Sukses

Kiat Merawat Wastra agar Awet Dipakai, dari Kain Batik hingga Ikat Celup

Mengoleksi wastra untuk dikenakan sehari-hari maupun menjadi pakaian resmi adalah satu bentuk melestarikan budaya dan peradaban. Lalu, bagaimana cara merawat kain wastra agar tetap bisa terus awet?

Liputan6.com, Jakarta - Wastra atau kain tradisional Indonesia begitu sarat akan makna. Dalam penciptaan dan pengerjaan motifnya bernilai filosofis yang berbeda-beda. 

Wastra dapat dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama adalah batik yang diartikan sebagai proses membatik itu sendiri. Batik memiliki beragam motif yang bermakna berbeda. 

Jenis wastra kedua adalah tenun, termasuk songket dan ulos, yang diproduksi dengan teknik pengerjaan yang sama. Sama halnya dengan batik, tenun juga memiliki kekayaan ragam dan cerita filosofis tergantung dari asal daerah wastra itu.

Terakhir adalah ikat celup, termasuk pembuatan kain dengan teknik ikat. Salah satu teknik ikat yang terkenal saat ini adalah jumputan atau dikenal sebagai kain pelangi.

Mengoleksi wastra untuk dikenakan sehari-hari maupun menjadi pakaian resmi adalah satu bentuk melestarikan budaya dan peradaban. Namun, wastra yang dibeli dengan harga cukup tinggi ini perlu dirawat agar bisa awet dan masa pakainya panjang.

Saat sesi Kelas Berkain di gelaran Inacraft on October di Jakarta, Jumat, 6 Oktober 2023, penulis buku Step byStep 37 Gaya Mari Berkain, Reni Kusuma Wardhani membeberkan berbagai cara merawat wastra agar bisa awet. Untuk batik, ia menyarankan cara orang zaman dulu dengan memakai merica bulat yang dimasukkan dalam kantong untuk disimpan di lemari baju.

"Ini ngamper (memberi kamper) versi alam. Taruh di sudut-sudutnya (lemari)," tuturnya di sela-sela mengajarkan teknik memakai kain sambil mengungkap bahwa cara tersebut menurut Reni, juga akan melindungi kain batik yang berdasar warna putih.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perhatikan Penggunaan Sabun

Tak hanya dari cara menyimpan saja, Reni juga menjelaskan bahwa mencuci batik haruslah menggunakan sabun yang lembut. Jika tak punya sabun khusus untuk mencuci batik, ia menyarankan untuk menggunakan sabun bayi.

"Jemurnya juga jangan langsung di bawah terik matahari, agar warnanya tidak mudah hilang," sambungnya.

Sementara untuk jenis tenun, misalnya songket, Reni mengungkapkan biasanya orang zaman dulu tidak mencucinya. Songket biasanya disimpan di dalam wadah berbentuk bambu bulat dengan cara digulung. 

"Ini dilakukan agar benang emasnya tidak mudah patah. Biasanya diangin-anginkan saja, diberi akar wangi seperti rempah. Ini karena songket biasaya (pemakaiannya) dilapis dengan kain lagi, jadi tidak terlalu kotor," katanya lagi.

Ia pun mengingatkan bahwa tenun sebaiknya tidak sering dicuci, bahkan hanya dibilas air saja lalu dikeringkan. Perawatan yang sama juga berlaku untuk ikat celup, dicuci dengan sabun bayi agar warnanya tidak mudah pudar. 

"Kalau diseterika, sebaiknya juga jangan pakai yang terlalu panas," tutupnya. 

3 dari 4 halaman

Mengenal Kain Gambo dari Musi Banyuasin

Industri fesyen dan tekstil tergolong rentan merusak lingkungan ketika memproduksi kain. Dorongan menerapkan eco-fashion yang sudah lama mengemuka, dalam praktiknya belumlah semua produsen melakukannya. 

Padahal, Indonesia sebagai negeri yang kaya sumber daya memiliki begitu banyak bahan baku alam sebagai pengganti pewarnaan teksil kimia yang tak ramah lingkungan. Salah satunya Kain Gambo, jenis wastra yang dikerjakan dengan teknik ikat celup.

Wastra ini bisa sebagai cerminan baru bahwa produk fesyen dapat tetap terlihat modis tanpa merusak lingkungan. Kain Gambo yang berasal dari Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dibuat oleh masyarakat desa setempat lantaran melimpahnya tanaman gambir.

Gambir yang adalah tanaman perdu merambat, tumbuh di sekitar pohon karet yang dulu menjadi komoditi utama wilayah ini. Seiring waktu, hasil dari olahan pohon karet menurun nilainya, masyarakat pun beralih memanfaatkan getah tanaman gambir untuk bahan baku pewarna alami Kain Gambo. Inilah yang menjadi asal-usul nama Kain Gambo karena menggunakan getah gambir sebagai pewarna. 

4 dari 4 halaman

Keunikan Kain Gambo

Keunikan dari getah gambo sebagai pewarna alami dapat dilihat dari hasil warnanya yang berkisar antara cokelat terang, hitam, abu-abu, dan oranye. Ada pula hasil warna yang mengarah kuning kunyit. Menurut Grant & Resource Mobilization Manager Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Vitri Sekarsari, tiap mencelup, hasil warnanya hampir tidak ada yang seragam.

"Kalau kamu lihat ada yang jualan mirip (warna) itu berarti pakai gambo (getah gambir)," sambungnya saat ditemui Liputan6.com di acara Kelas Berkain dalam gelaran Inacraft on October, Jumat, 6 Oktober 2023. 

Fitri mengungkapkan, pengerjaan Kain Gambo memakai teknik ikat jumputan yang dilakukan bersama-sama dan memiliki filosofi gotong royong bagi warga Musi Banyuasin. Hasilnya, motif yang ada pada Kain Gambo juga seperti jumputan. Material kain yang dipakai untuk membuat Kain Gambo adalah katun, sutera dan viscose.

Kain Gambo yang dibawa LTKL asalnya dari Desa Toman, Kabupaten Musi Banyuasin. Pewarna alami dari getah gambir ini menyerap sangat baik dan terikat di dalam kain walau tanpa campuran bahan kimia lainnya. Warna kain tetap awet dan tak luntur sehingga Gambo Muba jadi salah satu eco-fashion terbaik asli Indonesia, sekaligus menjadi jawaban akan masalah limbah dari pewarna kimia di industri tekstil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini