dalam sidang pendahuluan, pihak pemohon mengatakan, Pasal 27 dianggap membuka celah untuk korupsi.

"Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara," ucap Kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor Perkara 23/PUU-XVIII/2020, Zainal Arifin Hoesein, dalam persidangan, Selasa 28 April 2020.

Selain itu, pasal tersebut juga dianggap memberikan keistimewaan agar pejabat kebal hukum.

Boyamin Bin Saiman selaku salah satu pemohon menyebutkan pula, Pasal 27 ayat (1) memberikan imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan. Dengan demikian, pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.

Sementara itu, pihak kuasa hukum pemohon dari Din Syamsuddin dan Amien Rais menilai, alasan dasar diterbitkannya Perppu Corona tidak ada. 

"Bahwa saat ini tidak ada kondisi yang dikategorikan kegentingan yang memaksa, hanya ada ancaman virus Corona. Apakah ancaman virus Corona telah dapat ditafsirkan Presiden sebagai hal ihwal kegentingan memaksa?" kata salah satu pemohon Dewi Anggraini dalam persidangan.

Selain itu, dalam upaya penanganan virus Covid-19 telah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jadi menurutnya tidak sepatutnya dikeluarkan Perppu yang juga menangani Covid-19.

Selain itu, dia melihat Perppu Covid, khususnya Pasal 28, membuat wewenang Presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang.

Keberadaan Perppu Covid-19 dianggap membatasi daya ikat kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Khususnya berkenaan dengan defisit anggaran menjadi terbatas pada batas minimum 3% PDB. Adapun, batasan defisit anggaran tersebut diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 2 ayat (1) huruf a," jelas mantan anggota DPR RI yang juga ikut menggungat, Ahmad Yani dalam persidangan.

Menurut dia, dengan adanya batas minimum tersebut, bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menghendaki APBN harus disetujui DPR RI, dengan berbagai pertimbangan.

Dalam sidang, MK menyarankan pemohon uji materi Perppu Corona menyajikan komparasi penanganan wabah itu di negara lain dalam permohonan.

"Ini mungkin perlu diberikan informasi kepada Mahkamah apakah negara-negara yang dianggap berhasil menurut media itu juga melakukan hal sama yang dilakukan di negara kita, yaitu membuat aturan yang darurat untuk menangani Covid-19," ujar Wakil Ketua MK Aswanto dalam sidang perdana pengujian Perppu 1/2020 di Gedung MK, Jakarta, Selasa.

Lantaran virus Corona atau Covid-19 merupakan pandemi global, Aswanto menilai diperlukan informasi mengenai langkah penanganan oleh negara lain yang dianggap berhasil menekan dampak Covid-19. Demikian dilansir Antara. Hakim juga menyampaikan beberapa catatan kepada para pemohon dan menekankan perbaikan

Mengakhiri persidangan, Aswanto mengingatkan agar para pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 11 Mei 2020 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK.

 

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, Perppu merupakan hak subjektif dari presiden, namun materinya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dia pun menyoroti Pasal 27 dan 28 dalam Perppu Corona.

"Jadi disoroti itu Pasal 27 dan 28, yang paling utama. Memang pasal itu potensial bertentangan dengan konstitusi. Karena kita negara hukum, masa ada definisi segala keuangan negara yang dikeluarkan bukan kerugian negara, masa kemudian yang mereka menggunakan uang yang menggunakan Perppu itu tidak bisa diputus secara pidana atau perdata, lalu tak bisa digugat dalam Pengadilan Usaha Tata Negara, saya kira itu Perppu agak ngawur, menurut saya," kata Refly Harun saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (29/4/2020)

Dia menilai, kedua pasal itu juga bisa menghilangkan fungsi negara dan fungsi DPR. Padahal masalah anggaran, juga merupakan hak DPR.

"Jadi dia tak bisa membuat alokasi anggaran tanpa persetujuan dari rakyat. Itu prinsip dasarnya. Jadi wajar itu digugat," kata Refly.

Refly berpendapat, perppu melanggar 3 hal, yaitu melanggar prinsip negara hukum, melanggar prinsip pembagian kekuasaan, dan melanggar kewenangan DPR mengenai hak budget DPR. Mengenai pembiayaan, bisa diajukan dalam APBN Perubahan. Soal dana untuk penanganan Covid, lanjut dia, tidak bisa diikatakan langsung genting begitu saja.

"Justru pemerintah kan harus ajukan DPR, minta perubahan-perubahan. Kan tidak boleh ekstensif. Ini kan berkesan ekstensif, tidak hanya mengatur soal Covid, tapi juga mengatur hal-hal lain. Coba lihat Perppunya. Harusnya Perppu itu harus betul-betul penanganan Covid-19," terang dia.

