Sukses

DPR Libatkan KPK dan BPK untuk Pengawasan Dana Aspirasi

Pertemuan dengan KPK dilakukan secara tertutup. Sejauh ini, hanya Wakil Ketua KPK Zulkarnaen yang sudah hadir.

Liputan6.com, Jakarta - DPR serius menggolkan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih dikenal dengan nama dana aspirasi dengan nilai total Rp 11,2 triliun per tahun. DPR‎ akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawal rencana program tersebut.

"Kami undang Pimpinan KPK di lantai 3, tempat Ketua (DPR Setya Novanto)," kata Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
‎
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menuturkan, pihaknya akan berkonsultasi tentang pencegahan penyimpangan dana aspirasi dalam pertemuan tersebut. Terlebih, dana yang dianggarkan Rp 15-20 miliar bagi setiap anggota DPR.

Tak hanya KPK, lanjut Taufik, DPR juga akan menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengawal program dana aspirasi. "Bisa diharapkan bisa dapat kejelasan Pimpinan KPK. Rencananya tiap bulan dari UP2DP kita tembuskan juga KPK dan BPK," ujar Taufik.

Pertemuan dengan KPK dilakukan secara tertutup Selasa siang. Sejauh ini, hanya Wakil Ketua KPK Zulkarnaen yang sudah hadir.

Namun, tidak semua fraksi di DPR menerima dana aspirasi yang diambil dari APBN tersebut. 2 dari 10 fraksi di DPR telah menyatakan menolak dana aspirasi, yaitu Fraksi Nasdem dan Hanura.

Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Nasdem, Johnny G Plate, UP2DP ini rencananya dimasukkan melalui program transfer daerah Dana Alokasi Khusus (DAK). Sehingga berpotensi menabrak UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

"Jadi tidak bisa dana (aspirasi) itu dipaksakan dibahas di pemerintah pusat saja,"‎ kata Johnny dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu 20 Juni 2015.

Selain UU No. 23 Tahun 2014, lanjut Johnny, usulan dana aspirasi ‎juga berpotensi menabrak UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar DPR segera menghentikan proses UP2DP ini. (Bob/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.