Sukses

8 Karya Warisan Budaya Takbenda Indonesia Asal DI Yogyakarta (Bagian 2)

Dari 289 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2021, 26 di antaranya berasal dari DI Yogyakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Seri tulisan mengenai Warisan Budaya Takbenda Nusantara berlanjut ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Dari 289 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2021, 26 di antaranya berasal dari DI Yogyakarta.

Pada bagian pertama telah mengulas sebanyak delapan karya budaya yang beraneka ragam. Bagian kedua ini akan melanjutkan deretan karya budaya yang tak kalah menarik untuk diketahui. Simak rangkuman selengkapnya seperti dikutip dari Warisan Budaya Kemdikbud, Selasa (9/11/2021) berikut ini.

1. Jemparingan Yogyakarta

Jemparingan dikenal sebagai aktivitas panahan. Di masa kerajaan, memanah dimanfaatkan sebagai bentuk pertahanan diri dan membunuh musuh. Sejak berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, memanah tak lagi digunakan sebagai alat perang.

Perjanjian Giyanti Sri Sultan Hamengku Buwana I mengharapkan tidak ada niat lagi terjadi peperangan di wilayah kerajaan Mataram. Karena hal tersebut, beliau berangan jemparingan dapat diangkat jadi sarana pembinaan dan pembentukan kepribadian.

2. Beksan Lawung Alit

Beksan Lawung Alit adalah seni pertunjukan yang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar. Gamelan digunakan mengiringi pertunjukan ini adalah Kia Guntur Sari berlaras pelog.

Gamelan tersebut memiliki 16 saron atau metalofon berukuran besar, sedang dan kecil. Pertunjukan juga dilengkapi dengan genderang dan gending pengiring memakai gending Arjuna Asmara.

3. Lemper Yogyakarta

Ada begitu banyak sajian khas Jawa, salah satunya lemper. Camilan berbahan ketan kerap disajikan dalam acara adat Jawa, dari pesta pernikahan hingga selamatan bayi.

Lemper berisi daging ayam yang dimasak gurih dengan air dan santan yang dibumbui bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, daun salam, serai dan garam. Sebelum isi lemper dibuat, umumnya daging ayam dicincang dahulu, kemudian dimasak hingga tak lagi berkuah.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

4. Tiwul Gunungkidul

Dahulu, nasi tiwul adalah makanan pokok warga Gunungkidul. Daerah gersang dan berbatu ini sulit air dan sulit pula ditanami padi. Sebagai gantinya, dibudidayakan tanama palawija, seperti pohon singkong dan pohon jagung.

Warga membuat makanan yang tak mudah busuk, yakni singkong yang dijemur hingga kering atau disebut gaplek. Nantinya, gaplek diolah menjadi ragam sajian, seperti tiwul.

5. Upacara Adat Luwaran Tuksono

Tradisi ini berkembang di Desa Tuksono, Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta, khususnya Dusun Taruban. Dusun ini dibagi menjadi dua, yaitu Taruban Kulon dan Taruban Wetan.

Upacara Adat Luwaran Tuksono digelar setelah panen rendengan setiap tahunnya secara bergantian antara Taruban Kulon dan Taruban Wetan. Panen rendengan berarti panen musim pertama.

6. Upacara Adat Tuk Si Bedug

Upacara ini berlangsung setiap setahun sekali pada Jumat Pahing. Upacara bertujuan untuk mengenang jasa Sunan Kalijaga atas syiar Islam yang sampai di daerah setempat.

Prosesi upacara Tuk Si Bedhug diawali dengan kirab budaya di Balai Desa Margodadi. Penutup rangkaian acara adalah pada Jumat malam yang digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.

 
3 dari 4 halaman

7. Nyadran Agung Makam Sewu

Upacara adat tradisi biasanya digelar pada Senin setelah tanggal 20 Ruwah. Nyadran Agung Makam Sewu adalah tradisi warga Wijirejo dan sekitarnya sebagai bagian birrul walidain, tanda bakti kepada orangtua dan leluhur.

Upacara dilaksanakan setiap tahun di bulan Ruwah (penanggalan Jawa), yakni bulan sebelum Ramadan. Makam Sewi di Wijirejo adalah makam yang bernilai sejarah. Di tempat ini dimakamkan seorang tokoh bernama Kanjeng Panembahan Bodho.

8. Gumbregan

Warga di wilayah Desa Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, menggelar ritual gumbregan untuk kelangsungan hidup ternak yang dipelihara selama masa gumbreg. Sampi atau sapi merupakan hewan ternak yang ditonjolkan dalam ritual ini karena bernilai tinggi.

Setiap dusun yang berada di wilayah Desa Hargosari tidak serentak menggelar gumbregan. Pelaksanaannya sesuai kesepakatan warga di wilayah bersangkutan, asalkan masih dalam seminggu masa gumbreg.

 
4 dari 4 halaman

Infografis Wayang Potehi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.