Dia menegaskan, perppu ini melanggar prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, siapa yang melanggar hukum, misalnya korupsi ya harus dihukum. Tidak boleh ada imunitas dan tidak boleh ada kejahatan tanpa hukuman.

"Memang kalau orang berniat baik dan tidak melanggar aturan, ya tidak boleh dipidanakan atau diperdatakan, digugat secara pidana atau perdata, itu sudah dengan sendirinya. Enggak usah disebut dalam Perppu. Ketika itu disebutkan dalam Perppu itu berlebihan namanya," tegas Refly.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Imunitas Jadi Benteng?

Sementara itu pengamat hukum Pakar Hukum Universitas Al Azhar Suparji Ahmad menilai, aturan dalam Perppu Covid-19 mengenai pemerintah atau pengambil kebijakan tidak bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata, kurang tepat dan tidak sesuai dengan konstitusi.

"Konteks yang dilakukan di MK itukan menguji apakah Perppu itu konstitusional atau tidak. Maka kalau kita bicara konteks Indonesia adalah negara hukum, terus orang memiliki kesamaan di depan hukum, bagaimana orang tidak bisa dituntut di depan hukum menjadi tidak tepat," kata Suparji kepada Liputan6.com, Rabu (29/4/2020).

Dia mengatakan, kalau tujuan mengenai tidak bisa dipidanakan atau diperdatakan agar aparat pemerintah bisa bekerja tenang dan nyaman tanpa kekhawatiran nantinya, maka sebetulnya tidak perlu membuat suatu rumusan seperti di Pasal 27.

"Jadi, poin saya adalah saya kira betul cukup beralasan para penggugat yang memiliki pendapat seperti itu karena prinsip dasarnya siapapun itu kalau memiliki kesalahan maka dia harus mempertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana.

Suparji khawatir, dengan adanya aturan tersebut justru membuka ruang menjadi potensi yang tidak baik. Implikasinya, orang tidak akan akuntabel, tidak akan hati-hati, tidak akan berbuat secara cermat dan sebagainya dalam bekerja karena sudah memiliki benteng imunitas.

"Dalam situasi darurat ini mestinya aturan aturan itu sesuai dengan norma dan asas yang berlaku. Jangan sampai kemudian menimbulkan kecurigaan seperti tadi itu. Jadi ya kita tunggu bagaimana nanti MK mengambil sebuah keputusan terhadap gugatan tadi itu. Tapi memang dalam pandangan saya cukup rawan ya terjadi penyalahgunaan di masa yang akan datang," ucap dia.

Dia menegaskan, pemerintah mengeluarkan suatu perppu karena ada kegentingan yang memaksa, akan tetapi substansi perppu itu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, tidak boleh ada imunitas.

"Tidak ada, tidak ada ruang untuk mendapatkan imunitas kepada siapa pun. Karena prinsipnya semua warga negara sama di mata hukum. Tidak ada diskriminasi hukum jadi tidak boleh ada pembenaran pembenaran tertentu untuk dibebaskan dari hukum. Jadi tidak perlu membuat peraturan seperti itu, hukum juga tidak akan menjerat siapa pun jika tidak ada unsur kesalahan," kata Suparji.

Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai, Pasal 27 di Perppu Corona agak unik karena pasal itu ditujukan untuk menghindarkan pertanggungjawabkan tidak hanya pidana dan perdata, tapi juga tata usaha negara.

Perppu ini, kata dia, menjadi semacam upaya untuk menghindari masalah apabila terjadi problematika terkait kebijakan dan tindakan KKSK atau pejabat tata usaha negara dalam penanggulangan bencana terkait sistem keuangan dan stabilitas ekonomi.

"Karena itu wajar saja ada publik yang mempermasalahkan pasal-pasal itu walaupun pasal itu tidak akan pernah bisa menghilangkan pertanggungjawaban pidana seseorang karena kan mereka mengatakan bahwa segala tindakan itu kalau ternyata tidak bisa dianggap kerugian negara," kata Feri kepada Liputan6.com.

Dia berpendapat, makna kerugian negara tidak sesuai dengan makna kerugian negara di Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004 yang mengatakan bahwa kerugian negara itu adalah sebuah kekurangan dari uang negara surat berharga dan lain-lain itu kalau kemudian dilakukan perbuatan melawan hukum.

