Sukses

Yang Berprestasi, yang Terabaikan

Andika, Ali Sucipto, Michael Adrian, dan Purnawirman, peraih medali emas Olimpiade Fisika Asia yang ke-6, tengah mempersiapkan diri untuk Olimpiade Fisika Dunia. Mereka selalu naik angkot ke laboratorium.

Liputan6.com, Tangerang: Andika, Ali Sucipto, Michael Adrian, dan Purnawirman sedang dikarantina di pusat pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Kegiatan mereka selama masa pengasingan ini jauh dari gemerlapnya karantina calon bintang yang sedang marak di televisi. Keberhasilan mereka juga tidak ditentukan dukungan penonton lewat telepon atau layanan pesan singkat. Namun, prestasi mereka mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional. Masing-masing mereka adalah peraih medali emas Olimpiade Fisika Asia VI yang digelar di Pekanbaru, Riau, baru-baru ini.

Kesuksesan di Olimpiade Fisika Asia memastikan langkah empat pelajar sekolah menengah umum ini ke Olimpiade Fisika Dunia di Salamanca, Spanyol, 3-12 Juli mendatang. Sebenarnya, para remaja berusia antara 16 sampai 18 tahun itu sudah delapan bulan lebih mempersiapkan diri di pusat pelatihan TOFI. Latihan fisika adalah makanan harian Andika, Ali, Michael, dan Purna. "Tanpa latihan tak mungkin dapat medali," kata Profesor Yohanes Surya PhD, pemimpin pusat pelatihan TOFI.

Kegiatan rutin para ilmuwan muda ini dimulai dengan mengerjakan tugas-tugas fisika sejak pukul 08.00 WIB di dalam kelas yang lebih mirip ruangan kantor. Mereka digembleng untuk mampu memecahkan soal-soal fisika yang diberikan dari berbagai negara. Tugas-tugas yang mereka kerjakan selevel dengan soal untuk pascasarjana. "Mereka harus mengerjakan dengan perfect [sempurna]," kata Yohanes. Jika salah langsung diperbaiki dan diulang hingga benar-benar paham.

Latihan-latihan soal masih ditambah dengan tugas yang dikerjakan di luar kelas yang harus diserahkan keesokan pagi. Selesai belajar teori, mereka akan pindah ke laboratorium untuk eksperimen pada sore hari. Mereka harus naik angkutan kota ke sebuah areal rumah toko yang sudah disulap menjadi laboratorium.

Kok bisa, juara Fisika Asia naik angkot? "Nggak perlu nyombong, ntar ujung-ujungnya jalan kaki, lagi," kata Purna, dari SMA Negeri 1 Pekanbaru, disambut tawa ketiga temannya. Mereka mengaku biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah meski meraih medali emas dan bakal mewakili Indonesia di ajang dunia. "Semua orang juga bisa asal mau kerja keras," kata Purna, ringan. Ali menambahkan, jika ada dana pasti mereka akan diantar jemput. "Lagian kan bareng-bareng jadi nggak terasa," Michael menambahkan.

Laboratorium tempat mereka belajar, meneliti, sekaligus bereksperimen sederhana dengan peralatan seadanya. Namun, di lab ini telah menghasilkan sejumlah peraih medali olimpiade fisika nasional dan internasional. Sesekali mereka harus menunggu karena peralatan yang dibutuhkan belum dibeli. Namun, keterbatasan ini tak mengendurkan semangat empat sekawan ini untuk mempelajari fisika.

Dengan peralatan sederhana mulai dari breaking magnetic atau pengereman magnetik hingga black box atau mencari sudut pantul benda, anak-anak ini ditantang bisa menemukan penjelasan dari satu teori. "Semakin sederhana semakin baik dalam model fisika," ujar Surya.

Selama di pusat penelitian, mereka tidak pernah bertemu orang tuanya. Orang tua Ali di Palembang, Sumatra Selatan, Andika meninggalkan ayah dan ibunya di Medan, Sumatra Utara, dan Purna harus menahan kangen pada ortunya yang berada di Pekanbaru. Mereka baru bisa melepas rindu ke keluarga sekali dalam delapan bulan. "Sebelum bertanding kita izinkan mereka pulang," kata Surya.

Lima hari belajar fisika terus saja membuat mereka jenuh juga. "Bete [bosan] pas mentok ngerjain soal," ujar Ali, siswa SMU Xaverius I Palembang. Jika belum berhasil memecahkan soal, Andika berusaha untuk terus berpikir, terus berusaha, dan tetap rileks. "Bawa senang saja," kata pelajar SMU Sutomo I Medan yang murah senyum ini.

Meski berkutat dengan fisika, mereka tetap menikmati berbagai kesenangan. Namun, tentu saja tidak sebebas ketika berada di rumah sendiri. Purna, misalnya, selalu bermain PlayStation ketika liburan di rumah keluarganya. Ali, Michael, dan Andika juga mengikuti kontes bintang semacam Indonesian Idol dan Akademi Fantasi Indosiar (AFI). "Kita juga butuh hiburan," kata mereka kompak.

Biasanya waktu Sabtu dan Minggu mereka habiskan bersama keluarga di Jakarta. Bila rindu, mereka juga bisa menelepon atau mengirim kabar lewat layanan pesan singkat (SMS) atau surat elektronik. Sedangkan Michael beruntung karena bisa lebih mudah kembali ke rumahnya. "Saya sih gampang tinggal ke Bogor [Jawa Barat]," kata pelajar kelas tiga SMU Regina Pacis ini.

