Sukses

Disebut Wicked Problem, Bisakah Sungai Citarum yang Tercemar Pulih Seperti Semula?

Tingkat pencemaran di Sungai Citarum mencapai level ringan selama awal pandemi Covid-19 berlangsung, tapi kembali menurun setelah pandemi mereda. Jadi, kapankah sungai terpanjang di Jawa Barat itu akan benar-benar pulih?

Liputan6.com, Jakarta - Sungai Citarum adalah nadi kehidupan bagi makhluk hidup, terutama yang hidup di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sejak 2013, sungai tersebut masuk menjadi salah satu dari lima sungai paling tercemar di dunia menurut Bank Dunia.

Predikat yang tak mengenakkan itu mendorong pemerintah bergerak. Dimulai dari level pemerintah provinsi yang dipimpin Gubernur Jawa Barat pada 2014, Ahmad Heryawan, pemulihan kondisi Sungai Citarum akhirnya diambil alih pemerintah pusat lewat Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada 2018. 

Dikoordinir oleh Satgas Citarum, proses pemulihan kondisi sungai dimulai dari hulunya, yakni Situ Cisanti. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro menyebutkan bahwa kondisi Sungai Citarum membaik, terutama di awal pandemi Covid-19.

"Pada waktu Covid, seingat saya hanya satu titik tercemar ringan, lainnya sudah bagus... Mungkin kapasitas sungai, daya tampungnya pas," katanya dalam peluncuran buku Citarum: Sungai untuk Kehidupan, Sungai untuk Ketahanan Nasional di Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis, 21 Desember 2023.

Seiring pandemi mereda, kondisi Sungai Citarum kembali menurun. Indikasinya dari indeks kualitas air yang turun. Ia menilai hal itu disebabkan karena aktivitas orang-orang di sekitar Sungai Citarum kembali ke semula, sedangkan daya tampung sungai untuk membersihkan dirinya sendiri sebenarnya sudah terlampaui.

"Pasca-Covid, saya sempat ditelepon Ibu Kepala Dinas LH Jawa Barat. Dia protes kok indeks kualitas airnya jadi turun lagi. (Nanya) bisa enggak datanya diubah. Tapi, namanya statistik, ya enggak bisa diubah. Kalau diubah, kita enggak bisa belajar, enggak bisa evaluasi," ujar Sigit lagi.

Naik turun kualitas Citarum itu disebutnya sebagai 'wicked problem'. "Saya nerjemahinnya (sebagai) masalah rantai setan, karena masalahnya berputar-putar, susah didefinisikan. Banyak orang berkepentingan, pengen menikmatinya. Karena susah didefinisikan, susah menyelesaikannya," ia menjelaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Apakah Bisa Pulih Seperti Semula?

Sigit mengungkapkan bahwa 60 persen pencemar Sungai Citarum adalah limbah domestik. Limbah itu berasal dari air limbah maupun sampah dapur yang tidak diolah dan langsung masuk ke sungai. Berikutnya adalah limbah dari peternakan, dan sekitar 14--20 persen barulah dari industri, terutama industri garmen.

Berdasarkan komposisi limbah tersebut, ia menyatakan bahwa perilaku warga sekitar Sungai Citarum merupakan masalah yang perlu ditangani serius. Perubahan perilaku itu, sambung dia, tidak bisa diatasi dengan satu solusi, melainkan menyeluruh, baik dari infrastruktur, pembiayaan, hingga kesiapan masyarakat untuk berubah.

"Ini proses terus menerus. Ada dana, tapi kalau masyarakat belum siap, enggak akan jalan. Kalau masyarakat siap, infrastruktur belum ada, enggak akan jalan. Ini wicked problem. Semua pihak harus sharing resources," sahutnya.

Meski begitu, apakah bisa pulih sepenuhnya? Sigit mengatakan kondisi Sungai Citarum tidak mungkin akan kembali seperti pada zaman Kerajaan Pajajaran. Era berbeda, kondisi ekologis dan penduduknya sudah berbeda.

"Pemulihan itu bisa kalau rusaknya masih belum sesuai aslinya. Tapi kalau sudah mulai sedikit rusak dengan waktu enggak terlalu lama dari rusaknya, namanya restorasi. Kalau rusaknya lama dan besar, perlu rehabilitasi dan mitigasi. Nah, rehabilitasi ini enggak mungkin sama dengan kondisi awal," ujarnya.