Feri menilai, Pasal 27 di Perppu Corona ini ingin memberikan kekebalan hukum, akan tetapi dalam konteks pidana, pertanggungjawaban pidana itu tidak bisa dihilangkan dengan hanya suatu pasal. Tetapi apakah perbuatan itu melanggar ketentuan hukum atau tidak dan kerugian keuangan negara itu soal bicara perbuatan melawan hukum.

"Tujuannya begitu tetapi tidak bisa karena begitu aparat penegak hukum bisa memaknai undang-undang Tipikor dengan baik undang-undang Perbendaharaan dengan baik, maka pasti akan bisa timbul pertanggungjawaban pidana," kata Feri.

Dia mengatakan, pertanggungjawaban pidana itu ada dua hal yaitu niat jahat dan ada perbuatan jahat. Kalau sudah terpenuhi, maka orang yang melanggar hukum bisa dipenjara.

"Jadi Pasal 27 itu tidak diperlukan sebenarnya tetapi kelihatan itu sebagai modus sebagai indikator bahwa memang ada yang berniat jahat," tandas Feri.

Menko Polhukam Mahfud Md memberikan paparan kepada para peserta Rapat Koordinasi Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan 2020 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/2/2020). Mahfud Md mengklaim luas kebakaran hutan pada 2019 berkurang hingga 1,5 juta hektare dibanding pada 2015. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md memberikan tanggapan mengenai Pasal 27 yang dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah.

"Tidak kebal hukum dari korupsi, artinya ada atau tidak ketentuan pasal itu, kalau ada korupsi di dalam pelaksanaannya itu enggak ada yang kebal hukum. Kalau tidak ada korupsinya ya jangan dipersoalkan karena kan ini hukum dalam keadaan darurat," kata Mahfud dalam wawancara di Youtube, Senin 20 April 2020.

Menurut Mahfud, sudah ada tiga undang-undang yang mengatur tentang kekebalan pemerintah. Salah satunya di undang-undang Restitusi Pajak.

"Itu kan mengatur begitu juga, pemerintah tidak bisa dituntut yang melakukan itu dalam keadaan tertentu, tetapi kalau ada korupsi di dalam implementasi ada atau tidak itu tetap dituntut," tuturnya.

"Isinya sendiri, tidak dianggap masalah juga selama ini, undang-undang juga mengatur itu, kenapa ramai sekarang, tapi bagus supaya rakyat tahu," ujar Mahfud.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, korupsi punya dua ukuran. Pertama, melakukan perbuatan korupsi. Kedua, mens rea atau ada itikad buruk untuk korupsi.

"Nah kalau enggak ada mens rea-nya enggak ada, tidak itikad jelek dia untuk mengeluarkan Perppu ya tidak apa-apa," ucapnya.

Mahfud kemudian menyebutkan dua Perppu yang pernah ditolak, yaitu soal Jaringan Pengaman Sosial Keuangan tahun 2008 dan dan Perppu 1 Tahun 2014 soal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

"Satu Perppu yang ditolak oleh DPR, itu Perppu jaringan pengaman sosial keuangan, itu tahun 2008, tidakapa-apa ditolak ditolak aja engak ada sanksinya, tapi DPR-nya enggak tahu sendiri kan akibatnya apa sesudah itu," ucapnya.

"Kedua sudah ada Perppu yang dibatalkan oleh MK, Perppu nomor 1 tahun 2014, enggak apa-apa juga," sambungnya.

Menurutnya tidak masalah bila ada yang menggugat Perppu. Mahfud malah senang karena di situ bisa ditemukan jalan keluar.

"Malah bagus menurut saya. Saya orang yang berkecimpung dulu di DPR lama, di MK lama, saya bergairah kalau ada mengunggat itu bukan takut, karena di situ jalan keluar bisa ditemukan bersama tanpa menyalahkan pemerintah," pungkasnya.

 

 

3 dari 3 halaman

KPK Petakan Wilayah Rawan Korupsi Dana Corona

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan meminta KPK untuk mengawasi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. 

Dalam rapat dengar pendapat dengan KPK, Arteria meminta Ketua KPK Firli Bahuri turut mengawasi penggunaan Perppu tersebut. Salah satu yang dia kritisi adalah Perppu membuat pemerintah dapat melakukan perubahan postur anggaran tanpa melibatkan DPR.

"Tolong dikaji itu Perppu. Bicara materi muatan juga, apa boleh muatan mengatur kebijakan seperti itu, apa tak melampaui kewenangan UU menabrak fatsun konstitusi, menegasikan kekuasaan pemerintahan negara Pak Jokowi," ujar Arteria dalam rapat dengar pendapat di DPR, Rabu (29/4/2020).

Arteria juga mempertanyakan kegentingan Perppu. Apalagi di dalam Pasal 27 Perppu dianggap membuat pengambil kebijakan keuangan mendapatkan imunitas.

