Sukses

4 Analisis Penyebab Tsunami Selat Sunda Versi Vulkanolog ITB

Penyebab tsunami Selat Sunda diduga dari erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Vulkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman memberi analisisnya mengenai tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 pukul 21.27 WIB. Tsunami yang menghantam tiga kabupaten di Banten dan Lampung menewaskan 373 orang dan melukai ratusan lainnya. 

Dia menyatakan, gunung yang terletak di tengah laut seperti Anak Krakatau atau berada di pinggir pantai dapat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami.

"Volcanogenic tsunami itu sebenarnya tsunami yang disebabkan oleh akibat letusan gunung berapi yang berada di atau di pinggir dari laut," kata Mirzam saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Senin (24/12/2018).

Mirzam menyebut terdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadinya volcanogenic tsunami. Pertama, akibat letusan gunung api di tengah laut.

"Kalau saya analogikan seperti pelampung yang meletus di kolam renang, percikannya dapat menyebabkan tsunami," ucap dia.

Lalu yang kedua, kata dia, adanya pembentukan kaldera yang biasanya berdekatan dengan letusan besar dan ini terjadi pada tahun 1883 ketika Gunung Krakatau. Letusan yang besar saat itu, didahului adanya surutnya permukaan air laut dan tsunami yang dihasilkan sangat tinggi.

Kemudian yang ketiga, adanya longsor. Berdasarkan rekaman foto udara dan pesawat yang melintas terlihat sisi barat, Gunung Anak Krakatau runtuh.

"Terlihat sekali sisi barat dayanya itu memang ambrol sebesar 64 kali lapangan bola. Ini bukan pertam kali sebenarnya, terjadi di Jepang juga demikan ada gunung di tepi laut kolaps kaya gitu keadaannya persis saat kejadian itu sama lagi pasang purnama angin besar sehingga dampaknya buruk sekali," papar Mirzam.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadi Pelajaran

Selanjutnya yaitu adanya aliran piroklastik atau orang terkadang menyebutnya wedus gembel yang. Akan tetapi, Mirzan menyebut saat peristiwa terjadi saat malam hari sehingga tidak terlihat.

Tak hanya itu, dia menyebut mekanisme ketiga dan keempat tidak didahului dengan surut muka air laut.

"Karena sistemnya mendorong muka air laut karena longsor sehingga yang diujung sana terjadi tsunami. Gelombangnya memang tidak tinggi cuma 0,6-1 meter karena tidak di dahului muka air laut ini yang orang kemungkinan menjadi tidak aware, meskipun rendah tetapi sangat merusak sekali dan menimbulkan korban cukup banyak," lanjut Mirzam.

Karen hal itu, Mirzam mengimbau agar peristiwa tsunami Selat Sunda dapat dijadikan pelajaran mengingat Indonesia memiliki beberapa gunung aktif di tengah laut. "

"Kita punya gunung di laut, Krakatau ada Gamalama, bisa jadi harus diperhatikan. Kejadian seperti ini bisa terjadi selama gunung apinya aktif," kata Mirzam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.