Sukses

Kemendikbud: Perundungan Jadi Penghalang Merdeka Belajar

Kemendikbud menegaskan, pihaknya akan mengedepankan zero tolerance terhadap perundungan.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena perundungan marak terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Plt Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Harris Iskandar menyebut perundungan merupakan hal yang menghambat merdeka belajar di sekolah.

"Karena itu memang penghalang dari kemerdekaan belajar itu sendiri. Karena belajar itu syaratnya itu anak harus merasa aman," kata Harris di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu 11 Maret 2020.

Harris menegaskan, pihaknya akan mengedepankan zero tolerance terhadap perundungan. 

Dia mengatakan, pihaknya belum bisa secara agresif menanggulangi kasus perundungan. Terlebih karena belum ada pemetaan secara menyeluruh secara psikologis anak-anak sekolah di Indonesia. Hal ini, kata Harris akan menunggu Survei Karakter yang akan digelar pada 2021.

"Petanya sendiri kan belum jelas ya. Yang muncul di sini kan hanya permukaannya saja, semacam gunung es ya. Potensinya akan lebih banyak lagi," ujar dia.

Harris menyebutkan, dengan survei tersebut pihaknya akan mengetahui mana saja anak yang berpotensi memiliki kecenderungan melakukan perundungan. Jadi sebelum hal itu terjadi, perundungan bisa dicegah.

"Survei itu bukan hanya untuk siswa, guru dan kepala sekolah juga disurvei tuh. Jadi kan kita bisa tau di mana petanya," ucap dia.

"Kita kalau mempunyai peta yang jelas. Kita bisa melakukan treatment yang benar," imbuh Harris.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kak Seto Minta Sekolah Bentuk Satgas Anti-Perundungan

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menilai kasus perundungaan di sekolah sudah memprihatinkan. Ia menyebut, fenomena ini di tingkatan SD di Jawa Barat saja mencapai 70 persen anak-anak mengalami perundungaan.

"Saya pernah menguji kandidat doktor di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Waktu itu di dalam penelitiannya menemukan di Jawa Barat perundungan di SD itu 60 sampai 70 persen mengalami bullying," kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu kepada Liputan6.com, Minggu (16/2/2020).

Hal itu baru temuan di SD, belum lagi perundungaan di tingkatan SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Menurut dia, salah satu faktor muncul tindakan perundungaan ini disebabkan karena anak-anak penuh dengan energi serta dinamika. Kalau energi ini tidak disalurkan melalui hal-hal yang positif, mereka bisa melimpahkan energi itu kepada aktivitas perundungan.

"Jika tidak disalurkan ke dinamika positif, mereka menyalurkannya pada dinamakan yang negatif yaitu tawuran, berantem, bullying dan berbagai hal yang negatif. Bahkan bisa menjurus ke narkoba dan sebagainya," tutur dia.

Oleh karenanya Kak Seto meminta berbagai pihak yang terkait bisa tegas menindak pelaku perundungaan. Baik itu pihak sekolah maupun pemerintah.

"Tegas dinyatakan bahwa bullying dilarang keras," kata dia.

Dia meminta dibentuknya satuan tugas (Satgas) Anti Bullying yang melibatkan berbagai unsur, baik itu guru, siswa dan juga orang tua siswa.

Satgas ini, lanjut Kak Seto juga diharapkan bisa melibatkan anak-anak itu sendiri. Mereka diikutsertakan guna menyusun apa sanksi bagi pelaku perundungan.

"Sehingga jika ada anak yang melakukan (bullying) dan diberikan sanksi bukan karena dendam dari guru, namun memang sistem yang telah dibangun bersama gitu," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.