Michael tingga bersama orang tuanya Heriyanto-Lena dan dan dua adiknya di sebuah rumah sederhana di kawasan Cibinong, Bogor. Lena, ibunda Michael, mengatakan putra pertamanya senang bermain sepakbola, membuat kerajinan tangan, dan bermain gitar. Dari dulu, Michael memang sering membaca buku-buku tentang para fisikawan, termasuk idolanya, Albert Einstein.

Michael tahu bahwa ayah dan ibunya bekerja keras untuk membiayai dia dan adik-adiknya. Heriyanto bekerja sebagai pegawai biasa di sebuah perusahaan konsultan. Untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, mereka membuat tepung gula bahan pembuat kue yang dijual ke pemesan. Dari pekerjaan yang telah ditekuni hampir empat tahun ini, mereka mendapat penghasilan tambahan sekitar Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Karena itu, Lena selalu melihat anaknya selalu belajar keras. "Aku mau sekolah yang pintar supaya bisa membantu," kata Lena menirukan omongan Michael.

Ketika Michael masuk karantina, Heriyanto juga meminta keringanan pembayaran uang sekolah dari pihak Regina Pacis. "Kepala sekolahnya memberikan potongan 50 persen," kata Heriyanto, lega.

Kemenangan Michael dalam Olimpiade Fisika tidak hanya membanggakan, tapi juga melegakan kedua orang tua Michael. Mereka berharap dengan prestasi anaknya menjadi jaminan kelanjutan sekolahnya. Yang pasti, Michael telah mengikuti tes di Universitas Teknik Nanyang Singapura. Kedua orang tuanya berharap putranya mendapat beasiswa. Sebab, kemungkinan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, apalagi PT swasta sangat tipis.

Di sisi lain, prestasi Michael Adrian menjadi kado istimewa bagi SMU Regina Pacis yang akan merayakan hari jadi ke-50. Sejak kelas satu, Michael sudah mencatat prestasi yang membanggakan. Dia kerap mengikuti berbagai lomba tingkat daerah, kota, dan provinsi. "Mula-mula nilai fisikanya biasa-biasa saja, setelah semester satu nilainya sembilan terus sampai kelas tiga," Haryadi, guru Regina Pacis.

Michael, Andika, Ali, dan Purna sudah tercatat di deretan depan fisikawan muda yang menjanjikan. Sayangnya perhatian pemerintah terhadap kelanjutan perkembangan para ilmuwan ini masih sangat lemah. Ketua Dewan Pertimbangan Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Mulyanto khawatir mereka mengalami manis sesaat dan menelan pil pahit di kemudian hari.

Pasalnya, tak sedikit ilmuwan atau peneliti muda bersinar yang melanjutkan sekolah di luar negeri. Setelah lulus, mereka kecewa karena tidak bisa mengaplikasikan ilmunya di Indonesia. Bahkan, dia pernah menyarankan agar mereka tidak usah pulang sebelum menyelesaikan program doktoral dan menjadi asisten profesor di tempat mereka belajar. Bila perlu magang di industri di luar negeri sehingga ketika balik mereka sudah bisa menciptakan produk dari penelitian yang dilakukan.

Mulyanto sangat yakin bahwa para ilmuwan Indonesia tidak kalah dengan di luar negeri. Buktinya, tak sedikit hasil penelitian ilmuwan Indonesia yang dipakai bahkan dipatenkan di luar negeri. Sayangnya, hasil penelitian ini tercatat atas nama lembaga asing. "Jadi prestasi yang kita kerjakan menjadi prestasi orang asing," kata doktor teknologi nuklir lulusan Jepang ini.

Di sisi lain, apresiasi terhadap prestasi para ilmuwan muda di Indonesia sangat memprihatinkan. Mulyanto melihat masyarakat lebih tertarik menyimak kontes bintang seperti Indonesian Idol dan AFI ketimbang prestasi para juara Olimpiade Fisika misalnya. "Perhatian pada para ilmuwan masih sangat rendah," kata dia.

Sejauh ini, MITI berusaha menyatukan para ilmuwan yang berada di dalam dan luar negeri untuk memikirkan sumbangsih yang diberikan buat pembangunan Indonesia. Banyak hasil penelitian para ilmuwan yang disumbangkan, termasuk alat untuk menghasilkan air bersih yang diberikan ke para korban gempa bumi dan Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, masih banyak hasil penelitian yang sama sekali tidak diperhatikan pemerintah.

Lebih jauh, Mulyanto berharap Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang seharusnya menaungi para ilmuwan mengubah struktur organisasi agar lebih kecil. Dengan demikian gaji para pegawai dan peneliti bisa dinaikkan. Selain menyediakan peralatan yang memadai untuk penelitian, pemerintah juga harus membuat target yang jelas supaya bisa diukur.

Mulyanto mengatakan, ada ilmuwan yang frustrasi begitu balik dari luar negeri. Bahkan, ada temannya yang sudah ditawari pindah warga negara saja agar bisa menjadi profesor di tempat dia bekerja sekarang. Kondisi ini bisa saja dialami Michael, Andika, Ali, dan Purna jika mereka yang berprestasi ini justru diabaikan pemerintah.(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.