 

3 dari 4 halaman

Masalah Sampah Jadi Prioritas

Mengingat peliknya masalah yang melingkupi Sungai Citarum, Sigit menyebut harus ada prioritas penanganan. Dalam hal ini, program Citarum Harum memfokuskan pada masalah sampah plastik. "Bisa kurangi hampir 40 persen masalah di situ," ucapnya.

Pendekatan penanganan command and control yang dijalankan anggota TNI/Polri di sekitar hulu Sungai Citarum, sambung dia, tak bisa terus dilakukan. Pasalnya, hal itu menguras sumber daya yang banyak, baik biaya, waktu, maupun tenaga. Ia pun menyodorkan alternatif pendekatan berbeda, yakni dengan melibatkan komunitas sungai, seperti yang dilakukan di Sungai Ciliwung.

"Di sepanjang Puncak sampai Jakarta, kita punya sekitar 34 komunitas sungai. Komunitas kreatif sungai dijadikan bagian dari ekonomi mereka, dari kehidupan mereka. Kita bantu (sediakan) perahu. Jadi, jasa wisata arung sungai. Yang naik perahu dipaksa mungut sampah. Akhirnya terjadi perbaikan luar biasa," klaim Sigit.

Edukasi tentang manfaat menjaga kebersihan sungai juga perlu terus konsisten dilakukan di semua lapisan, khususnya anak-anak sekolah. Masyarakat perlu dilibatkan dalam menjaga sungai agar proses perbaikan bisa terus berkelanjutan. Terlebih, sungai adalah nadi untuk transisi energi yang lebih ramah lingkungan.

"Kita sudah diwajibkan untuk mulai tidak tergantung pada PLTU Batubara, sehingga namanya strategi energi, sudah harus memanfaatkan energi terbarukan, termasuk PLTA, PLTS, dan angin, dan sebagainya. Di fase transisi energi, namanya sungai, bendungan, sangat berpengaruh pada ketersediaan energi terbarukan," ucapnya lagi.

4 dari 4 halaman

Sungai Cerminan Budaya Masyarakatnya

Hal senada juga dilontarkan penulis buku Citarum: Sungai untuk Kehidupan, Sungai untuk Ketahanan Nasional, Prof. Martha Fani Cahyandito. Dosen Universitas Padjadjaran itu menyatakan bahwa tidak ada kepastian kapan Sungai Citarum bisa tanpa pencemaran karena kompleksnya masalah yang ada, terutama soal masalah kemiskinan kultural dan struktural.

"Struktural karena aturan akses, kultural karena tipologi masyarat yang enggan untuk berusaha lebih... Orang-orang yang tadinya sudah miskin di hulu, karena tingkat pemahaman mengolah potensi sumber daya alamnya kurang bagus, potensinya akhirnya tidak bisa terkelola dengan baik," kata dia.

Belum lagi ada masalah kerakusan yang menguasai lahan di hulu dan mengkonversinya menjadi kebun sayur mayur yang tidak mendukung daya serap air di tanah. Belum lagi ada yang mengubahnya menjadi lahan perumahan. Semua pihak terlibat dalam perubahan yang terjadi. Diperlukan sinergi banyak pihak untuk mengatasinya.

"Tapi, sinergi pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat ini enggak mudah. Motif, perspektif orang sangat berbeda-beda. Pemerintah pusat juga tidak punya kekuatas sampai ke akar masalah. Ada intermediate institution yang harus dilibatkan, tapi terus berubah," sambung Fani.

Namun, hal itu perlu dilakukan. Bagaimanapun, sambung dia, sungai adalah cerminan budaya masyarakatnya. Untuk mengubah kondisinya diperlukan unsur pendidikan dan perbaikan ekonomi. "Masalah ekonomi dan pendidikan perlu disentuh. Pendidikan ini bukan investasi jangka pendek, tapi jangka panjang dipetiknya," ia menekankan.

"Anak-anak ekonomi perlu dimasukkan juga. Bukan apa-apa, masalah ini adalah penopang kita, kenyamanan hidup kita adalah lingkungan," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini