Sukses

LPPOM MUI Ingatkan Komestik Vegan Belum Tentu Halal, Apa Penyebabnya?

Kosmetik vegan menurut LPPOM MUI ternyata tidak bisa otomatis diklaim halal, seperti yang gencar diiklankan selama ini.

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai bahan kosmetik saat ini mulai banyak yang kembali ke alam atau back to nature karena disesuaikan dengan konsepsi gaya hidup vegetarian (vegan). Namun, jika tidak memakai bahan baku dari hewan, benarkah kosmetik vegan sudah pasti halal?

"Belum tentu," kata Corporate Secretary Manager LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia), Raafqi Ranasasmita, M.BioMed, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (26/3/2023).

Awalnya, gaya hidup vegan hanya tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan. Namun kemudian menjalar ke bidang lain, termasuk penggunaan bahan untuk busana dan kosmetik, yang juga tidak dari binatang.

Untuk bidang kosmetik, kini semakin banyak produk perawatan tubuh dan kecantikan seperti makeup dan skincare yang mengklaim bebas dari bahan hewani. Produsen kosmetik vegan menyatakan bahwa produk yang mereka tawarkan hanya menggunakan unsur nabati.

Menurut Raafqi, kosmetik vegan yang berasal dari bahan nabati, sejatinya bisa jadi pilihan bagi konsumen muslim. Proses produksi yang tidak memasukkan senyawa hewani sebagai bahan baku berpotensi mengurangi kekhawatiran akan kemungkinan produk tersebut terkontaminasi najis atau melibatkan eksploitasi hewan yang diharamkan dalam agama maupun hewan yang tidak disembelih sesuai syariat.

Tapi ternyata, kosmetik vegan tidak bisa otomatis diklaim halal, seperti yang gencar diiklankan selama ini. Raafqi menerangkan, meski diklaim menggunakan bahan nabati, tidak ada jaminan bahwa kosmetik vegan sama sekali tidak melibatkan unsur haram.

Contohnya, penggunaan bahan penolong untuk produksi bahan baku, yang berasal dari turunan produk hewani yang tidak jelas kehalalannya, seperti enzim hewani untuk memproses sebuah senyawa. Selain itu, bahan yang berasal dari hasil fermentasi juga kritis, karena bisa saja memakai media yang mengandung bahan hewani.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jangan Mudah Terkecoh Klaim Halal

Begitu pula dengan penggunaan alkohol di dalam kosmetik. Menurut Raafqi, fungsi alkohol dalam produk kosmetik sepeti skincare biasanya berperan sebagai pelarut, pengemulsi, antiseptik, pengawet yang meminimalisir pertumbuhan bakteri, dan membantu supaya penyerapan produk ke dalam kulit lebih maksimal.

Hukum pemakaian etanol dalam produk obat diatur di dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2018 tentang Produk Kosmetik yang Mengandung Alkohol/Etanol dan Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetik dan Penggunaannya.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa penggunaan kosmetik untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat, bahan yang digunakan adalah halal dan suci, serta tidak membahayakan. Sementara penggunaan kosmetik untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.

Dengan mengacu pada hal tersebut, Raafqi menyarankan agar konsumen tetap selektif dalam memilih kosmetik, termasuk dalam memilih kosmetik vegan. "Jadi jangan mudah terkecoh dengan klaim halal sepihak dari produsen atau pedagang. Pastikan bahwa kosmetik yang dipakai telah benar-benar bersertifikat halal," terang Raafqi.

3 dari 4 halaman

Klaim Vegan

Sementara itu, istilah "cruelty-free" dan "vegan" semakin populer bagi kalangan pecinta makeup dan skincare beberapa tahun belakangan ini. Terutama mengingat permintaan dan peminatan konsumen saat ini sangat tinggi akan hal-hal yang berbau "animal cruelty-free ".

Berbagai produk kosmetik dan skincare menggembar-gemborkan klaim cruelty-free dan vegan dari produk masing-masing. Klaim itu bisa dipercaya bila produk kecantikan sudah lewati serangkaian uji sebelum dijual secara massal. Selain itu, pengujian juga bertujuan meminimalkan risiko negatif yang timbul, seperti iritasi atau kerusakan kulit.

Penggunaan hewan sebagai alat uji coba sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Saat itu, hewan digunakan untuk menguji obat-obatan. Semakin berkembangnya zaman, industri kosmetik juga mengikuti langkah proses uji coba itu. Hewan-hewan yang digunakan dalam proses uji coba kosmetik yaitu kelinci, hamster, dan tikus.

Uji coba hewan dalam kosmetik meliputi tes iritasi mata dan kulit, di mana bagian-bagian tersebut menjadi bagian yang paling sering terpapar sata menggunakan kosmetik. Tentu saja hal tersebut menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan.

 

4 dari 4 halaman

Kosmetik Berlogo Vegan

Kelompok pro menilai itu merupakan hal yang relevan jika dilihat dari segi anatomi dan sistem imunnya, sehingga sulit untuk menemukan alternatif lain. Kelompok kontra menilai bahwa uji coba hewan sama saja dengan bentuk eksploitasi dan pembunuhan.

Produk yang sudah berlabel dan klaim cruelty-free tersebut sudah bebas dari kekejaman dan uji coba yang dilakukan pada hewan dengan cara apa pun. Klaim itu juga menunjukkan produk kosmetik yang dibuat tidak ada unsur menyakiti hewan, mulai dari proses pembuatan hingga pengujian.

Jika Anda menemukan sebuah produk kosmetik atau perawatan kulit yang mengklaim bahwa produk tersebut adalah vegan, artinya diyakini tidak ada unsur dari binatang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, perusahaan yang memproduksi kosmetik berlogo vegan juga tidak boleh menguji coba produk pada hewan.

Produk yang berhak mencantumkan logo vegan bila telah diverifikasi Vegan Society atau Vegan Action.  Namun, keduanya tidak menguji bahan atau memantau secara mendalam, melainkan hanya menelusuri pernyataan tertulis yang diberikan perusahaan saat proses verifikasi. Jadi, logo yang ada di setiap produk hanya berdasarkan kejujuran dan keakuratan pernyataan dari perusahaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.