"Apa harus gawat sekali, harus kita buat Perppu, kebutuhan begitu mendesak kah, apa guna menteri, pejabat negara kalau begitu di saat genting, lepas tangan pada ketakutan minta tolong minta imunitas. Kasihan Pak Jokowi," kata Arteria.

Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery juga mendesak pimpinan KPK meningkatkan fungsi pencegahan korupsi dan pengawasan secara ketat terhadap seluruh kegiatan dan penggunaan anggaran penanganan Covid-19.

"KPK juga harus melakukan penindakan secara tegas terhadap seluruh tindakan korupsi dan penyimpangan yang dilakukan dalam lingkup kewenangan pemerintah yang luar biasa dalam penanganan pendemi Covid-19 sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan berbagai ketentuan terkait lainnya," kata Herman saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan KPK, seperti dilansir Antara.

Ia mengatakan, Komisi III DPR juga meminta KPK berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang mengelola anggaran penanganan Covid-19 untuk percepatan realisasi penggunaan anggaran namun tetap secara akuntabel dan tepat guna.

KPK pun menyatakan, memonitor penggunaan anggaran untuk penanganan Corona Covid-19. KPK membentuk Satuan Tugas khusus dari Deputi Penindakan dan Deputi Pencegahan.

Besaran anggaran yang dipantau adalah Rp 405,1 triliun yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Firli mengatakan KPK fokus pada program, kesehatan dan jaring pengaman sosial.

"Apa yang sudah dilakukan KPK antara lain kami fokus pada program kesehatan dan social safety net. Mungkin ini yang menjadi perhatian kita bersama, karena dua itu yang memang menjadi perhatian kami karena ini menyangkut dengan hak orang banyak," kata Firli dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/4/2020).

KPK juga memantau anggaran yang sudah direalokasi oleh pemerintah daerah. Total APBD yang direalokasi untuk penanganan Covid-19 di seluruh Indonesia sebesar 56,57 triliun.

Firli mengatakan, KPK bekerjasama dengan Pemda agar anggaran tersebut tidak dikorupsi. Firli mengingatkan, hukuman bagi korupsi anggaran kebencanaan adalah hukuman mati.

"Kita tahu persis bahwa korupsi yang dilakukan dalam bencana tidak lepas ancaman hukum pidananya adalah pidana mati," tegasnya.

KPK juga memetakan bagian mana saja yang rawan korupsi. Wilayah itu adalah pengadaan barang dan jasa, sumbangan pihak ketiga, realokasi anggaran APBN dan APBD, dan distribusi bantuan sosial dan jaring pengaman sosial.

Kata Firli, KPK sudah melakukan pencegahan dengan cara mengawasi bantuan sosial, penganggaran, hingga mengeluarkan surat edaran terkait gratifikasi. Firli juga mengatakan, KPK bekerja sama lembaga seperti LKPP dan BPKP, serta kepolisian dan kejaksaan untuk memantau penanganan Covid-19.

Firli Bahuri juga meminta jajarannya untuk terus mengawasi penggunaan dana kemanusiaan untuk penanganan kesehatan Covid-19. Firli menekankan pengawasan ketat dilakukan terhadap tiap provinsi yang mendapat alokasi dana besar, salah satunya DKI.

"Ada lima provinsi terbesar. Pertama DKI Jakarta kurang lebih Rp10 triliun, Jawa Barat Rp8 triliun Jawa Timur Rp2,3 triliun, Jawa tengah 2,1 triliun, dan Aceh Rp1,7 triliun," kata Firli saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.

Selain provinsi, KPK juga turut mengawasi alokasi anggaran serupa di lima Kabupaten dan lima Kota. Menurut Firli lima titik sebaran tersebut wajib menjadi konsen para penyidik komisi antirasuah. 

Diketahui untuk di lima kabupaten memiliki alokasi dana kemanusiaan Covid-19 terbesar seperti, Kabupaten Jember Rp 479,4 M, Kabupaten Bogor Rp 384,1 M, Kabupaten Bandung Rp 273, 5 M, Kabupaten Tangerang Rp 243 M dan Kabupaten Tulangbawang Rp 228,8 M.

Kemudian, untuk tingkat kota, seperti Kota Makassar Rp749,1 M, Kota Tangerang Rp349,8 M, Kota Bogor Rp348,6 M, Kota Bandung Rp300,4 M dan Kota Batam Rp268,1 M. 

"Angka-angka ini sekali lagi kami terus pantau, kami aktif terus sampai dengan tanggal 20 April yang lalu," jelas Firli.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.