Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum bagi Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Peraturan tersebut ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya pada 30 Agustus 2024 dan resmi berlaku pada 4 September 2024.
Dirjen Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan hal itu sebagai langkah bersejarah yang bertujuan meningkatkan partisipasi publik dalam memperjuangkan hak hidup yang baik dan sehat. Ia menyebut aturan itu sebagai turunan dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Di mana disebutkan dalam pasal itu bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," kata pria yang akrab disapa Roy tersebut dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Advertisement
PermenLHK itu juga melengkapi peraturan turunan yang sudah dikeluarkan oleh Jaksa Agung dan Mahkamah Agung, dua institusi hukum yang berwenang menangani perkara hukum soal lingkungan hidup. Jaksa Agung sebelumnya telah menerbitkan Pedoman Kejaksaan Agung Nomor 8/2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sementara Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
"Permen ini bentuk perlindungan bagi mereka yang memenuhi persyaratan sebagai pejuang lingkungan hidup yang baik dan sehat agar terlindungi di awal, sebelum proses-proses hukum lain berlangsung," sambung Roy.
Ia menambahkan, merujuk Pasal 2 PermenLHK itu, pejuang lingkungan yang dimaksud meliputi perseorangan, kelompok, organisasi lingkungan hidup, akademisi/ahli, masyarakat hukum adat atau badan usaha yang berperan dalam perlindungan lingkungan hidup.
Â
Â
2 Bentuk Perlindungan bagi Pejuang Lingkungan
Roy menyatakan dengan keluarnya peraturan tersebut, ada dua bentuk perlindungan yang bisa diberikan untuk pejuang lingkungan. Pertama adalah mencegah kasus hukum masuk jalur pengadilan lebih jauh.Â
Syaratnya, pejuang lingkungan melaporkan kasusnya kepada KLHK. Selanjutnya, KLHK akan membentuk tim penilai penanganan tindakan pembalasan yang bersifat ad hoc. Anggota tim tersebut harus berjumlah ganjil dan minimal tujuh orang yang terdiri dari berbagai unsur, seperti KLHK, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan akademisi/ahli.
"Kemudian, tim penilai yang dibentuk ini nanti akan menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh saudara X ini merupakan tindakan pembalasan. Jika itu hasilnya, maka Menteri KLHK akan menerbitkan surat keputusan dan akan disampaikan kepada aparat penegak hukum yang menangani kasus ini," ujarnya. Dengan surat itu, polisi yang menyidik kasus tersebut dapat memiliki dasar hukum untuk menghentikan perkara.Â
Upaya kedua adalah dengan menyiapkan tim bantuan hukum. Tim tersebut akan membantu pejuang lingkungan membela diri di pengadilan dan mencegahnya menjadi korban dijerat UU lain, seperti UU ITE. "Ini upaya-upaya yang kita lakukan untuk mencegah terjadinya porses penegakan hukum terhadap saudara X tersebut," ujarnya.
Advertisement
Kebijakan yang Komprehensif
Roy menegaskan bahwa keberadaan PermenLHK itu bisa memagari pejuang lingkungan dari ancaman pidana dan perdata tiga lapis. Perlindungan diberikan oleh KLHK, kemudian dari penuntut umum lewat peraturan yang dikeluarkan Kejaksaan Agung, dan dari Mahkamah Agung.
"Itu (keputusan menteri) kan dipertimbangkan... Walaupun pelasan menggunakan undang-undang lain, tapi kalau ini sudah dikategorikan sebagai anti-slag, ini kan dipertimbangkan buat penyelidik," katanya. "Kedua, kasus ini kan bisa dijadikan pegangan bagi penuntut,... termasuk juga kalau masalah di pengadilan," imbuhnya.
"Itu jadi perlindungan yang sangat komprehensif sebenarnya," ia menegaskan.
Ia pun menggunakan kasus yang dialami aktivis lingkungan Daniel Frits Tangkilisan sebagai rujukan. Daniel yang menolak aktivitas tambak ilegal karena mencemari Pulau Karimun Jawa dijerat dengan UU ITE. Oleh hakim, ia pun dibebaskan karena menganggap yang dilakukannya semata-mata untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sebelumnya, aktivis lingkungan yang juga mantan dosen, Daniel Frits Tangkilisan, dituntut 10 bulan penjara oleh jaksa, karena menyuarakan kritik terhadap tambak udang ilegal di Karimunjawa yang mencemari daerah pesisir, dan merusak lingkungan laut Taman Nasional Karimunjawa, lewat akun Facebooknya pada 12 November 2022. Kasusnya disorot publik setelah viral di media sosial.
Para Pejuang Lingkungan Diintai Ancaman Pidana dan Perdata Pasal Karet
Salah satu yang menyuarakannya adalah akun Instagram Greenpeace Indonesia, @greenpeaceid, pada 23 Maret 2024, Menurut akun tersebut, ada berbagai kejanggalan dalam proses pemeriksaan Daniel, mulai dari proses penyidikan yang dilakukan tanpa didahului penyelidikan, proses pelimpahan kasus ke kejaksaan yang super singkat, proses persidangan yang diburu-buru serta tidak diperbolehkannya melakukan live streaming selama persidangan.
"Ini lagi-lagi adalah bentuk pembungkaman terhadap masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup, yang melawan kepentingan bisnis penguasa dan pengusaha kotor," tulis unggahan tersebut.
"Alih-alih menindak tambak udang ilegal yang berada di area Taman Nasional Karimunjawa dan jelas melanggar hukum, pemerintah dan penegak hukum malah lebih sibuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat kecil yang memperjuangkan lingkungannya," sambungnya.
Tidak hanya Daniel, tiga warga penentang tambak lainnya juga dilaporkan ke Polda Jateng menggunakan UU ITE. Padahal, apa yang disuarakan Daniel dan warga telah dilindungi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan di laman resminya pada Senin, 25 Maret 2024, pelaporan terhadap aktivis lingkungan hidup menggunakan pasal-pasal karet, seperti Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian dan 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE masih saja terus terjadi.
Advertisement